Soal Izin Meikarta, Aher dan Demiz Kompak Saling Bela di PN Tipikor Bandung

Redaktur author photo
Mantan Gubernur dan wakil Gubernur Jabar, Agar dan Demiz bersaksi du PN Tipikor Bandung.
inijabar.com, Bandung- Sidang lanjutan kasus suap ijin proyek Meikarta menghadirkan dua sosok yang pernah meimpin Kawa Barat yakni, mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan (Aher) dan Wakilnya Dedi Mizwar (Demiz) Kesaksian keduanya di Pengadilan Tipikor Negeri Bandung dengan terdakwa eks Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menghadirkan 12 orang saksi. Termasuk, mantan Ditjen Otda Soni Soemarsono. Dalam sidang tersebut, kesaksian dibagi ke dalam dua sesi, pertama mendengarkan keterangan tiga orang saksi, yakni Sony Soemarsono, Aher dan Demiz.

Dedi Mizwar mengatakan, bahwa aksi Lippo Group yang ingin membangunan kawasan terpadu Meikarta, di Kabupaten Bekasi, diibaratkan dengan istilah membangun negara di atas negara.

”Harus ada rekomendasi. Ini Lippo kayaknya negara di dalam negara. 500 hektare mau di bangun, dua juta orang. Skala metropolitan, tanpa ada rekomendasi. Apa kata dunia,” ujar Demiz saat menjawab pertanyaan Anggota Majelis Hakim Lindawati.

Dalam persidangan tersebut, Demiz yang saat itu juga men­jabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BPKPRD) Provinsi Jawa Barat membeberkan ada yang tidak beres dilakukan oleh Lippo Group dalam pembangunan Meikarta.

Sebab, luas lahan pembangunan seluas 500 hektare dipromosi­kan Lippo Group. Padahal, SK Gubernur tahun 1993, rekomen­dasi lahan untuk Meikarta hanya 84,6 hektare saja.

”Ternyata 500 hektare tadi peruntukkan bukan untuk rumah, lalu kenapa diproyeksikan untuk rumah sedang­kan rekomendasi lahan untuk Meikarta hanya 84,6 hektare untuk rumah,” kata Demiz.

Atas dasar tersebut, kata  dia, pihaknya memberikan saran agar pembangunan Meikarta yang 500 hektare diberhentikan sementara.

Demiz menambahkan, selain itu, untuk 84,6 hektare harus segera dikeluar­kan (rekomendasi) karena itu haknya Lippo. Maka muncul lah Rekomendasi Dengan Ca­tat (RDC) tadi di atas kertas. RDC dikeluarkan oleh Dinas Pen­anaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Barat untuk pembangu­nan Meikarta.

Sehingga, tidak ada sangkut pautnya dengan Ahmad Heryawan yang saat itu menjabat seba­gai Gubernur Jawa Barat.

Sang Naga Bonar ini juga mengaku, masalah Mei­karta pernah dilaporkan langs­ung ke Presiden Jokowi, ketika ada kunjung­an kerja ke Muara Gembong, dan memberitahukan jika ada beberapa menteri dan par­lemen sudah mulai bicara soal Meikarta.

“Saya jelaskan ke beliau (pre­siden, red) masalahnnya. Be­liau bilang sudah ikuti aturan dan prosedur yang berlaku. Sudah banyak (mentrinya) tinggal buka aja yah,” ujarnya.

Usai persidangan Demiz me­negaskan kembali, semua yang diungkapkan merupakan fakta sebenarnya sesuai data-data hasil rapat di BKPRD. Dengan keputusan Meikarta sempat dihentikan, lantaran bertentangan dengan pembangunan kawasan Met­ropolitan dan Perda Nomer 12 tahun 2012 tentang kawasan statrategis di Jabar.

Bahkan, Dedi Mizwar menyebut pembangunan Meikarta se­perti membuat negara di dalam negara. Sehingga, perlu diung­kap apa adanya.

“Maksudnya kenapa kok membangun metropolitan kan ada perdanya tentang metropolitan tapi kok enggak ada rekomendasi, negara di dalam negara kan?. Yah kulo nuwun ada perdanya seperti itu yang bisa dikonfirmasikan kan enggak ada masalah apa-apa,” katanya.

Demiz menegaskan, pembangunan Meikarta yang diajukan hanya 84,6 hektare itu tidak ada masalah, namun kawasan tersebut berada di lahan 500 hektare dan peren­canaannya tidak pernah diu­bah. Sehingga, jika mereka mau melanjutkan pembangu­nan tinggal diubah dan di­ajukan kembali.

“Jadi yang perlu rekomen­dasi itu metropolitan, bukan masalah luas huniannya be­rapa banyak, satu juta, kalau ini dua juta,” cetus dia.


Share:
Komentar

Berita Terkini