Biaya Kesehatan Mahal Wujud Human Capital Rendah 

Redaktur author photo

BIAYA kesehatan yang mahal membuktikan pemerintah abai terhadap human capital. Karena itu indeks kualitas hidup manusia Indonesia peringkatnya tergolong masih rendah. 

Pada Tahun 2019 IPM Indonesia di peringkat 111 dari 189 negara yang dikeluarkan oleh PBB. Peringkat tersebut masih belum menggembirakan Padahal Kesehatan sebagai barang publik seharusnya rakyat memperolehnya tanpa tarnsaksi alias gratis. Jika semua barang publik berbayar maka beban sosial semakin berat. 

Untuk itu pemerintah sebenarnya mengkhianati terhadap amanat penderitaan rakyat. Kepercayaan publik terhadap tatakelola BPJS sudah cukup lama negatif. 

Buruknya tata kelola BPPJS bukti kontrol pemerintah selama ini lemah. Persoalan manajemen BPJS yang semakin kompleks pada akhirnya rakyat lagi yang menjadi tumpuan beban yakni iuran BPJS dinaikan. 

Kenaikan tersebut dituangkan dalam kebijakan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. 

Seperti diketahui bahwa sebelumnya Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS pada Januari 2020 yang lalu. 

Aturan itu kini diberlakukan kembali dengan Perpres yang baru tersebut. Dengan demikian kenaikan iuran BPJS sebagaimana diatur dalam pasal 34 mulai berlaku tanggal 1 Juli 2020. 

Besaran kenaikan yaitu; Kelas I iuran peserta mandiri naik menjadi RP. 150.000 saat ini Rp. 80.000, kelas II iuran peserta mandidir naik menjadi Rp. 100.000 saat ini Rp. 51.000 dan kelas II naik dari Rp. 25.000 menjadi Rp. 42.000. Tapi mendapat subsidi pemerintah sebesar Rp. 16.500 jadi tetap dibayarkan sebesar Rp. 25.000. 

Kenaikan iuran BPJS pada saat masyarakat menghadapi pandemi Covid 19 tentunya memberatkan. Pada saat itu kemungkinan masyarakat ada yang kehilangan pekerjaan dan atau penghasilan berkurang selama pandemi virus Corona. 

Untuk mengurangi beban masyarakat pasca pandemi virus corona pada bulan Juli 2020 yang akan datang seharusnya kenaikan iuran BPJS tersebut sekaligus tercover dalam alokasi dana bantuan tunai langsung atau dana bantuan kesehatan masyarakat terutama bagi peserta BPJS kelas III. 

Kesehatan sebagai fondasi human capital merupakan pilar strategis guna meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam persaingan global. 

Pengelolaan BPJS kurang optimal berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat. 

Menurunnya kesehatan masyarakat sudah barang tentu efeknya terhadap angka stunting bisa menurun. Target Indonesia angka stunting pada tahun 2024 bisa dicapai 14 %. Sedang saat ini angka stunting pada tahun 2018 sebesar 30,8 % masih jauh dibawah target yang ditetapkan WHO sebesar 20 %. 

Padahal persoalan stunting merupakan kampanye Pilpres pada tahun 2019 yang lalu sebagai isu strategis kedua calon presiden yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. 

Karena itu target menurunkan angka stunting sampai tahun 2024 menjadi angka 14 % masih menjadi tanggung jawab Presiden Joko Widodo pada masa periode ke dua ini.

Akan tetapi kebijakan menaikan iuran BPJS diatas seakan melupakan janji kampanye Presiden Jokowi waktu itu. 

Sebenarnya masih ada waktu merealisasikan tanggungjawab atas janjinya tersebut. Harapan publik pada masa periode kedua jangan sampai karena "tanpa beban" seperti yang pernah diucapkannya. 

Hendaknya tetap jangan lupa bahwa kebijakan dibidang kesehatan masih ada hutang terutama penurunan angka stunting menjadi 14 % pada tahun 2024 dibawah angka toleransi yang ditetapkan WHO yaitu 20 %. 

Namun dengan pengelolaan BPJS yang belum baik serta biaya kesehatan yang semakin mahal tersebut di prediksi janji kampanye presiden pesimis dapat direaliasikan. 

Penulis; Bambang Istianto Direktur eksekutif Center of Publc Polcy Studies Tlp: +62 812-9769-7668
Share:
Komentar

Berita Terkini