![]() |
| Direktur Komunikasi dan Jaringan INSS, Afri Darmawan |
inijabar.com, Jakarta - Terkait perdebatan tentang layak atau tidaknya Presiden ke-2 RI, H.M. Soeharto, diberi gelar Pahlawan Nasional, dinilai sebagai ujian kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah.
Direktur Komunikasi dan Jaringan INSS, Afri Darmawan, mengatakan, polemik ini seharusnya tidak diarahkan pada pertentangan emosional, melainkan pada upaya memahami sejarah secara proporsional dan berdasar.
“Yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil pelajaran dan menjadikannya pijakan untuk masa depan. Itu yang menunjukkan kedewasaan sebuah bangsa,” ujar Afri, Sabtu (8/11/2025).
Menurut Afri, bangsa Indonesia perlu berani menerima bahwa sejarah selalu memiliki dua sisi: capaian dan kekurangan. Dalam konteks itu, Soeharto adalah sosok kompleks yang tak bisa dilihat hanya dari satu warna.
“Kita ini kadang ingin sejarah itu hitam-putih. Padahal tokoh sebesar Soeharto tidak bisa dibaca dengan cara sesederhana itu. Ia hadir pada situasi negara yang hampir runtuh, dan keputusan-keputusan yang ia ambil tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu itu,” terangnya.
Afri menilai, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto penting untuk didiskusikan secara jernih dan menyeluruh. Ia mengingatkan, pembangunan ekonomi Indonesia modern banyak bertumpu pada fondasi yang dibentuk di masa Orde Baru.
“Fakta-fakta ini nyata. Kita masih menikmati hasilnya sampai hari ini—dari Puskesmas sampai jalan desa. Tidak mengakuinya hanya karena ada sisi gelap Orde Baru jelas tidak adil,” ucapnya.
Afri menyebut beberapa capaian konkret era Soeharto, di antaranya program Repelita sebagai arah pembangunan jangka panjang, SD Inpres yang memperluas akses pendidikan dasar, pembangunan jaringan irigasi dan infrastruktur, hingga swasembada beras 1984 yang diakui FAO. Dalam periode 1976–1996, angka kemiskinan turun sekitar 31,7 juta jiwa—penurunan tercepat dalam sejarah Indonesia.
Meski begitu, Afri tetap menekankan pentingnya menempatkan pembatasan kebebasan politik di era tersebut sebagai catatan kritis yang tidak boleh diabaikan.
“Kritik pada Orde Baru tetap sah. Tapi menghapus jasa pembangunan hanya karena ada kesalahan di bidang politik adalah bentuk ketidakdewasaan kita dalam membaca sejarah,” katanya.
Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memang terus menuai pro dan kontra. Sebagian menilai Soeharto sebagai arsitek pembangunan Indonesia, sementara sebagian lainnya menyoroti ketatnya kehidupan politik selama Orde Baru.
Perdebatan itu, kata Afri, justru menjadi ruang penting untuk menguji seberapa matang bangsa ini dalam memandang sejarah secara utuh.




