![]() |
Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi - LSM Jendela Komunikasi (JEKO) mengkritik keras sikap sejumlah pejabat Pemerintah Kota Bekasi dan Komisi III DPRD yang baru-baru ini menyoroti persoalan penguasaan lahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) oleh pengembang.
Menurut Ketua Investigasi LSM JEKO, Agung, soal alih fungsi lahan PSU bukanlah isu baru, melainkan telah menjadi praktik sistemik yang terjadi di banyak lokasi dan berlangsung bertahun-tahun tanpa tindakan tegas dari pemerintah.
Agung menyebut, pihaknya telah melakukan penelusuran langsung ke sejumlah perumahan di Kota Bekasi. Hasilnya, ditemukan bahwa banyak lahan PSU yang belum diserahkan kepada pemerintah sebagaimana diwajibkan oleh peraturan, namun justru telah berpindah tangan dan bahkan diduga terbit sertifikat hak milik atas nama pihak ketiga.
“Sejumlah lahan yang semestinya digunakan untuk fasilitas publik justru dikuasai pihak swasta. Bahkan kami duga sudah bersertifikat. Ini tidak akan mungkin terjadi jika fungsi pengawasan dan pengendalian oleh dinas teknis berjalan sebagaimana mestinya,” ucap Agung, Selasa (25/6/2025).
Ia menegaskan, dua instansi utama yang bertanggung jawab atas penataan dan pengelolaan PSU adalah Dinas Tata Ruang (Distaru) dan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kota Bekasi.
Keduanya dinilai lalai menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 74 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penyerahan PSU. Dalam aturan tersebut, Distaru bertanggung jawab mengawasi kesesuaian pemanfaatan lahan sesuai siteplan, sementara Disperkimtan bertugas melakukan verifikasi lapangan, menerima, dan mencatat PSU ke dalam neraca aset daerah.
Agung juga menyoroti dugaan terbitnya sertifikat atas lahan PSU sebagai bukti adanya kelalaian prosedural yang serius. Menurutnya, dalam sistem pertanahan, sertifikat hanya dapat diterbitkan jika lahan tersebut tidak tercatat sebagai milik pemerintah, memiliki siteplan yang disahkan, dan dibuktikan dengan izin bangunan (PBG atau IMB). Jika lahan PSU diduga bisa bersertifikat, maka ada dua kemungkinan: siteplan dimanipulasi atau pengawasan pencatatan aset tidak dilakukan oleh dinas terkait.
“Ini bukan sekadar kesalahan administratif. Ada proses formal yang secara teknis seharusnya menghalangi hal ini terjadi, tapi justru lolos. Artinya, ada yang membiarkan atau gagal menjalankan fungsi pengawasannya,” tegas Agung.
Data yang dimiliki JEKO menyebutkan bahwa sebanyak 279 perumahan di Kota Bekasi belum menyerahkan PSU kepada pemerintah, dan ada beberapa yang tidak memiliki dokumen siteplan yang memadai. Data ini, menurut Agung, merupakan fakta lapangan yang seharusnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa persoalan PSU bukanlah hal baru dan bukan pula kasus per kasus.
Namun, yang membuat JEKO kecewa adalah munculnya kembali wacana pembentukan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan ini. Padahal, Agung mengingatkan bahwa tim verifikasi PSU sudah dibentuk sejak 2022 melalui Keputusan Wali Kota, namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Tim tersebut bertugas menginventarisasi, memverifikasi lapangan, dan memastikan penyerahan PSU, tetapi hingga kini belum membuahkan output konkret.
“Tim itu sudah ada, tapi hasilnya nol. Jika sekarang muncul wacana membentuk tim baru, itu justru menunjukkan kegagalan pemerintah menindaklanjuti temuan yang sudah ada. Kami khawatir ini hanya strategi menggugurkan kewajiban,” ujarnya.
Untuk itu, sebagai bentuk keseriusan dalam mengawal isu ini, LSM JEKO menyatakan akan segera melaporkan secara resmi oknum-oknum Dinas Tata Ruang dan Disperkimtan Kota Bekasi ke Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, atas dugaan pembiaran terhadap alih fungsi PSU serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tata ruang dan aset daerah.
Langkah hukum ini diambil menyusul ramainya pemberitaan terkait penguasaan lahan fasos dan fasum oleh pengembang yang hingga kini belum diserahkan ke pemerintah. JEKO menilai bahwa permasalahan ini tidak cukup dijawab dengan retorika politik atau langkah administratif, melainkan harus dibawa ke jalur hukum agar ada kepastian dan akuntabilitas bagi masyarakat.
“Kami ingin mendorong agar hak masyarakat atas ruang publik dijaga dan tidak lagi dikorbankan oleh kelalaian birokrasi atau kompromi kepentingan. Ini bukan sekadar soal aset, ini soal keadilan ruang hidup warga,” tutup Agung.(*)