Masalah Klasik Polusi Udara, Dapatkah Selesai Dengan Hybrid Working ?

Redaktur author photo


Lilis Suryani:Penulis


PESATNYA pertumbuhan industri di tanah air di duga kuat menjadi penyumbang terbesar polusi udara, terlebih di kawasan industri seperti Jabodetabek kualitas udara sudah terkategori tidak sehat. Bahkan, beberapa waktu yang lalu DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk nomor dua di dunia.


Dilansir dari situs IQAir, US Air Quality Index (AQI US) atau indeks kualitas udara di Ibu Kota tercatat di angka 169. Maka daerah sekitar Jabodetabek pun tidak akan jauh berbeda.


Terkait hal itu, Pemerintah Provinsi Jabar pun menerapkan sejumlah langkah yang sesuai dengan imbauan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas (ratas) penanganan polusi udara Jabodetabek. Salah satu yang dilakukan Pemprov Jabar yaitu telah menerapkan hybrid working. Mekanisme Dynamic Working Arrangement (DWA) yang diterapkan Pemprov Jabar mengatur jam kerja ASN secara fleksibel dengan persentase kerja di kantor dan di luar kantor bervariasi.


Buruknya kualitas udara saat ini erat kaitannya dengan aktivitas ekonomi. Berdasarkan kajian Walhi, penyumbang pencemaran udara terbesar di DKI jakarta dan wilayah lainnya berasal dari sektor transportasi dan industri.

[cut]


Namun, mungkinkah dengan menerapkan hybrid working bisa menjadi solusi dari pencemaran udara ?. Sementara sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, mulai dari pembuatan transportasi massa berteknologi tinggi, penanaman pohon, pembuatan taman, kebijakan uji emisi kendaraan bermotor, kebijakan larangan membuang limbah beracun, kebijakan pajak karbon, hingga upaya pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, semua tidak terlepas dari persoalan polusi udara. Namun, upaya tersebut dianggap jalan di tempat.


Selain implementasinya yang buruk, fakta membuktikan bahwa polusi udara justru semakin meningkat. Maka dapat diprediksi, kebijakan terbaru WFH untuk mengurangi polusi pun akan bernasib sama. 


Padahal sebenarnya, jika kita telisik terkait polusi udara adalah asas yang melandasi sistem ekonomi saat ini, yakni sistem ekonomi kapitalis. Dimana sistem ekonomi ini berorientasi pada keuntungan semata, aplikasinya dengan modal sedikit, para pengusaha menginginkan keuntungan sebanyak-sebanyaknya meskipun harus mengorbankan lingkungan.


Diperparah dengan pemerintah yang dianggap kerap kali kalah oleh swasta, bahkan tampak dikendalikan swasta. Dikatakan demikian lantaran pemerintah sering kali tidak bisa berbuat apa-apa jika ada pabrik “ngeyel” tidak mau mengikuti aturan yang ditetapkan.

[cut]


Contohnya, walaupun sudah ada penetapan larangan membuang limbah beracun, faktanya hingga kini masih banyak perusahaan membuang limbahnya dan berujung pada polusi. Begitu pula WFH yang hanya diterapkan pada ASN, tetapi menjadi pilihan bagi swasta, padahal mobilitas pekerja pabrik swasta jauh lebih besar dari ASN. Bukankah kebijakan WFH untuk mengurangi emisi karbon dari kendaraan bermotor akhirnya menjadi tidak efektif?


Dengan demikian, sangat penting untuk memosisikan fungsi penanggulangan polusi udara sebagai wujud pemeliharaan karunia-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(29) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’.” (QS Al-Baqarah [2]: 29—30)


Menjaga kebersihan udara sebagaimana perintah Allah adalah amanah/mandat penciptaan. 


Dalam ayat yang lain, Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41)

[cut]


Dalam hal ini, penguasa memang harus berperan aktif sebagai pengayom dan pengatur urusan umat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)


Langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi polusi adalah negara hendaknya menjadi pengelola semua urusan masyarakat, tidak menyerahkannya kepada pihak swasta yang hanya fokus pada profit. Selain itu, mengembalikan aturan pengurusan masyarakat kepada hukum-hukum dari sang maha kuasa adalah hal yang utama.


Karena dengan itu, menjadikan negara akan memiliki regulasi yang pro rakyat dan dengan tegas memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar. Kebijakan yang pro rakyat ini ditandai dengan larangan penguasaan harta milik umum oleh swasta sebab harta tersebut milik rakyat. Negaralah yang akan mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Penguasanya tidak akan takut kepada selain Allah Swt. karena rida-Nya adalah satu-satunya motivasi dalam memegang amanah mengurusi umat.

Oleh: Lilis Suryani ( Guru dan Pegiat Literasi)

Share:
Komentar

Berita Terkini