MASYARAKAT Jawa Barat sebaiknya waspada, karena saat ini tidak hanya penyakit yang sudah dikenal seperti DBD, sifilis, jantung dan jenis lainnya yang bisa mengancam jiwa. Kini penyakit thalasemia yang belum familiar di masyarakat pun turut menjadi penyakit yang mengancam nyawa warga Jabar.
Thalasemia adalah kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.
Siapa sangka, Provinsi Jawa Barat saat ini menjadi daerah dengan kasus thalasemia paling banyak di Indonesia. Dari 12 ribu kasus terdeteksi pada 2023, sekitar 40 persen berada di Jawa Barat.
Melansir laman kemenkes.go.id diketahui bahwa thalasemia dapat diturunkan dari perkawinan antara dua orang pembawa sifat. Seorang pembawa sifat talasemia secara kasat mata tampak sehat (tidak bergejala), hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.
Sampai saat ini talasemia belum bisa disembuhkan namun dapat dicegah kelahiran bayi Talasemia Mayor dengan cara menghindari pernikahan antar sesama pembawa sifat, atau mencegah kehamilan pada pasangan pembawa sifat talasemia yang dapat diketahui melalui upaya deteksi dini terhadap populasi tertentu.
Fakta lain menunjukan, menurut sekala internasional setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat talassemia β, 80% dari jumlah tersebut berasal dari negara berkembang ( kemenkes.go.id).
Karena thalasemia masih asing di dengar oleh masyarakat, maka upaya pencegahannya pun diduga kuat masih belum optimal. Maka dari itu, perlu upaya serius dari pemerintah memberikan informasi yang detail terkait jenis penyakit ini.
Karena satu nyawa manusia, tidak bisa digantikan dengan apapun. Sayangnya, belum nampak upaya masif dari pemerintah untuk membebaskan masyarakat dari jenis penyakit ini.
Berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya saat wabah melanda masyarakat, pemerintah terkesan lalai dalam melakukan upaya preventif. Seperti pada kasus pandemi Covid-19 misalnya, atau pada kasus peningkatan DBD yang seolah menjadi langganan setiap tahun dialami masyarakat.
Thalasemia atau penyakit apapun tentu tidak akan mudah menjangkiti tubuh manusia yang sehat dan prima dengan imunisasi tubuh yang baik. Namun faktanya, kita dapati kesehatan adalah harga yang mahal bagi masyarakat di era saat ini.
Untuk dapat sehat tentu harus terpenuhi beberapa faktor seperti asupan makanan yang bergizi, terjaganya kebersihan baik tubuh maupun lingkungan melalui gaya hidup sehat, serta tenangnya hati dan pikiran. Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat saat ini ?
Makanan yang sehat dan bergizi kemungkinan besar hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berada saja. Sementara kebanyakan masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya jauh lebih besar memilih makan seadanya. " Sudah bisa makan saja sudah untung" begitu kurang lebih ungkapan yang sering kita dengar.
Harga bahan-bahan pokok yang tak ramah dikantong membuat para ibu mesti berpikir ekstra keras agar dapur tetap ngebul.
Akhirnya, membeli bahan makanan berkualitas rendah menjadi pilihan. Karena kebutuhan hidup tidak hanya makan, listrik harus bayar, gas harus dibeli, ditambah lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal.
Apalagi terkait kebersihan dan sanitasi, masyarakat masih banyak yang tinggal di pemukiman kumuh bahkan kolong jembatan. Jauh dari kata layak, jika kondisinya seperti ini tentu sulit untuk mendapatkan tubuh yang sehat.
Pun perkara imunitas tubuh yang salah satu faktor penurunnya adalah stres. Bagaimana tubuh hendak menjadi imun ketika realitas hidup begitu sekuler, jauh sekali dari fitrah penciptaan? Begitu banyak fenomena yang menerjang batas ideal kehidupan seorang muslim. Menyaksikannya saja, mau tidak mau, turut membuat stres.
Urusan umat tidak bisa ditangani dengan skema kerja individualistis. Sudah semestinya ada serangkaian tindakan penguasa yang secara normatif mengakomodasi berbagai aspek demi menjaga kesehatan warganya, termasuk hal-hal selain kesehatan terkait penunjang kesehatan, seperti ekonomi, pendidikan, ketahanan pangan, serta politik.
Di sinilah titik yang menunjukkan betapa urgen suatu kepemimpinan ideologis bagi suatu negara. Itu pun harus dengan ideologi sahih, yakni ideologi Islam agar segala sesuatunya berjalan sesuai fitrah penciptaan dari Allah Taala dan keterikatan terhadap hukum syariat juga dapat terjamin.
Individualisme adalah derivat kapitalisme yang tidak lain adalah ideologi yang sampai kapan pun pasti menyesatkan sehingga mustahil membawa keberkahan hidup.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah ia.” (HR Muslim dan Ahmad)
Hadis-hadis ini harus senantiasa memotivasi para penguasa agar amanah dalam mengemban kekuasaan. Memimpin adalah mengurusi urusan masyarakat. Menjabat bukanlah untuk mengumpulkan harta.
Kesehatan adalah salah satu sektor yang tidak semestinya dikapitalisasi sebagaimana dalam kacamata kapitalisme selama ini.
Kesehatan adalah aspek yang harus diurusi dengan sebaik-baiknya oleh penguasa melalui kebijakan-kebijakan yang manusiawi dan tepat sasaran, sehingga warganya sehat dan mampu berkarya membangun Negara.
Ditulis Oleh : Lilis Suryani -Guru dan Pegiat Literasi