Mobil Listrik APBD Kota Bekasi, Modernisasi atau Pemborosan Baru?

Redaktur author photo
Ilustrasi

DI TENGAH semangat efesiensi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah daerah Kota Bekasi kembali membuat gebrakan dengan menganggarkan Rp12,9 miliar untuk menyewa 72 unit mobil listrik dari APBD murni. 

Belum lagi jika menilik ke belakang, beberapa waktu lalu sempat heboh sebanyak 635 unit mobil dinas milik Pemkot Bekasi disebut tidak diketahui rimbanya hingga kini.

Alasan yang dikedepankan cukup ideal yakni, mendukung transisi energi hijau, efisiensi bahan bakar, dan citra pemerintahan modern. Namun di balik semangat ramah lingkungan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah cara dan skemanya sudah tepat?

Langkah menuju energi bersih memang sejalan dengan kebijakan nasional. Perpres Nomor 55 Tahun 2019 mendorong instansi pemerintah menggunakan kendaraan listrik dalam operasionalnya. 

Dari sisi visi, langkah ini patut diapresiasi. Pemerintah daerah ingin tampil sebagai pelopor kota hijau, mengikuti tren global pengurangan emisi karbon.

Namun, di balik narasi 'hijau', angka Rp12,9 miliar yang murni bersumber dari APBD Kota Bekasi bukanlah jumlah kecil. Bila dihitung rata-rata, setiap mobil disewa sekitar Rp179 juta per tahun. 

Artinya, dalam satu tahun fiskal, anggaran sebesar itu menguap tanpa meninggalkan aset tetap bagi daerah. Setelah kontrak berakhir, tidak ada kendaraan yang menjadi milik Pemda Kota Bekasi hanya bon pengeluaran.

Inilah sisi kontradiktif dari kebijakan tersebut.

Mengadopsi teknologi baru memang perlu, tetapi mekanisme sewa dengan nilai tinggi berpotensi membebani fiskal daerah. Ruang fiskal yang seharusnya bisa digunakan untuk layanan publik seperti, pendidikan, kesehatan, atau bantuan UMKM, justru terserap pada program simbolik yang belum tentu berdampak langsung bagi warga.

[cut]


Belum lagi soal kesiapan infrastruktur. Mobil listrik membutuhkan stasiun pengisian daya yang memadai. Jika titik pengisian masih terbatas, maka efektivitas penggunaannya akan diragukan. Bisa jadi mobil-mobil itu lebih sering parkir daripada beroperasi.

Publik tentu layak bertanya: mengapa tidak membeli saja sebagian kendaraan, sehingga bisa menjadi aset daerah? Mengapa harus sewa seluruhnya? Apakah sudah ada kajian perbandingan antara biaya sewa dan pembelian dalam jangka menengah?

Kebijakan publik yang baik seharusnya berangkat dari analisis manfaat dan beban jangka panjang, bukan sekadar mengikuti tren hijau. 

Modernisasi birokrasi bukan hanya soal mengganti bensin dengan listrik, tapi tentang bagaimana setiap rupiah dari APBD menghasilkan manfaat riil bagi masyarakat.

Mengusung kendaraan listrik bisa jadi langkah maju. Tapi jika tidak disertai perencanaan matang dan transparansi penggunaan anggaran, kebijakan hijau itu bisa berubah menjadi pemborosan berwajah modern.

Tentu. Berikut analisis plus minus (kelebihan dan kekurangan) dari program sewa 72 mobil listrik senilai Rp12,9 miliar yang dibiayai dari APBD murni:

Kelebihan (Plus)

1. Mendukung kebijakan energi hijau nasional

Sejalan dengan arahan pemerintah pusat tentang penggunaan kendaraan listrik untuk instansi pemerintah (Perpres 55/2019).

Dapat menjadi pilot project di daerah untuk pengurangan emisi karbon.

2. Citra pemerintahan modern dan peduli lingkungan

Meningkatkan brand image pemerintah daerah sebagai pelopor kota hijau dan berinovasi di bidang energi bersih.

Menarik simpati publik dan investor dalam sektor energi terbarukan.

[cut]


3. Efisiensi bahan bakar dan perawatan

Biaya operasional listrik umumnya lebih rendah dibandingkan BBM (sekitar 30–50% lebih hemat).

Perawatan mobil listrik lebih sederhana karena tidak memiliki banyak komponen mesin konvensional.

4. Transfer teknologi dan infrastruktur

Mendorong pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik, termasuk pembangunan charging station lokal.

Membuka peluang kerja sama dengan BUMD energi, PLN, atau startup lokal.

Kekurangan (Minus)

1. Nilai sewa tinggi dan berdampak pada fiskal

Rp12,9 miliar untuk 72 unit berarti sekitar Rp179 juta per mobil per tahun, tergolong tinggi untuk biaya sewa, bukan pembelian.

Beban ini murni dari APBD, artinya mengurangi ruang fiskal untuk program publik lain (pendidikan, kesehatan, UMKM).

2. Risiko tidak efisien jangka panjang

Karena statusnya sewa, tidak ada aset milik daerah yang bisa dimanfaatkan jangka panjang.

Setelah kontrak berakhir, daerah tidak memiliki kendaraan, sehingga berpotensi mengulang biaya serupa setiap tahun.

3. Kurangnya infrastruktur pendukung

Jika stasiun pengisian listrik belum siap di seluruh area kerja, maka operasional bisa terganggu.

Potensi kendaraan tidak optimal digunakan karena keterbatasan titik charging.

4. Potensi sorotan publik dan politik

Publik bisa menilai program ini tidak prioritas, apalagi bila kondisi keuangan daerah belum kuat.

Risiko kritik transparansi: perlu dijelaskan mekanisme pengadaan, spesifikasi mobil, dan efisiensi biaya dibandingkan opsi beli.

5. Kemungkinan ketidaksesuaian penggunaan

Jika mobil listrik digunakan untuk tugas dinas rutin jarak jauh, daya tempuh baterai bisa menjadi kendala.

Efektivitas penggunaan perlu disesuaikan dengan pola kerja ASN di lapangan.

Rekomendasi

1. Audit cost-benefit: bandingkan biaya sewa vs pembelian 72 unit kendaraan listrik selama 3–5 tahun.

[cut]


2. Transparansi publik: publikasikan kontrak sewa dan alasan pemilihan skema tersebut.

3. Tahapan implementasi: sebaiknya dilakukan bertahap (misalnya 20 unit dulu), untuk evaluasi efisiensi dan penerimaan pengguna.

4. Kolaborasi BUMD atau PLN: agar sebagian biaya dapat dikompensasikan dalam bentuk kerja sama energi hijau.

Oleh: Redaksi inijabar.com

Share:
Komentar

Berita Terkini