![]() |
| Prof. DR. Hadi Subhan, SH, CN, MH dan Syamsul Huda Yudha, SH, MH |
inijabar.com, Jakarta - Tertundanya pembayaran hak 1.900 eks-karyawan PT Kertas Leces (Persero) selama lebih dari 13 tahun, dan penahanan 14 sertifikat tanah boedel pailit senilai Rp 700 miliar oleh Kementerian Keuangan, mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Sejumlah pakar hukum menilai gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan eks-karyawan terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sangat beralasan kuat secara hukum.
Gugatan simbolik sebesar Rp 1 per orang atau total Rp 1.900 telah terdaftar dengan Nomor Perkara 716/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dijadwalkan disidangkan pada 4 November 2025.
Di balik nilai simbolis tersebut, terdapat tuntutan agar pemerintah memfasilitasi pembayaran hak normatif eks-karyawan senilai Rp 145,9 miliar yang tertahan.
Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga sekaligus Profesor Hukum Kepailitan pertama di Indonesia, Prof. Dr. M. Hadi Subhan, menegaskan bahwa tanggung jawab negara tidak berhenti saat penetapan pailit, melainkan wajib memastikan pemberesan aset untuk membayar para kreditor, terutama pekerja.
"Semua pihak, termasuk negara, in casu Kementerian Keuangan (Menteri Purbaya), harus mematuhi proses pengurusan dan pemberesan kepailitan PT Kertas Leces. Aset boedel pailit seharusnya dibereskan oleh kurator, termasuk jika masih ada yang diretensi oleh Kemenkeu atau instansi lain (Danantara)," jelas Prof Hadi.
Prof Hadi menyatakan, hal tersebut harus dilakukan, agar boedel pailit dapat maksimal dan memberikan recovery rate terbaik, termasuk untuk membayar hak-hak pekerja yang telah menunggu lebih dari satu dekade.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, seluruh kekayaan debitor pailit wajib dikelola dan dibagikan kepada kreditor secara adil sesuai urutan prioritas hukum," ucap Prof. Hadi.
[cut]
Lebih lanjut, dia menjelaskan hak pekerja merupakan kreditor preferen yang memiliki kedudukan istimewa, sebagaimana ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, yang menyatakan upah dan hak pekerja yang belum dibayar harus didahulukan atas semua jenis tagihan, termasuk tagihan negara.
"Dalam kasus PT Kertas Leces yang tertunda selama 13 tahun, negara melalui Kemenkeu, BP BUMN, dan Danantara, memiliki kewajiban hukum untuk segera menyerahkan aset pailit dan melunasi hak pekerja tanpa penundaan," tegas Prof. Hadi.
Pandangan serupa disampaikan praktisi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Syamsul Huda Yudha. Menurutnya, unsur-unsur PMH telah terpenuhi dalam kasus ini.
"Dari perspektif hukum perdata, ketika hak normatif pekerja eks-Kertas Leces tidak diterima selama lebih dari satu dekade padahal proses pailit telah selesai, maka unsur-unsur perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi, yaitu adanya tindakan atau kelalaian, melawan hukum, menimbulkan kerugian, serta hubungan sebab-akibat," paparnya.
Ia menambahkan, bahwa negara atau pelaksana pailit wajib memastikan hak pekerja dibayar terlebih dahulu, sesuai amanat UU 37/2004 dan Putusan MK 67/PUU-XI/2013. Bila kewajiban ini diabaikan, lanjutnya, maka bukan hanya kelalaian administratif, melainkan pelanggaran hukum yang nyata.
Menurut praktisi hukum yang akrab dipanggil Yudha itu, Yurisprudensi Putusan MA Nomor 324 K/Sip/1971 mengatur tindakan pemerintah yang menimbulkan kerugian bagi warga, dapat digugat secara perdata dan negara wajib bertanggung jawab atas tindakan aparaturnya.
"Pertanyaan hukumnya bukan lagi boleh ditunda, tetapi mengapa belum diselesaikan," kata Yudha.
Sementara itu, Kuasa hukum para penggugat, Eko Novriansyah Putra, menekankan bahwa gugatan ini bukan bentuk perlawanan terhadap pemerintah, tetapi simbol kepercayaan terhadap negara hukum.
[cut]
"Negara tidak boleh diam ketika rakyatnya, para pekerja BUMN, dibiarkan menunggu hak selama lebih dari satu dekade," kata Eko.
Eko mengatakan, nilai gugatan Rp 1 per orang bukan tentang uang, melainkan tentang keadilan dan tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
"Kami menggugat Rp 1 bukan karena uangnya, tetapi karena keadilan. Negara tidak boleh menahan aset yang seharusnya digunakan untuk membayar hak pekerja," tegas Eko.
Dia menyebutkan, secara hukum dan administratif, semua persyaratan penyelesaian sebenarnya sudah terpenuhi. Putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dan Kementerian Keuangan melalui Surat Nomor S-934/KN.5/2019 telah menyetujui penyerahan 14 sertifikat tanah boedel pailit kepada tim kurator.
"Nilai aset mencapai Rp 700 miliar, sementara kewajiban kepada pekerja hanya sekitar Rp 145,9 miliar. Artinya, tidak ada lagi hambatan hukum. Yang tersisa hanyalah kemauan dan keputusan," tuturnya.
Eko menegaskan, gugatan ini bukan sekadar soal uang, tetapi tentang akuntabilitas dan keadilan. Ratusan mantan karyawan yang sebagian besar berasal dari Probolinggo bahkan berencana hadir langsung di sidang perdana di PN Jakarta Pusat.
"Gugatan ini bukan hanya soal uang, tetapi tentang akuntabilitas dan keadilan. Mereka datang bukan untuk menekan, melainkan untuk menunjukkan kepercayaan kepada negara dan pengadilan bahwa hukum akan ditegakkan dengan adil," pungkas Eko.
Komisi VI DPR RI juga telah turun tangan. Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum pada 28 April 2025, mereka merekomendasikan Kementerian Keuangan segera menyerahkan sertifikat tanah kepada tim kurator agar hak karyawan dapat dibayarkan penuh sesuai prioritas hukum.
[cut]
Perlu diketahui, PT Kertas Leces (Persero), perusahaan BUMN yang berdiri sejak 1940-an di Probolinggo, Jawa Timur, pernah menjadi pabrik kertas kebanggaan nasional. Namun karena salah urus dan kerugian berlarut, perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya melalui Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2018/PN.Niaga.Sby pada 25 September 2018.
Putusan ini dikuatkan Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 43 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019 pada 28 Maret 2019. Sesuai ketentuan hukum, seluruh aset perusahaan (boedel pailit) seharusnya segera diserahkan kepada kurator untuk dilelang dan hasilnya digunakan membayar seluruh kreditor sesuai urutan prioritas.
Namun hingga kini, 14 sertifikat tanah seluas sekitar 74 hektare senilai sekitar Rp 700 miliar masih belum diserahkan kepada kurator. Akibatnya, pelunasan hak pekerja senilai Rp 145,9 miliar tidak dapat dilakukan. Lebih dari 300 eks-karyawan bahkan telah meninggal dunia dalam penantian panjang tersebut.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum kepailitan dan perlindungan tenaga kerja. Putusan MK Nomor 67/PUU-XI/2013 secara eksplisit menempatkan hak pekerja di posisi paling utama, bahkan di atas tagihan negara. (Pandu)






