Restorasi Kebijakan Politik Agraria pada Panggung Kedaulatan Energi Baru Terbarukan

Redaktur author photo




Penulis: Yuwono Setyo Widagdo- Wasekjen DPP Barisan Muda Kosgoro 1957, Fungsionaris Partai Golkar


Historikal Retoris

Sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 Energi merupakan sumber daya alam penting dan strategis yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak sehingga kewenangan negara untuk menguasainya dan dipergunakan sebesar-besarnya untu kemakmuran rakyat. Energi merupakan sektor penting bagi pembangunan Indonesia. Tidak hanya dalam soal pemasukan kepada devisa Negara, tetapi juga menentukan dalam perkembangan kemajuan peradaban Indonesia.

“Keberadaan energi sangat penting karena perannya dalam roda politik dan pemerintahan perekonomian, kehidupan sosial serta pertahanan dan keamanan.Kedaulatan energi merupakan hak suatu negara dan bangsa untuk secara  mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi”  Definisi ini menjelaskan bahwa Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki kedaulatan energi nasional manakala kebijakan nasional terkait dengan energi dan tata kelolanya direncanakan, dibuat dan dilaksanakan secara mandiri yakni tidak ada ketergantungan, infiltrasi, dan tekanan-

tekanan dari kekuatan eksternal baik negara maupun lembaga-lembaga atau organisasi lain. Hal ini bukan berarti Indonesia tidak bisa melakukan kerjasama dengan pihak lain, tetapi kerjasama dan adanya tukar-menukar informasi atau perjanjian-perjanjian atas keterkaitan masalah pada tata kelola energi nasional dimana semua harus bebas dari tekanan dari, dan ketergantungan terhadap kepentingan dari hal apapun. 

Sementara yang dimaksud dengan ketahanan energi nasional adalah “suatu kondisi terjaminnya akses ketersediaan energi, serta akses masyarakat terhadap energi pada terjangkau harga (rasional) dalam jangka panjang dengan stabil memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Ketahanan energi merupakan sebuah tamansari politik yang stratejik dimana energi laiknya disediakan secara tepat waktu dan terjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkau dan mutu yang dapat diterima serta berguna untuk masyarakat pada umumnya. Indikator yang digunakan untuk menggambarkan ketahanan energi antara lain (1) jumlah energi (availibility) baik sumber daya maupun cadangan energi, (2)ketersediaan infrastruktur (accessability), (3)harga energi (affordability), (4)kualitas energi (acceptability), serta (5)portofolio atau bauran energi (energi mix). Disamping itu ketahanan energi juga mempunyai elemen (6)keberlanjutan (sustainability), sehingga energi dituntut untuk dikelola dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (environment).


Proporsi Ketahanan Energi Indonesia

Indonesia adalah Negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang berlimpah, termasuk sumber daya energi. Peranan Indonesia di bidang energi sangat besar, misalnya Indonesia adalah salah satu eksportir batubara dan LNG (Liquefied Natural Gas) terbesar di dunia. Kekayaan tersebut sebenarnya merupakan modal untuk menjadi negara besar. Namun demikian, sampai saat ini permintaan energi di Indonesia masih didominasi oleh energi yang tidak terbarukan (fossilfuel).


Pada tahun 2013, energi fosil menyumbang 94.3 persen dari total kebutuhan energi (1.357 juta barel setara minyak). Sisanya 5,7 persen dipenuhi dari Energi Baru dan Terbarukan (selanjutnya disingkat EBT). Dari jumlah tersebut, minyak menyumbang 49,7 persen, gas alam 20,1 persen, dan batubara 24,5 persen. Separuh dari minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus diimpor, baik dalam bentuk minyak mentah (crude oil) maupun produk minyak. Dengan kondisi tersebut, ketahanan energi Indonesia tentu menjadi sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi di pasar global.  Produksi minyak mentah (crude oil) terus mengalami penurunan. Sepanjang 5 (lima) tahun terakhir, produksi rata-rata minyak bumi di bawah 1 juta barel per hari (bph). Pada tahun 2012, produksi minyak bumi mencapai 945 ribu bph, terus menurun menjadi 824 ribu bph pada tahun 2013 dan 789 ribu bph pada tahun 2014 dari target 919 rb bph.

Negara Republik Indonesia, secara alami sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar dalam hal sumber-sumber energi baik sumber energi fosil maupun EBT. Namun demikian, potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepada keberlangsungan kedaulatan dan ketahanan energi nasionalnya. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjadi salah satu negara pengimpor minyak dan gas sejak Tahun 2004 sebagai akibat dari peningkatan konsumsi di dalam negeri yang tak terkendali di samping ketidak berhasilan di dalam tatakelola energi nasional, khususnya di bidang eksplorasi minyak dan gas. Kondisi seperti ini jelas berdampak serius terhadap bukan saja perekonomian nasional, tetapi yang lebih penting lagi adalah terhadap kedaulatan dan ketahanan energi.

Banyak permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi dalam rangka kedaulatan energi antara lain pertama, sumber daya energi yang sampai saat ini masih difungsikan sebagai sumber pendapatan nasional. Energi fosil gas dan batubara misalnya, diekspor dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat dilihat dari peranan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara dan gas terbesar di dunia. Kedua, pemberian subsidi terhadap harga energi oleh pemerintah sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas keuangan Negara dan perekonomian nasional. Subsidi terhadap harga energi yang terus membengkak dari tahun ke tahun tidak hanya membebani perekonomian Negara tetapi juga menyebabkan pola konsumsi energi masyarakat menjadi boros. Subsidi energi ini juga mengakibatkan pengembangan EBT menjadi tidak berjalan. Ketiga, terbatasnya infrastruktur yang menghubungkan lokasi terdapatnya sumber energi ke konsumen seperti pelabuhan, loading-unloading facility dan jaringan distribusi yang membentuk konektivitas nasional yang mengakibatkan akses masyarakat terhadap energi menjadi terbatas dan menurunkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan eneri dalam jumlah cukup dan berkualitas bagi masyarakat dan industri. Konektivitas tersebut dibangun mulai dari sumber energi hingga ke pusat konsumsi energi dengan skema-skema tertentu. Tujuannya adalah untuk menjamin tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan ketahanan energi. Keempat, belum optimalnya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti hidro, panas bumi, angin, surya, kelautan dan biomassa. 

Meskipun Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, namun pengembangannya masih berskala kecil, padahal pengembangan energi untuk jangka panjang perlu mengoptimalkan pemanfaatan EBT untuk mengurangi pangsa penggunaan energi fosil. Persoalannya adalah energi di Indonesia bergantung pada azas pengelolaan. Seharusnya pemerintah harus berpegang pada azas keadilan dan keberlangsungan dalam merumuskan kebijakan energi. Produksi minyak dan gas bumi dalam negeri harus ditahan agar keberlanjutannya bisa terjaga sebab cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia sudah menipis. Oleh karena itu pemerintah tidak perlu mematok lifting atau produksi minyak dan gas bumi terlalu tinggi tetapi fokus pada bagaimana mengatasi persoalaan ketersediaan cadangan energi hingga beberapa puluh tahun kedepan.

Menurut data, panas bumi dengan potensi lebih dari 28.617 MW baru dimanfaatkan sebesar 1.341 MW, sementara tenaga air dengan potensi 75.000 MW baru dimanfaatkan 7.059 MW dan pembangkit biomassa dengan potensi sebesar 13.662 MW baru dimanfaatkan 1.772 MW. Di antara sumber daya EBT, biomassa baik untuk bahan bakar pembangkit listrik atau sebagai bahan baku untuk diolah menjadi bahan bakar nabati (BBN) sebab dapat mengurangi ketergantungan pada BBM yang saat ini sekitar 50% berasal dari impor, juga ramah lingkungan sehingga bisa mengurangi pencemaran. Pengembangan EBT menghadapi kendala karena biaya investasi yang masih tinggi, belum ada intensif yang memadai, harga jual EBT masih lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil, kurangnya pengetahuan dalam mengadaptasi fasilitas energi bersih, serta potensi sumberdaya EBT pada umumnya kecil dan tersebar. Kelima, dari sisi disparitas wilayah, kebutuhan energi yang sangat besar di wilayah pulau Jawa sedangkan potensi sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas. Sementara itu di luar Jawa yang memiliki potensi sumberdaya energi yang besar hanya membutuhkan energi yang relatif kecil. Keenam, permasalahan infrastruktur di wilayah luar pulau Jawa yang masih sangat kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Infrastruktur yang masih sangat kurang ini menjadi penghambat utama dalam pengembangan wilayah serta pemerataan akses masyarakat terhadap energi. Ketujuh, mafia minyak dan gas bumi atau pemburu rente yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha minyak dan gas bumi secara legal dan merugikan Negara secara massif.

Dari berbagai persoalan tersebut sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan energi nasional yang dapat memberikan peranan penting dalam usaha mencapai kedaulatan energi. Kedaulatan energi adalah hak seluruh rakyat, bangsa dan Negara untuk menetapkan kebijakan energi, tanpa campur tangan Negara lain. Kedaulatan energi mencakup eksplorasi dan produksi energi yang cukup dan merata; melakukan diversifikasi agar tersedia banyak pilihan energi termasuk energi baru terbarukan serta melakukan konservasi energi, efisiensi pemanfaatannya untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan energi bagi masyarakat.

PERAN PEMANGKU KEBIJAKAN SERTA STAKEHOLDER DALAM MENCAPAI KEDAULATAN EBT ?

Banyak yang tidak menyadari bahwa dari sekian banyak manfaat hutan, salah satu yang paling esensial adalah sebagai penyuplai energi terbarukan yang bersih bagi kehidupan di bumi. Energi terbarukan merupakan jenis energi dari sumber daya alam yang pada hakikatnya tidak akan pernah habis dan mampu terisi kembali melalui proses alami dalam kurun waktu yang pendek dibandingkan dengan masa hidup manusia. Terdapat beberapa jenis sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan di Indonesia, antara lain surya (solar), air (hydro), angin (wind), panas bumi (geothermal), bioenergi (biomassa), serta gelombang laut (ocean or marine energy).

Sumber-sumber energi tersebut, sebagian besar terkait langsung dengan keberadaan hutan, dan tentu saja kelestariannya. Hutan sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam menyediakan dan menyimpan hampir semua energi yang dibutuhkan oleh manusia. Tutupan vegetasi hutan yang didominasi oleh pepohonan memiliki peranan penting dalam menjaga keberlanjutan energi, dari menahan air tanah dan menjaga kualitasnya, mencegah pemanasan global sekaligus menstabilkan suhu, menyediakan stok sumber daya seperti panas bumi, air dan biomassa, bahkan memproduksi oksigen yang kita hirup sepanjang waktu agar bisa bertahan hidup.

Hingga saat ini masih banyak yang menganggap bahwa energi terbarukan hanya sebagai energi alternatif. Pemahaman ini berbahaya, karena dapat diartikan bahwa energi terbarukan baru akan dimanfaatkan saat energi yang biasa kita gunakan yaitu energi fosil sudah habis. Pada kenyataannya, energi terbarukan adalah solusi untuk menggantikan penggunaan energi fosil serta menjawab ancaman krisis energi dunia yang mengancam di masa depan. Artinya, pemanfaatan energi terbarukan seharusnya segera diimplementasikan sebelum krisis energi benar-benar terjadi. 

Pemanfaatan ini, di antaranya adalah menggunakan aliran debit air sebagai Pembangkit Listrik Mini-Mikro Hidro. Selain itu, sumber energi terbarukan lainnya yang tersedia di hutan adalah biomassa. Biomassa adalah penghasil bioenergi yang berasal dari bagian-bagian tanaman di hutan. Beberapa jenis tanaman yang umum digunakan sebagai sumber energi biomassa adalah eucalyptus, sengon, gamal, lamtoro, nyamplung, bintangur, akasia, rumput gajah, kaliandra, dan kemiri. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini dikembangkan pembangkit listrik biomassa berbahan baku bambu di Mentawai, Sumatera Barat.

Energi panas bumi (geothermal) yang merupakan potensi energi terbesar di Indonesia juga boleh dikatakan saling bergantung dengan hutan. Geothermal umumnya berada di kawasan vulkanis pegunungan dan kawasan hutan. Proses pengubahan energi panas bumi menjadi listrik juga sangat membutuhkan air.

Namun, pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di hutan-hutan kita mesti melalui pendekatan yang ramah lingkungan karena sering kali upaya pemanfaatan energi alami ini berakhir sebagai penyebab deforestasi. Perlu diingat bahwa tujuan pemanfaatan energi terbarukan yang bersumber dari hutan adalah menggantikan energi yang selama ini bersumber dari fosil yang berdampak buruk bagi lingkungan. Jadi, sudah seharusnya pertimbangan lingkungan diutamakan, sehingga energi terbarukan dapat menjadi jaminan energi masa depan yang menjanjikan untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian, menjaga hutan berarti menjaga keberlangsungan suplai energi kini dan nanti.

Perhutanan sosial menjadi salah satu jalan mewujudkan ekonomi hijau melalui pengelolaan sektor kehutanan yang mampu menjadi satu pilar mewujudkan berbagai target pembangunan nasional maupun global yang berkelanjutan, mulai dari Sustainable Development Goal’s (SDG’s), pembangunan rendah emisi (Low Emission Development), pemenuhan NDC (Nationally Determined Contribution), kemandirian energi yang bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT), kedaulatan pangan, dan program strategis nasional lainnya.

Industri ini terkendala beberapa hal yaitu logistic pembebasan lahan dan salah satu peran Pemerintah dalam pengelolaan EBT adalah terkait kebijakan dan regulasi. Pembentukan undang-undang khusus EBT diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum terkait EBT, jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi usaha pengadaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan EBT yang berkesinambungan. Perlu adanya koordinasi secara proaktif dan intensif dari berbagai leading sector kementerian terkait,pusat dan daerah. 

Salah satu contoh implikasinya adanya konflik norma antara pemanfaatan energi panas bumi dan perlindungan hutan konservasi sebagimana terdapat dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang- undang nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disebabkan oleh faktor- faktor yang melatarbelakangi lahirnya kedua pasal tersebut, yaitu berupa tujuan yang akan dicapai. Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, tujuan yang ingin dicapai tersebut lazim disebut dengan istilah politik hukum. Dalam UU CIPTAKER dengan penarikan kewenangan ke pusat menjadi polemic tersendiri juga, karena pada dasarnya daerah lah yang mempunyai wewenang dan mengtahui bagaimana sosiokultur dan demografi wilayah tersebut.


Daftar Pustaka: 

Indonesian Center for Environmental Law, 2020, Oktober, 06

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan.com

Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2016

Harmonisasi Pengaturan Pemanfaatan Energi Panas Bumi dan Perlindungan Hutan Konservasi (Studi Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi dan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Artikel Oleh: Wahyudi Saputro. Universitas Brawijaya

I Nyoman Nurjaya. Makalah : Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia. Dimuat dalam jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005

Share:
Komentar

Berita Terkini