LSM Jeko Laporkan Anggaran Rumah Dinas Walikota Bekasi ke KPK

Redaktur author photo
Ketua LSM Jeko Hendrik Effendi

inijabar.com, Kota Bekasi - Terkait tunjangan rumah dinas walikota Bekasi semilai Rp1,5 miliar. LSM Jeko (Jendela Komunikasi) masukan laporan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Ketua LSM JEKO, Hendrik Effendi membenarkan, pihaknya serius dalam dugaan kasus anggaran rumah dinas Walikota Bekasi ini.

"Ada yang janggal dalam pos anggaran Kota Bekasi tahun berjalan. Dalam dokumen resmi Rencana Kerja dan Anggaran Sekretariat Daerah, tertulis jelas alokasi setengah miliar rupiah dari kas daerah untuk membiayai sewa rumah jabatan Wali Kota,"ungkapnya. Rabu (10/9/2025).

Namun di lapangan, rumah jabatan itu tidak pernah ditempati. Tri Adhianto justru memilih menetap di rumah pribadinya, sementara dari informasi yang diperoleh, biaya sewa tetap dibayarkan. 

"Artinya, uang daerah yang semestinya digunakan untuk membiayai fasilitas jabatan justru berputar kembali ke rumah milik pribadi kepala daerah. Praktik semacam ini, menurut pegiat antikorupsi, bukan lagi sekadar kejanggalan administratif,"ujarnya.

Hendrik menyebut langkah Tri sebagai bentuk terang penyalahgunaan kewenangan. 

“Ini jelas konflik kepentingan. Kepala daerah mengarahkan APBD untuk menyewa rumahnya sendiri, lalu dia yang menikmati fasilitasnya. Publik harus tahu, uang pajak warga Bekasi dipakai untuk sesuatu yang tidak punya dasar hukum,” tegas Hendrik.

Dia menjelaskan, dasar regulasi yang berlaku sebetulnya sangat terang. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah mengatur bahwa rumah dinas merupakan bagian dari aset yang harus direncanakan, diadakan, dimanfaatkan, dan diawasi sesuai prosedur. 

Pasal 98 hingga Pasal 99 menekankan bahwa setiap penyalahgunaan atau pemanfaatan tanpa dasar dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi serta sanksi administratif maupun pidana. Lalu ada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dengan jelas mewajibkan pemerintah menyediakan rumah jabatan berikut fasilitasnya, bukan mengganti dengan skema sewa rumah pribadi pejabat. 

Lebih jauh, praktik ini bersinggungan langsung dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara dapat dipidana, sementara Pasal 3 mengatur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat karena jabatan untuk menguntungkan diri sendiri juga masuk kategori korupsi.

“Tiga aturan besar ini jelas dilanggar. Tidak ada Perda atau Perwal di Bekasi yang mengatur penggunaan rumah pribadi sebagai rumah dinas. Jadi, uang setengah miliar rupiah yang keluar dari APBD tiap tahun pada hakikatnya hanya mengalir kembali ke kantong pribadi Wali Kota. Ini bukan maladministrasi lagi, tapi sudah masuk ke ranah Tipikor,” ujar Hendrik.

Ia menilai kondisi ini membuka ruang kebocoran anggaran daerah yang sistematis. Publik membayar pajak untuk fasilitas kepala daerah, tapi fasilitas itu tidak pernah ada dalam bentuk sebenarnya. Yang terjadi, fasilitas itu direkayasa menjadi sewa rumah pribadi pejabat. 

“Warga Bekasi berhak marah. Mereka berhak tahu ke mana uang pajak mengalir. Kalau dibiarkan, praktik semacam ini akan dianggap biasa, padahal ini pembusukan tata kelola,” kata Hendrik.

Atas temuan itu, pihaknya melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera turun tangan. 

Hendrik menyebut, unsur hukum sudah terang, kerugian daerah sudah jelas, dan subjek hukum pun tidak bisa mengelak. 

“Ini saatnya KPK bersikap. Rancang bangun penyalahgunaan ini sudah gamblang terlihat. Jangan menunggu desakan publik semakin membesar. Langkah tegas harus segera diambil agar kasus ini tidak menjelma menjadi aksi massa. Tri Adhianto wajib diperiksa, dan anggaran sewa rumah dinas ini harus diaudit menyeluruh. Jika dibiarkan, kerugian publik Bekasi hanya akan semakin dalam,” tutup Hendrik.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini