Kejari Kota Bekasi Periksa NCW Terkait Laporan Dugaan Korupsi Disdik dan DLH

Redaktur author photo
Ketua NCW DPD Bekasi Raya, Herman P. Simaremare, saat memenuhi panggilan Kejari Kota Bekasi.

inijabar.com, Kota Bekasi - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi, mulai memeriksa laporan dugaan korupsi pengadaan meubelair sekolah senilai Rp19,29 miliar di Dinas Pendidikan Kota Bekasi tahun anggaran 2025, serta dugaan tindak pidana korupsi dan pelanggaran di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi.

Adapun pemanggilan pemeriksaan dilakukan terhadap pelapor dari Nasional Corruption Watch (NCW) DPD Bekasi Raya, untuk memberikan keterangan terkait laporan yang disampaikan sejak 25 September 2025.

"Hari ini kami memenuhi panggilan Kejari Kota Bekasi. Ada dua laporan, pertama dugaan markup pengadaan barang di Dinas Pendidikan, kedua dugaan tindak pidana korupsi serta pelanggaran lingkungan hidup," ujar Ketua NCW DPD Bekasi Raya, Herman Parulian Simaremare, Selasa (21/10/2025).

Herman menjelaskan, dugaan korupsi berawal dari temuan dua paket pengadaan mebel sekolah dan kantor yang dinilai sarat rekayasa. Berdasarkan analisis NCW, dari total nilai proyek Rp19,29 miliar, terdapat potensi markup sekitar Rp7,4 miliar atau 62 persen di atas harga pasar.

"Nilai wajar seharusnya hanya Rp11,88 miliar, tetapi digelembungkan menjadi Rp19,29 miliar. Potensi kerugian negara mencapai Rp7,4 miliar," tegas Herman.

NCW DPD Bekasi Raya menyatakan telah mengidentifikasi lima indikasi pelanggaran dalam pengadaan meubelair tersebut:

1. Markup harga yang mencapai 62 persen di atas harga pasar.

2. Dugaan duplikasi anggaran (double budgeting), di mana jenis barang sama muncul dalam waktu pelaksanaan berdekatan.

3. Split anggaran menggunakan kode Mata Anggaran Keluaran (MAK) ganda, untuk mengaburkan jejak keuangan.

4. Potensi persekongkolan penyedia melalui sistem e-purchasing, yang diduga dipakai mengunci vendor tertentu.

5. Pengadaan barang dinilai tidak rasional. Sebanyak lebih dari 8.500 set meja kursi siswa diadakan hanya dalam satu tahun, jumlah yang tidak masuk akal dan mengarah pada oversupply, bahkan pengadaan fiktif.

Dalam laporannya, NCW juga mengungkap sejumlah permasalahan serius terkait pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi.

"Permasalahan di LH Kota Bekasi itu meliputi pencemaran lingkungan, dugaan pungutan liar, serta indikasi penyalahgunaan anggaran perawatan alat berat yang diduga telah merugikan keuangan negara," ucap Herman.

Herman menyebut, pihaknya mengungkap tiga permasalahan utama terkait dengan pengelolaan sampah yang ada di TPA Sumur Batu.

Pertama, pencemaran lingkungan akibat tidak adanya batas wilayah jelas. TPA Sumur Batu diketahui tidak memiliki tembok pembatas yang layak antara zona pembuangan sampah dan permukiman warga.

"Banyak bagian tembok pembatas yang rusak, hilang, atau bahkan tidak dibangun sama sekali. Hal ini menyebabkan pencemaran udara, tanah, dan air serta mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat sekitar," tutur Herman.

Kedua, dugaan pungutan liar dan ketiadaan batas zona, sehingga dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk membuka jalur ilegal bagi armada sampah yang masuk tanpa membayar retribusi resmi.

"Jalur-jalur ilegal ini diketahui berada di sisi samping Kelurahan Sumur Batu dan arah Stadion Mini Sumur Batu. Akibatnya, pendapatan daerah dari sektor retribusi sampah diduga hilang hingga ratusan juta rupiah setiap bulan," terangnya.

Ketiga, adanya dugaan penyalahgunaan anggaran perawatan alat berat. Pasalnya, dari 25 unit alat berat yang dimiliki oleh TPA Sumur Batu, hanya 5 unit yang masih berfungsi.

"NCW menduga adanya penyalahgunaan anggaran perawatan alat berat karena minimnya pemeliharaan yang berdampak pada kerusakan alat," beber Herman.

Menurut Herman, praktik tersebut berpotensi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 

"Pasal tersebut menjerat setiap penyalahgunaan wewenang, untuk memperkaya diri dan merugikan keuangan negara," papar Herman.

Khusus untuk kasus di DLH, Herman menjelaskan bahwa pengelolaan TPA Sumur Batu tidak hanya melanggar prinsip tata kelola lingkungan yang baik, tetapi juga dapat dijerat dengan berbagai regulasi pidana.

"Pelanggaran terhadap UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat dikenai sanksi pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar," ungkap Herman.

Selain itu, Herman menjelaskan, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah juga diduga dilanggar dalam kasus Disdik, terutama terkait asas efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.

"Kami berharap, Kejari Kota Bekasi segera menyelidiki Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pejabat pengadaan, dan penyedia barang," kata Herman.

NCW juga meminta agar dilakukan audit investigatif bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), memanggil Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi selaku pengguna anggaran, serta membuka hasil penyelidikan secara transparan kepada publik.

Sebelumnya, Kepala Kejari Kota Bekasi, Dr. Sulvia Triana Hapsari, melalui surat bernomor B-7093/M.2.17/Dek.1/10/2025 tertanggal 14 Oktober 2025, menyampaikan bahwa laporan NCW masih dalam proses pengumpulan bahan keterangan.

"Kami memberi apresiasi dan sangat berharap pihak kejaksaan dapat bekerja profesional, transparan, dan sesuai koridor hukum," ungkap Herman.

Herman menegaskan, korupsi di dunia pendidikan dan lingkungan di setiap wilayah bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bangsa Indonesia.

"Dana pendidikan adalah investasi untuk generasi mendatang. Jika dikorupsi, artinya kita merampas hak anak-anak untuk mendapat pendidikan berkualitas. Begitu pula dengan pengelolaan lingkungan hidup yang menyangkut kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," pungkasnya. (Pandu)

Share:
Komentar

Berita Terkini