Perpres Sampah Listrik Turun, Ini 5 Perusahaan Dinilai Paling Siap Eksekusi Proyek PSEL

Redaktur author photo
Ilustrasi

inijabar.com, Jakarta- Presiden Prabowo telah mengeluarkan Perpres (Peraturan Presiden) terkait pengembangan proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik atau waste to energy (PSEL).

Perpres No 109 Tahun 2025 pada 10 Oktober 2025 tersebut dalam salah satu regulasinya soal kenaikan harga pembelian listrik oleh PLN. Yakni menetapkan harga USD0,20 per kWh untuk semua kapasitas PSEL, naik signifikan dari sebelumnya yang hanya USD0,13 per kWh tergantung kapasitas pembangkit.

Kebijakan lain dalam Perpres tersebut juga menyebut soal durasi kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) kini diperpanjang menjadi 30 tahun sejak proyek beroperasi secara komersial (commercial operation date). 

Sebelumnya, durasi kontrak tidak diatur secara eksplisit, sehingga kerap menimbulkan ketidakpastian bagi investor maupun lembaga pembiayaan.

Selain itu, dalam Perpres juga menghapus skema tipping fee kompensasi jasa pengelolaan sampah yang sebelumnya bisa mencapai Rp500 ribu per ton.

Sebagai gantinya, kenaikan tarif listrik diharapkan mampu menutup potensi pendapatan yang hilang bagi operator PSEL, sekaligus membuat proyek lebih efisien dan berorientasi pasar.

Presiden Prabowo dalam Perpres tersebut memperkuat posisi Danantara untuk memilih badan usaha pengembang dan pengelola proyek, sekaligus melaksanakan investasi dan manajemen risiko dalam proyek yang dinilai layak secara finansial dan komersial.

Sebelumnya, CEO Danantara Rosan Perkasa Roeslani menyebut, sudah ada 107 calon investor yang menunjukkan minat untuk terlibat di sektor waste to energy Indonesia yang terdiri dari 53 investor domestik dan 54 investor asing.

Dari hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setidaknya terdapat 10 kota yang siap mengimplementasikan proyek PSEL tahap awal, yaitu Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Bali, dan Makassar.

Riset Stockbit pada Jumat (17/10/2025) mencatat skema baru tersebut memberikan kepastian bisnis yang lebih besar bagi operator PSEL karena kombinasi harga beli listrik yang tinggi dan durasi kontrak jangka panjang membuat proyek lebih bankable.

Meski tanpa tipping fee, margin operasional tetap potensial karena pendapatan bersumber dari PLN dengan jaminan kontrak 30 tahun.

Adapun sejumlah emiten telah memiliki eksposur terhadap proyek waste to energy maupun bisnis pendukungnya.

Berikut emiten yang paling siap mengeksekusi peluang PSEL:

PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), yang telah mengalihkan fokus bisnis dari batu bara menuju energi baru dan terbarukan, termasuk pengelolaan limbah.

PT Mahareksa Biru Energi Tbk (OASA), yang memiliki anak usaha di bidang energi hijau dan pengolahan limbah.

PT Multi Hanna Kreasindo Tbk (MHKI), yang bergerak di jasa pengelolaan limbah industri dan berpotensi menjadi mitra teknologi PSEL.

PT Hero Global Investment Tbk (HGII), yang memiliki portofolio investasi di sektor energi bersih.

PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk (BIPI), yang memperluas portofolio infrastruktur energi ke arah proyek renewable termasuk pengelolaan limbah.

Namun meski prospeknya cerah, saham-saham berorientasi waste to energy justru terkoreksi pada perdagangan Jumat (17/10/2025). Saham TOBA anjlok 8,37 persen ke Rp1.095, OASA turun 3,50 persen ke Rp276, MHKI tergelincir 9,03 persen ke Rp262, dan BIPI melemah 9,38 persen ke Rp87.

Sekedar diketahui, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara mencatat investasi yang dibutuhkan untuk proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) mencapai Rp2 triliun—Rp3 triliun. Investasi ini dibutuhkan untuk setiap unit mengolah 1.000 ton sampah.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini