Modus Operandi Pelaku Impor Sampah 

Redaktur author photo

PADA Januari 2018 RRT/Cina mengeluarkan policy stop impor sampah, dikenal dengan 'National Sword'. Maka dampaknya sampah impor membanjiri negara Malaysia, Philipina, dan Indonesia.

Impor sampah berasal dari negara maju, seperti UK/Inggris, Germany, Belgium, Japan, USA, Canada, Australia, dan lain-lain.

Asia Selatan dan Asia Tenggara menjadi tujuan utama, yakni sebagai pasar dumping sampah impor. Alasan utama impor sampah yang sering didengar adalah untuk mencukupi kebutuhan bahan baku daur ulang. Disebutnya bahan baku berupa potongan plastik (recycle non B3).

Artinya bahan baku ini khusus plastik, berbeda dengan impor sampah kertas, logam, kaca, dll. Sebagaimana informasi dari Kementerian Perindustrian RI yang ditujukan pada Menteri Lingkungan Hidup RI pada 1 November 2018.

Salah satu pointnya: Kebutuhan bahan baku untuk industri plastik nasional adalah 5,6 juta ton/tahun, dipenuhi dari dalam negeri berupa plastik virgin sebesar 2,3 juta ton/tahun, impor 1.67 juta ton dan dari bahan baku recycle (skrap plastik) dalam negeri sebesar 1,1 juta ton. Sehingga kekurangan bahan baku plastik yang berasal dari skrap sebesar 600 ribu ton/tahun.

Kekurangan bahan baku skrap plastik tersebut, selama ini dipenuhi melalui impor rata-rata sebesar 10.750 ton/tahun dengan mekanisme impor yang diatur dalam Permendag No. 31 tahun 2016.

Sebagai tambahan informasi nilai devisa ekspor industri recycle plastic (HS 3915) di tahun 2017 mencapai sebesar USD 92,2 juta dan terdapat surplus terhadap impor sebesar USD 40 juta (Data UN Comtrade).

Selama ini bahwa yang memberikan ijin impor sampah adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan rekomendasi.

Tampaknya KLHK kali ini (2018) tidak memberikan rekomendasi lagi. Ijin impor sampah diberikan kepada sejumlah perusahaan di Indonesia. Karena dalam perkembangannya, setelah Cina menutup kran impor sampah Januari 2018, isu tentang impor sampah menjadi semakin heboh di dunia.

Sejumlah pihak, NGOs, komunitas, media massa, dll menyuarakan tolak impor sampah semakin seru. Bahkan mereka meminta agar sampah impor tersebut dikembalikan ke negara asalnya.

Presiden Philipina berteriak lantang akan kembalikan sampah milik Kanada. Kemudian Menteri Lingkungan Malaysia juga akan kembalikan sampah impor ke Eropa. Dan belum lama ini KLHK bersama bea cukai menemukan 65 kontainer sampah impor dari Amerika Serikat di Batam, dan sebagian mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).

KLHK akan kirim kembali sampah impor tersebut. Kenapa negara berkembang dan para pengusahanya sangat gandrung dengan impor sampah? Sejak tahun 1982-an impor sampah semakin ramai. Pada tahun itu komunitas pemulung Indonesia secara keras menolak impor sampah.

Menurut berbagai informasi, termasuk BBC London (2000) yang mengkampanyekan Stop Sampah Impor, mengatakan bahwa importer dapat biaya transportasi dan pengolahan sampah tersebut. BBC London ketika itu mewawancari penulis, sekaligus minta ikut lakukan investigasi di Bantargebang Bekasi dan Gunung Putri Bogor.

Kemudian sampah dari kontainer-kontainer itu jika tidak disortir di dalam lahan operasional perusahaan, bisa langsung dijual ke para pelapak (waste collector). Harga per truk sebesar Rp. 700.000 - Rp. 800.000. Tetapi setelah dipilah, misal harga plastik Rp 1.200 - Rp. 1.400/kg. Menurut informasi ForkadasC (Erik Hamdani Karawang, 2019), fakta sampah impor.

Menggunakan karung sangat besar/jumbo dan masih diikat kawat. Sering ditemukan uang dollar sehingga disebut 'sampah dollar'. Jenis sampah mulai dari kertas, kemasan plastik, botol plastik, kaleng soft drink, pakaian, limbah medis, PVC, logam, dll.

Pengepul/pelapak sampah membeli dengan harga Rp. 600.000 - Rp. 1.000.000/truk (14 m3). Modus operandi yang terjadi di Kabupaten Bekasi hampir sama dengan di Karawang, Batam, Mojokerto, dan memungkin ditempat lain di Indonesia.

Mereka mengimpor sampah kertas namun di dalamnya terdapat plastik, logam, dll. bahkan electronic-waste (e-waste). Bahkan disinyalir mengandung limbah B3. Justru praktek sangat jelas tersebut melanggar hukum. Jadi para pengusaha impor sampah itu dapat keuntungan besar.

Mereka hanya mementingkan motif ekonomi, dan melupakan dampak lingkungan dan resiko kesehatan bagi masyarakat. Selama ini mereka membuang sisa-sisa sampahnya di sembarang tempat, yaitu kali, pekarangan kosong, bekas galian, TPA, dll.

Sebagian seperti sisa sampah kertas dan plastik dibakar begitu saja. Padahal sampah plastik yang dibakar timbulkan dioxin - furan penyebab kanker. Pembakaran model ini melanggar hukum.

Sebetulnya impor sampah dan sampah impor sebabkan melemahnya sektor sosial, ekonomi dan politik lokal, dan juga berdampak buruk terhadap lingkungan serta kesehatan masyarakat.

Kegiatan itu sangat memalukan dan merendahkan peradaban Bangsa dan Negara Indonesia. Maka Pertama, sudah saatnya pada tahun 2019 ini harus ada kebijakan Stop Sampah Impor dan Impor Sampah.

Secara tegas pemerintah Indonesia harus menutup kran impor sampah demi mandat UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan turunannya.

Kedua, memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan pengimpor sampah bercampur limbah B3. Bahkan perlu diberi hukuman maksimal dan dipenjarakan. Ketiga, mengharuskan membersihkan sisa-sisa sampah impor yang dibuang sembarang tempat dan melakukan remediasi/pemulihan lingkungan. Para pengusaha tersebut harus bertanggung-jawab dengan prinsip "pay principles".

Keempat, fokus pada pengolahan sampah dalam negeri, yang hingga sekarang masih carut-marut alias amburadul. Sebagaimana mandat peraturan perundangan dan Jakstranas pengelolaan sampah, bahwa penanganan sampah 70% dan pengurangan sampah 30% pada tahun 2030.

Bahkan target tersebut mestinya lebih tinggi untuk tiap kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Tulisan ini adalah Tulisan Kedua Saya, Semoga menjadi bermanfaat dalam memberikan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat umum serta menjadi pertimbangan Strategis oleh Pemerintah Indonesia.

*Penulis oleh: Bagong Suyoto, Aktifis Lingkungan & Profesional
Share:
Komentar

Berita Terkini