Mewujudkan Sarana Kesehatan yang Mandiri dan Berdaulat

Redaktur author photo




PANDEMI membawa dampak terhadap banyak bidang, termasuk kondisi ekonomi negeri kita. Sehingga, keberadaan investasi asing seolah membawa angin segar di tengah carut marut  perekonomian ini. Saat bersamaan, negara-negara Eropa  melakukan relokasi investasi.


Bak gayung bersambut, Jawa Baratpun bersiap menampung investasi ini. Dilansir internationalmedia.id, Gubernur Jabar Ridwan Kamil menggelar pertemuan dengan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Ceko Richard Brabec di Hotel Le Eminence, Kabupaten Cianjur, Selasa (22/6/2021). Kedua belah pihak membahas sejumlah potensi kerja sama.


Kang Emil menuturkan, Republik Ceko akan melakukan investasi di bidang kesehatan. Investasi tersebut diharapkan dapat memperkuat sektor kesehatan di Jabar, terutama dalam menghadapi pandemi COVID-19.


Tentunya kita berharap, investasi asing ini jangan sampai untuk kepentingan para kapitalis saja, yang akan berakibat kepentingan masyarakat banyak akan terabaikan.


Menilik kerjasama dalam bidang kesehatan, terlihat sedikit janggal karena Republik Ceko pernah mendapat predikat sebagai negara yang penduduknya paling tidak sehat di dunia, menurut sebuah studi. Peneliti menganalisis data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai konsumsi alkohol, tembakau, dan prevalensi kelebihan berat badan (obesitas) di 179 negara. (liputan6.com, 2017)


Jika dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian, pengaruh investasi asing ternyata tidak signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode Januari hingga September 2020, Jabar menempati peringkat pertama realisasi investasi berdasarkan lokasi dengan nilai mencapai Rp86,3 triliun atau 14,1 persen. (jabarprov.go.id)


Adapun  jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Jawa Barat justru mengalami kenaikan yaitu sekitar 268,29 ribu jiwa, dari 3,92 juta jiwa (7,88 persen) pada Maret 2020 menjadi 4,19 juta jiwa (8,43 persen) pada September 2020. (jabar.bps.go.id). 


Kondisi ini, dikarenakan paradigma kapitalisme yang digunakan saat ini, dimana untung rugi  dijadikan pertimbangan dalam melaksanakan berbagai kebijakan. Dan para pemilik modal, baik lokal maupun asing tentunya akan menjadi pihak yang paling diuntungkan. 


Terkait pelayanan kesehatan misalnya, jika dikapitalisasi, tentu yang dapat mengaksesnya terbatas pada mereka yang memiliki kemampuan finansial berlebih. Adapun masyarakat umum akan mengalami kesulitan karena keterbatasan dana. 


Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini alih-alih menyelesaikan masalah, namun justru menyebabkan sektor-sektor vital justru dikuasai oleh para kapitalis. 


Ironisnya, mereka yang diberi amanah memimpin masyarakat, justru terlihat berperan sebagai regulator kebijakan bagi para kapitalis. Paradigma untung rugi seperti layaknya pebisnis justru itulah yang digunakan.


Padahal, kesehatan merupakan kebutuhan asasi masyarakat. Bukankah masyarakat yang sehat akan mengantarkan kemajuan satu bangsa di masa yang akan datang?. Sehingga, seharusnya pemerintahlah yang bertanggung jawab atasnya. Adapun jika diserahkan kepada swasta sebagai pemilik modal, apalagi pihak asing, tentu akan mengarah kepada pengabaian peran pemerintah dalam mengurus masyarakat. 


Berbeda dengan Islam yang menjadikan tanggung jawab mengelola urusan masyarakat berada di tangan imam/kepala negara sebagaimana hadits Nabi SAW :" Imam/kepala negara adalah ra'in (pengelola urusan masyarakat), dan ia akan dimintai pertanggungan atas apanyang menjadi urusannya.


Nabi SAW-pun bersabda :

“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang (berlaku khianat, tidak menjalankan tugasnya untuk memenuhi kemaslahatan dan hak rakyat), melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya". [Muttafaq alaih].


Terkait investasi, ia merupakan aktivitas bermuamalah/jual beli. Tentang ini, seorang muslim seharusnya memahami terlebih dahulu pandangan Islam terhadap hal ini. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah berkeliling ke pasar dan memukul sebagian pedagang yang tak memahami syariat dan berkata, “Janganlah berjualan di pasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama. Jika tidak, maka ia akan memakan riba, sadar atau tidak.”


Dalam pandangan Islam, Investasi adalah aktivitas yang dibolehkan oleh syariat. Hal ini sebagaimana pendapat imam Ibnu Qudamah :

“ Tidak semua orang yang memiliki harta mampu berbisnis, dan tidak semua yang mampu berbisnis memiliki harta. Oleh karena itu, bisnis dibutuhkan bagi kedua belah pihak. Allah SWT. mensyariatkan bisnis untuk memenuhi kedua hajat pihak tersebut.”


Namun perlu diperhatikan, dari sisi permodalan, ia harus merupakan harta yang diperoleh dari sumber-sumber yang halal. Seperti bekerja, harta warisan, atau pemberian dari pihak lain. 


Adapun bentuk investasinya, baik dalam sektor pertanian, perindustrian hingga perdagangan, juga harus sesuai dengan aturan Islam.


Dalam aspek industri, misalnya, beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual-beli, perdagangan internasional, dan istishnâ’.


Sebaliknya, beberapa model transaksi haram diterapkan dalam kegiatan investasi seperti riba, judi, pemberian harga yang tidak wajar, penipuan, penimbunan, dan keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga pasar. Termasuk dalam hal ini adalah model kerja sama yang mengadopsi model kapitalisme seperti saham, asuransi, dan koperasi.


Selain itu, syariat Islam memberikan batasan terkait kepemilikan, dimana swasta tidak boleh melakukan investasi terkait harta milik umum. Harta milik umum adalah milik masyarakat secara bersama. Beberapa contoh harta milik umum seperti  sarana untuk ibadah, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial; jalan-jalan, jembatan, pelabuhan dan fasilitas umum lainnya; proyek dasar masyarakat seperti listrik, air, komunikasi, transportasi, pengolahan limbah; tanah-tanah yang diperuntukkan untuk manfaat umum; barang-barang tambang dari tanah umum; laut, sungai, kanal, dan tempat penyaringan air. (Syahatah) 


Islam memandang, harta milik umum seharusnya dikelola oleh negara, dan hasil pengelolaannya dikembalikan kepada masyarakat berupa pelayanan kepada mereka. Mekanisme seperti ini menjamin terpenuhinya pelayanan kepada masyarakat secara adil dan berkualitas. 


Demikian pula, sarana kesehatan termasuk bagian dari harta milik umum, yang seharusnya dikelola oleh negara, tanpa memperhatikan untung rugi. Adapun swasta diperbolehkan berperan di dalamnya sebagai bagian dari sedekah.


Sehingga demikian, menjadi penting untuk mengembalikan sarana kesehatan kepada masyarakat, yang pada hakikatnya memang milik masyarakat. Kondisi ini hanya dapat dibangun berasaskan paradigma yang lurus, dan bukan dengan menyerahkannya kepada para investor.


Penulis: Siti Susanti, S.Pd. 


Share:
Komentar

Berita Terkini