Mekanisme Sistem Islam dalam Memuliakan Anak Yatim

Redaktur author photo




Penulis: Siti Susanti, S.Pd.


Pertambahan korban meninggal akibat Covid-19 di Indonesia termasuk tertinggi di dunia. Akibatnya, banyak anak yang menjadi yatim bahkan yatim piatu. Di Provinsi Jawa Barat sendiri, tercatat sebanyak 7.200-an anak di Jawa Barat harus kehilangan orangtua karena Covid-19. 


Dilansir Liputan6.com, Kepala Dinas Sosial Provinsi Jabar Dodo Suhendar mengatakan, pihaknya saat ini terus melakukan proses verifikasi dan validasi untuk memberikan santunan dan pendampingan baik jangka pendek maupun jangka panjang kepada anak yatim piatu tersebut.



"Data yang kita terima kemudian diasesmen berdasarkan kebutuhan. Karena misal ada anak yang berasal dari keluarga mampu, tetapi tetap dia butuh pendampingan psikososial dari psikolog. Ada yang ke pola asuh, dan ada yang ke pola asuh dan ekonomi dan keseluruhan,"katanya dalam acara Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (27/9/2021).


Seperti diketahui, pandemi berlarut sudah hampir dua tahun. Para ahli banyak yang menyarankan karantina wilayah sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 6 Tahun 2019, tentunya disertai jaminan kebutuhan pokok masyarakat termasuk hewan peliharaan mereka. Namun sistem kapitalistik seringkali menjadikan pertimbangan untung rugi yang dijadikan acuan, adapun keselamatan rakyat menjadi terabaikan. Akibat karantina wilayah yang tidak kunjung diterapkan, banyak pihak menilai ketidakseriusan dalam menangani pandemi, sehingga wajar menjadi berlarut-larut. 


Akibatnya, anak-anakpun ikut menjadi korban, dengan harus kehilangan orang tua dan sebagian mereka terimbas aspek psikologisnya, yang tentunya mempengaruhi masa depan mereka. 


Dalam kondisi tanpa pandemi, sistem kapitalisme  telah menyebabkan kesulitan hidup pada mayoritas masyarakat. Jangankan pada anak yatim, anak-anak yang memiliki orang tua lengkap saja kerap dihadapkan pada kesulitan  mendapatkan kehidupan layak dan memperoleh pendidikan yang baik. Apalagi di masa pandemi, sistem kapitalisme menyebabkan jumlah rakyat miskin semakin banyak. 


Semua ini menjadi bukti, bahwa kapitalisme tidak mampu menjaga masyarakat, baik dalam kondisi normal, apalagi saat pandemi. 


Menyantuni anak yatim adalah perbuatan mulia dan dianjurkan agama. Namun yang tidak boleh luput dari perhatian utama adalah bagaimana agar pandemi Covid-19 segera diakhiri. Karena inilah penyebab korban terus berjatuhan, diantaranya mengantarkan kepada kematian. Sehingga jumlah anak yatim bahkan yatim piatu terus bertambah. 


Adapun Islam, sudah jauh hari memberikan solusi terkait penanganan wabah sebagaimana hadits Nabi SAW :

"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)


Solusi yang dikenal karantina atau 'lockdown' saat ini, telah terbukti mampu menghentikan wabah Sirawih pada masa Nabi SAW dan wabah Amwas pada masa khalifah Umar Bin Al-Khattab. Keberhasilan karantina pada masa itu tidak terlepas dari peran negara dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat  selama menjalani karantina. Sehingga solusi ini berjalan efektif. 


Terkait sikap terhadap anak yatim, syariat Islam sangat mendorong ummatnya untuk berbuat baik kepada mereka sebagaimana firmanNya:

"Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat dan anak-anak yatim." (An-Nisaa: 36)


Aturan Islam terkait penafkahan kepada anak pertama kali dibebankan kepada ayah sebagai kepala keluarga. Jika ayah tiada, maka urutannya jatuh kepada kakek, paman, saudara laki-laki, dst, dari pihak ayah. Sebagaimana firmannya: 

“Kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah : 233)


Jika semua penanggung nafkah tidak ada/tidak mampu, maka kaum muslimin di motivasi untuk menyantuni mereka. Dan jika tidak ada, maka negaralah yang akan menanggung nafkah untuk mereka. Sebagaimana hadits Nabi SAW :

"Siapa (yang mati) dan meninggalkan utang atau tanggungan, hendaklah ia mendatangi aku karena aku adalah penanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari)


Bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok keluarga  adalah kewajiban laki-laki sebagai kepala keluarga. Sehingga, pemenuhan lapangan kerja akan dibuka lebar. Jika ada yang kesulitan, negara akan membukakan, seperti membuka lapangan kerja padat karya. Disinilah diperlukan peran negara agar kewajiban ini bisa ditunaikan oleh para penanggung nafkah keluarga. 


Begitu juga, negara akan memenuhi kebutuhan asasi masyarakat misalnya berupa kesehatan dan pendidikan secara layak dan cuma-cuma. Hal ini merupakan tanggung jawab negara sebagai bagian dari pengurusan negara kepada masyarakat, dan tidak boleh dipindahkan kepada pihak lain. Dengan mekanisme ini, seluruh rakyat akan terpenuhi kebutuhan asasi nya secara adil, tanpa memandang dia kaya atau miskin. Hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW:

" Amir (pemimpin rakyat) adalah pengurus (mereka). Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya.” (HR. Muslim). 


Kewajiban-kewajiban ini akan mampu ditanggung oleh negara, karena terkait dengan sistem politik ekonomi yang diatur Islam. Terkait ini, Islam menetapkan bahwa Sumber Daya Alam (SDA) merupakan milik bersama masyarakat. Adapun pengelolaannya merupakan tugas negara. Hasil pengelolaan SDA ini adalah salah satu sumber pemasukan kas negara untuk pengurusan urusan masyarakat. Negeri kita yang kaya akan SDA seharusnya mampu mengantarkan kesejahteraan rakyat, jika saja mekanisme ini dijalankan. 


Selain itu, sumber pemasukan negara yang lain berasal dari pos zakat. Alokasi zakat khusus untuk delapan asnaf/golongan, diantaranya untuk fakir miskin (lihat Surat At-taubah :60). Dengan mekanisme ini, anak-anak yatim yang miskin dapat terpenuhi kebutuhannya dari pos ini. 


Jika negara menghadapi kondisi sulit seperti bencana atau paceklik yang berkepanjangan sehingga menyebabkan kas negara kosong, kewajiban untuk memenuhi kebutuhan asasi masyarakat tetap tidak boleh ditinggalkan. Negara harus tetap berusaha mencari sumber-sumber pemasukan agar kewajiban ini tetap dapat tertunaikan. Pada kondisi ini, negara diperbolehkan untuk memungut pajak dari kalangan kaya dari kaum muslimin. Dan saat kas negara kembali mencukupi, pajak inipun dihentikan. 


Demikianlah, serangkaian mekanisme syariat Islam dalam memenuhi kebutuhan asasi masyarakat. Dengan mekanisme ini, para ayah akan giat bekerja mencari nafkah tanpa terbebani biaya hidup yang berat. Anak-anak (termasuk anak yatim)-pun akan sehat, gembira, dan giat belajar menggapai cita-cita karena terpenuhi kebutuhan mereka secara adil. Inilah keagungan sistem Islam, dalam memuliakan anak yatim.


*Penulis merupakan praktisi pendidikan agama di Kota Bandung.

Share:
Komentar

Berita Terkini