![]() |
H.Bambang Sunaryo, SH.,MH |
DALAM negara demokrasi segala bentuk pendapat, kritik, dan pikiran baik lisan maupun tulisan sangat lazim untuk diberikan. Hal ini pun secara jelas termaktub dalam konstitusi, yang mana secara tegas Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan udang-undang.
Rakyat sebagai tahta tertinggi dalam Negara demokrasi secara jelas dijamin haknya sebagai warga negara untuk mengeluarkan pendapat. Diatur lebih dalam pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Wartawan merupakan profesi yang dalam pekerjaannya melakukan aktivitas jurnalistik yaitu mencari, meliput, mengumpulkan informasi dan menulis berita. Pentingnya informasi yang dibutuhkan setiap masyarakat, maka peran wartawan sebagai pencari informasi dan berita untuk disajikan kepada khalayak (publik) melalui media elektronik maupun cetak sangatlah penting.
Seringkali dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tersebut wartawan menghadapi kendala yang menghambat tugas-tugas jurnalistik antara lain, ada pihak-pihak yang demi melindungi privat atau kepentingan pribadinya dari pemberitaan media, sumber berita tidak bersedia di wawancara atau di cek silang (cross-check) oleh wartawan.
Pihak-pihak tersebut mungkin beranggapan pemberitaan di media akan dapat merugikan kepentingan individu atau kelompoknya, sehingga pihak yang merasa disudutkan oleh pemberitaan tersebut bereaksi di luar aturan hukum atau perundang-undangan yang berlaku misalnya, melakukan penyerangan, penganiayaan terhadap wartawan yang menulis berita tersebut sampai merusak prasarana dan sarana lembaga atau perusahaan pers.
[cut]![]() |
H.Bambang Sunaryo, SH.,MH |
Data dari situs AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menunjukan, kekerasan yang dialami wartawan di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2022 wartawan yang terdata oleh AJI dan mengalami kekerasan sampai hari ini berjumlah 32 wartawan, pada tahun 2021 sebanyak 43 wartawan, dan di tahun 2020 ada 84 kasus kekerasan terhadap wartawan.
Kategorisasi kekerasan terhadap wartawan berdasarkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan meliputi a) kekerasan fisik, yang meliputi penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan, dan pembunuhan; b) Kekerasan nonfisik, yang meliputi ancaman verbal, penghinaan, penggunaan kata-kata yang merendahkan, dan pelecehan; Perusakan peralatan liputan seperti kamera dan alat perekam; Upaya menghalangi kerja wartawan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, seperti merampas peralatan kerja wartawan atau tindakan lain yang merintangi wartawan sehingga tidak dapat memproses pekerjaan kewartawanannya.
Kekerasan terhadap wartawan juga terjadi di Karawang baru-baru ini. Kasus penganiayaan yang terjadi terhadap Gusti Sevta Gumilar dan Zaenal . Penganiayaan itu diduga terjadi pada Sabtu 18 September 2022 tengah malam. Namun kasus tersebut dilaporkan pada Senin 20 September 2022. Kasus dugaan penculikan dan penganiayaan dua wartawan di Karawang dilakukan oleh oknum pejabat di lingkungan Pemkab Karawang yang juga yang juga pengurus Askab PSSI Karawang. Salah seorang korban, Gusti Sevta Gumilar menyampaikan peristiwa yang dialami terjadi bermula saat acara peluncuran Persika 1951, salah satu klub sepak bola Karawang di liga 3. Saat acara berlangsung, korban mengunggah kata-kata sindiran Persika melalui akun media sosial pribadi-nya. Ternyata unggahan itu mengusik sejumlah ASN Pemkab Karawang yang kebetulan masuk dalam pengurus Askab PSSI Karawang.
Penculikan dan penganiayaan terjadi di bekas kantor PSSI Karawang setelah korban dibawa paksa oleh orang yang mengaku suruhan pejabat Pemkab Karawang berinisial A usai peluncuran Persika 1951 di Stadion Singaperbangsa Karawang pada Sabtu (17/9) malam, Korban mendapat penganiayaan berupa pukulan dari sejumlah orang yang berada di ruangan tersebut. Bahkan menurut laporan korban oknum pejabat A hadir di ruangan itu dan mencekoki korban dengan air kencing sebanyak tiga kali. Selain itu korban mendapat hantaman kepala dan tinju di beberapa bagian tubuhnya.
Tidak hanya itu, Gusti mendapat ancaman jika soal ini berlanjut dan korban melapor, keluarga akan dihabisi. Korban mengalami penyekapan satu malam yakni Sabtu malam hingga Minggu dini hari. Sedangkan korban lainnya, Zaenal dijemput dari rumahnya oleh sekelompok orang bersama oknum pejabat Pemkab pada Minggu dini hari. Setelah berada di dalam mobil penjemput, Zaenal mendapat siksaan. Akibat siksaan itu, Zaenal mengalami luka robek di bagian kepala.
Gambaran diatas membuktikan bahwa belum ada jaminan perlindungan kepada wartawan pada saat menjalankan tugas jurnalistiknya meskipun telah diatur dalam Pasal 8 UU Pers, yang berbunyi, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Tindakan penculikan dan penganiayaan yang terjadi pada wartawan di karawang tersebut sangatlah tidak pantas bahkan mencoreng nama instansi Pemkab Karawang itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap wartawan yang mendapat kekerasan dalam menjalankan profesinya
2. Apa upaya yang dapat dilakukan apabila terjadi tindakan kekerasan kepada wartawan pada saat menjalankan tugas jurnalistik.
C. Pembahasan
1. Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan yang Mendapat Kekerasan dalam Menjalankan Profesi.
Hak asasi manusia diatur dalam UUD 1945 pasal 28, seorang wartawan yang juga merupakan seorang warga Negara mendapatkan imunitas/perlindungan yang dijamin oleh konstitusi, yaitu: “Hak untuk hidup (Pasal 28A), hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2), hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (pasal 28E ayat 3)”. Hak Asasi Manusia telah menjamin hak imunitas untuk wartawan. Maka, dalam pelaksanaannya imunitas ini harus dikawal manakala terjadinya kekrasan terhadap wartawan oleh siapapun pelakunya pada saat peliputan berita demonstrasi berlangsung. Dari turunan konstitusi diatas diijelaskan kembali oleh Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[cut]![]() |
H.Bambang Sunaryo, SH.,MH |
Perlindungan hukum terhadap wartawan secara jelas termaktub dalam Pasal 8 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa : “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Lebih lanjut perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap wartawan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 18 ayat (1) adalah setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Disamping itu secara general Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan tentang ancaman bagi pelaku tindak kekerasan yaitu Pasal 170 (1) “Barangsiapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Yang bersalah diancam : 1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; 2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika dengan kekerasan mengakibatkan luka berat; 3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga mengatur mengatur hal yang berkaitan dengan hal tersebut yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu jika terjadi penganiayaan ancaman pidana nya adalah Pasal 351; “(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. 7 (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.”
Segala bentuk kekerasan dan penganiayaan yang terjadi terhadap wartawan mendapat perlindungan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan adanya ketentuan pidana yaitu sebagaimana yang termaktub pada pasal 18 ayat 1, namun kemudian dalam isi pasal tersebut hanya menjelaskan tindakan yang mengakibatkan adanya halangan dan hambatan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik. Berkaitan dengan hal tersebut diatas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai aturan yang lebih umum memberikan perlindungan jika terjadi kekerasan atau adanya penganiayaan terhadap masyarakat secara umum seperti yang diatur dalam Pasal 170 dan Pasal 351, termasuk di dalamnya adalah kekerasan dan atau penganiayaan yang dialami pada pers.
Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers pasal 2 menjelaskan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Hal ini menegasakan bahwa kinerja pers adalah suatu pengejawantahan dari unsur-unsur profesionalisme wartawan terhadap penegakkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Dan jika terdapat ketidakadilan terhadap wartawan, maka wartawan dapat melaporkannya secara hukum, pada pasal 8 dijelaskan “dalam menjalankan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum” dan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 18 serta secara lebih umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Selain adanya peraturan yang memberikan perlindungan terhadap wartawan, terdapat pula standar perlindungan wartawan yang dikeluarkan oleh Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan adalah Pengumpulan informasi, melakukan verifikasi (menentukan kasus kekerasan yang terjadi berhubungan dengan kegiatan jurnalistik atau tidak dan wartawan murni menjadi korban kekerasan atau turut berkontribusi pada terjadinya kekerasan), mengidentifikasi keperluan korban, antara lain kondisi kesehatan, keselamatan dan kemungkinan evakuasi korban atau keluarganya, pengambilan kesimpulan dan rekomendasi (langkah litigasi atau langkah nonlitigasi), langkah koordinasi (tingkat lokal maupun tingkat nasional yang melibatkan organisasi profesi, media tempat wartawan bekerja, Dewan Pers, Kepolisian, LSM media atau LSM HAM), pengumpulan dana untuk penanganan jika diperlukan.
2. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Bagi Wartawan Untuk Memperoleh Perlindungan Hukum.
[cut]![]() |
H.Bambang Sunaryo, SH.,MH |
Wartawan merupakan salah satu profesi yang sangat beresiko tinggi, mengingat dalam menjalankan profesinya seorang wartawan kerap mengalami hambatan-hambatan dan terkadang menjadi korban fisik maupun nonfisik dalam mencari, meliput, menghimpun dan demi mendapatkan sebuah berita atau informasi untuk disampaikan kepada masyarakat umum.
Lahirnya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers ini, wartawan merasa kemerdekaan pers telah diberikan perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan misi, fungsi, dan tugasnya dapat terlaksana sebagaimana semestinya. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan oleh wartawan untuk mendapatkan perlindungan hukum dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers ini, serta berpedoman pada kode etik waratawan itu sendiri sebagaimana pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik.
Menurut Pasal 15 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk dewan pers yang independen. Sedangkan pada pasal 15 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut : a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik; d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasuskasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; f. memfasilitasi organisasi-oraganisasi pers dalam menyusun peraturanperaturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; g. mendata perusahaan pers.
Upaya yang dapat dilakukan oleh instansi pers sebagai tempat wartawan bernaung sendiri jika terdapat kekerasan atau penganiayaan yang dialami wartawan adalah yaitu dengan melakukan pendampingan kepada wartawan yang mengalami tindak kekerasan saat melakukan pelaporan. Selain upaya dari pihak Kepolisian, perlu juga ada upaya yang dilakukan Dewan Pers, yaitu sebagai mediator antara Wartawan dan Aparat Kepolisian.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan perlindungan hukum bagi wartawan antara lain dengan membangun kesadaran kepada masyarakat untuk mengakui akan pentingnya peranan masyarakat bagi wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Pasal 17 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers berbunyi masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Upaya yang dapat dilakukan oleh wartawan selain dalam ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 200 Tentang Pers juga mengupayakan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Upaya-upaya ini harus diimbangi dengan peran serta dari aparat hukum dan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan taat akan hukum, sehingga tidak terjadi lagi penyelewengan atau pengabaian prosedur hukum baik yang dilakukan oknum perorangan dari masyarakat maupun oknum aparat penegak hukum terhadap wartawan. Hal ini juga bertujuan untuk memperbaiki citra dari aparat penegak hukum yang cenderung terkesan kurang medapat kepercayaan lagi oleh masyarakat. Dengan adanya kerjasama antara media pers, aparat penegak hukum dan pihak-pihak lain diharapkan budaya sadar hukum dan taat hukum masyarakat akan semakin meningkat dengan demikian secara tidak langsung akan memperkecil jumlah dari pelanggaran hukum terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Negara memiliki kewajiban menjamin perlindungan hukum terhadap wartawan yang seharusnya dilaksanakan secara tegas oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia khususnya sesuai ketentuan hukum yang diatur dalam UU No.40 Tahun 1999 sebagai lex specialist derogate lex generalist. Bahkan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat Indonesia sekarang supaya dapat menjadi produk hukum yang kuat dan mencapai kepastian hukum untuk perlindungan pers.
[cut]![]() |
H.Bambang Sunaryo, SH.,MH |
Perlindungan terhadap wartawan secara jelas diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Namun ketentuan dalam Undang-undang ini sepertinya bersifat represif (penindakan) tidak bersifat preventif (pencegahan), Seyogyanya terdapat aturan pelaksana sebagai dasar hukum lex specialis dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan dan memberikan jaminan perlindungan kepada wartawan dalam arti yang preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir kemungkinan terjadinya tindak kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan.
D. Kesimpulan
Pasal 8 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 mengatur secara tegas bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan pasal 18 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 mengatur ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran wartawan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh ketentuan perundangan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai aturan yang lebuh umum memberikan perlindungan jika terjadi kekerasan atau adanya penganiayaan terhadap masyarakat secara umum seperti yang diatur dalam Pasal 170 dan Pasal 351, termasuk di dalamnya adalah kekerasan dan atau penganiayaan yang dialami pada pers. Namun perlindungan hukum yang diberikan kepada wartawan dinilai masih lemah dan belum dapat menjamin perlindungan hukum bagi wartawan karena dalam praktik yang terjadi masih saja terjadi kekerasan yang dialami wartawan.
Keadaan ini juga diperparah dengan penegakan Undang-undang Pers masih lemah yang mana merupakan tanggung jawab Negara dalam hal ini, pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai penegak hukum, kejaksaan dan hakim untuk lebih serius menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap wartawan dengan memberikan sanksi hukum yang keras kepada pelaku. Penegakan hukum terhadap para pelaku tindak kekerasan terhadap wartawan seharusnya di usut tuntas, agar para pelaku mendapatkan efek jera sesuai dengan ketentuan pasal 18 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Selain itu perlu adanya melakukan revisi atau perubahan atau perbaikan terhadap UU No.40 Tahun 1999 aturan pelaksana sebagai dasar hukum lex specialis dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan dan memberikan jaminan perlindungan kepada wartawan dalam arti yang preventif, yaitu yang dapat mencegah ataupun meminimalisir kemungkinan terjadinya tindak kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan.