Cuaca Ekstrem Butuh Mitigasi dan Solusi yang Solutif

Redaktur author photo
Ilustrasi

MESKI sudah melewati puncak musim hujan, BMKG memperkirakan beberapa wilayah berpotensi cuaca ekstrem, berupa hujan lebat, petir dan angin kencang berakibat banjir besar. 

Gelombang tinggi juga telah menghantam kawasan pesisir Jawa Barat bagian selatan, mulai dari Garut hingga Sukabumi. Menyebabkan banjir rob dan ratusan kapal nelayan rusak sehingga mereka terpaksa meninggalkan jaring mereka untuk sementara,  (pikiran-rakyat.com,14 Maret 2024).

Hal ini terjadi hampir merata di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Jawa Barat. Perubahan kondisi cuaca ekstrem berpengaruh besar pada kehidupan manusia. Masyarakat akan mengalami gangguan kesehatan,  ekonomi dan sosial. Banyak jalan dan kota akhirnya lumpuh, akibatnya berbagai kerusakan terjadi, kerugian banyak di alami, bahkan sampai menelan korban jiwa.

Banyak faktor yang memicu terjadinya cuaca ekstrem, diantaranya karena faktor alam, seperti letak geografis di wilayah ekuator, posisi gerak semu matahari, perubahan-perubahan iklim, dan sebagainya. Bisa juga karena berbagai kerusakan alam yang diakibatkan perbuatan manusia itu sendiri, seperti di tegaskan dalam QS. Ar-Rum Ayat 41.

Terjadinya bencana memang bagian dari takdir (qadha) Allah Swt yang harus diterima dengan rida dan sabar.  Terjadinya sebuah musibah akan menghapus dosa bagi para korban, 'Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapus  kesalahan-kesalahannya sebagaimana gugurnya daun dari pepohonan,' (Shahih al-Bukhari No. 0665).

Bencana termasuk ketetapan Allah Swt yang tidak dapat dipastikan kedatangannya. Meski demikian, setidaknya manusia bisa menggunakan teknologi satelit dan sebagainya, untuk  memperkirakan dan menggunakan mitigasi menghadapi bencana alam. Manusia diberi kelebihan oleh Allah Swt berupa akal untuk berpikir. Ini ranah kuasa yang bisa dioptimalkan oleh manusia untuk menghadapi bencana.

Manusia bisa mengupayakan mitigasi bencana, agar tidak timbul banyak korban serta meminimalkan dampak kerugian. Sayang konsep seperti ini tidak berjalan optimal dalam sistem kapitalisme, sebab untung rugi dijadikan sebagai asas setiap kebijakan yang diambil. Terlebih dalam sistem ini, pihak yang berkuasa sesungguhnya adalah para korporat oligarki. Negara hanya berperan sebagai regulator kebijakan. 

Hal tersebut terbukti dengan kegiatan eksploitasi lingkungan seperti alih fungsi lahan yang berlebihan, eksploitasi kekayaan alam maupun pembalakan hutan secara liar masih tetap eksis hingga sampai saat ini, bahkan semakin meluas. Tindakan itu menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan karena ekosistem kehilangan daya dukungnya. Hal itu tidak menjadi perhatian, karena fokusnya hanya keuntungan bagi para oligarki terkait, sehingga wajar jika mitigasi bencana dilakukan ala kadarnya.

Penguasa hadir setengah hati dalam upaya mitigasi yang pastinya memerlukan modal besar, publik bisa bercermin pada banjir besar di Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat. Gempa Cianjur, erupsi gunung Semeru, dan lain-lain. Dari beberapa bencana ini terlihat penguasa kapitalisme tidak siap dengan mitigasi penanggulangan dan antisipasinya. Akhirnya bencana ini banyak memakan korban jiwa dan menghasilkan kerugian fisik yang begitu besar, belum lagi nasib sebagian para pengungsi yang kekurangan makanan, pakaian dan barang logistik lainnya.

Jika penguasa sangat memperhatikan keselamatan warga, hal penting tersebut tidak akan pernah luput sama sekali. Namun hal itu tidak akan pernah dilakukan oleh penguasa kapitalisme. Sangat berbeda dengan pengawasan dalam sistem Islam, yang menjadikan negara memiliki amanah sebagai ra’in  yakni pengatur urusan umat.

Solusi Islam

Sistem Islam menggariskan prinsip-prinsip kebijakannya yang komprehensif didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Upaya penanggulangan bencana meliputi penanganan pra bencana, ketika terjadi bencana dan sesudah bencana.

Sebagai pencegahan dirancang upaya pra bencana untuk menghindarkan penduduk atau meminimalisir dampak dari bencana. Untuk mencegah banjir, sistem Islam akan membangun sarana-sarana fisik seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul dan lain sebagainya. 

Juga akan melakukan reboisasi atau penanaman kembali, pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kelola yang berbasis pada AMDAL, memelihara kebersihan lingkungan, memetakan daerah-daerah rawan gempa dan potensi tsunami di wilayah ini.

Sistem Islam akan optimal menggunakan teknologi alarm peringatan bencana sebagai informasi dari BMKG, membangun bangunan tahan gempa dan sejenisnya. Hal yang sama juga akan berlaku di wilayah pegunungan vulkanik. Selain itu sistem Islam akan melakukan edukasi kepada masyarakat, sehingga mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana, peka terhadap bencana dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika terjadi dan sesudah bencana.

Tim SAR dibentuk secara khusus, dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih untuk melakukan evakuasi korban bencana dengan cepat, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban.

Jika bencana yang terjadi adalah banjir atau gunung meletus yang mengeluarkan lahar, material tersebut akan dialihkan ke tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sistem Islam juga akan menyiapkan tempat pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan. Juga akan dipastikan para pengungsi tidak kekurangan dengan keadaan mereka yang tertimpa musibah.

Gambaran penanganan bencana yang dilakukan oleh sistem Islam, salah satunya bisa terlihat dari keberhasilan Khalifah Umar Bin Khattab r.a, ketika menangani masa paceklik yang menimpa Jazirah Arab. Khalifah Umar membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat yang bertugas untuk melaporkan dan merancang upaya yang akan dilakukan untuk menangani korban paceklik.

Adapun manajemen pasca bencana, dirancang untuk menangani psikologis warga terdampak bencana dengan memberikan tausiah-tausiah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban. Selain itu juga akan melakukan perbaikan lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana. Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh Islam dalam menangani bencana, akan optimal dalam mitigasi pencegahan dan penanganan bencana sebagai upaya melindungi dan menjaga warganya dari marabahaya.(*)

Oleh : Ummu Fahhala, S. Pd. - Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi

Share:
Komentar

Berita Terkini