Menkominfo Gaet Influencer Bandung Untuk Promosikan IKN, Haruskah ?

Redaktur author photo
Ilustrasi

PEMINDAHAN ibu kota negara masih menjadi isu panas yang banyak dibicarakan publik. Pemerintah pun tampak terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa Pemindahan ibu kota negara adalah hal yang urgen dilakukan.

Sadar bahwa hari ini adalah jaman digital, pemerintah pun seperti tidak ingin kehilangan momen dan memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Terbukti, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dikabarkan menggandeng influencer di Bandung untuk mempromosikan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Seperti diketahui, peran influencer pada saat ini tidak bisa dipandang sebelah mana. Mereka bisa memainkan isu apapun dengan melibatkan para follower fanatik yang siap meramaikan jagad dunia maya dengan isu-isu tertentu. 

Maka tak heran jika pemerintah melalui Kemenkominfo melibatkan influencer demi mensukseskan opini terkait pemindahan ibu kota. Harapannya masyarakat bisa mendukung dan turut mensukseskan kebijakan pemindahan ibu kota negara tersebut. 

Menyoal pemindahan ibu kota sendiri terutama terkait sumber dananya masih menjadi debatebel dikalangan para pakar. Seperti yang disuarakan oleh pakar Ekonomi Anggito Abimanyu yang merasa heran saat menelaah Pasal 24 ayat (2) RUU IKN. Dalam pasal ini pemerintah boleh melakukan mekanisme pungutan pajak khusus dalam rangka pendanaan IKN.

Menurutnya, rencana penarikan pajak khusus IKN ini rancu, bahkan tidak memiliki kedudukan hukum. Seharusnya, pungutan itu ada UU-nya karena merupakan beban kepada negara dan masyarakat.  Bahkan, semestinya tidak ada bentuk pungutan pajak khusus IKN. Jika pun ada, menurutnya pemerintah semestinya menjelaskan ketentuan-ketentuannya terlebih dahulu.

Selain itu, cendekiawan muslim Prof. Dr.–Ing. Fahmi Amhar dalam tulisannya mengungkap kerawanan pemindahan ibu kota dari sisi biaya. “Biaya pembangunan IKN juga rawan membengkak karena mengandalkan asumsi yang terlalu sederhana. Apalagi, proyeksi itu belum menyertakan biaya transisi selama perpindahan dan biaya adaptasi yang harus ditanggung masyarakat yang memerlukan layanan pemerintah pusat,” urainya.

Pada dasarnya pemindahan ibu kota adalah hal yang boleh dilakukan. Asalkan memang kebijakan membangun ibu kota baru telah melalui proses pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan semua aspek.

Jika melihat pandangan Islam, maka dalam Islam, prioritas pembangunan akan mengutamakan hal-hal berikut: (1) pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat. Negara akan berfokus pada pembangunan yang lebih urgen memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat dalam menikmatinya, seperti sistem layanan kesehatan, infrastruktur pendidikan yang merata, perbaikan sarana publik, dll.

(2) pembiayaan pembangunan tidak boleh dengan skema investasi asing atau utang luar negeri. Negara dalam sistem Islam akan membiayai penuh infrastruktur dengan dana yang bersumber dari baitulmal, yakni hasil harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, usyur, hasil pengelolaan barang tambang, dan sebagainya.

Selian itu, negara juga dapat menarik dharibah (pajak) untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh terjadi ketika kas baitulmal benar-benar kosong. Itu pun hanya untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya mengambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu, tidak selainnya.

(3)  Untuk memindahkan ibu kota baru tentu memerlukan perencanaan yang matang. Pemindahan ibu kota mestinya dilakukan secara optimal dari aspek kota baru yang dibangun, kota yang ditinggalkan, dan selama masa transisi tersebut, pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.

Belajar dari sejarah, maka di masa peradaban Islam, setidaknya ibu kota negara pernah mengalami perpindahan sebanyak empat kali. Yang pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota negara Islam saat itu harus berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul.

Namun jika diperhatikan semua perpindahan tersebut memiliki alasan politik. Melansir dari laman fahmiamhar.com, melalui tulisannya mengungkap bahwa Khalifah al-Mansur mendirikan Kota Baghdad.  Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota.

Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia.  Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota Khilafah sebelumnya, yakni Madinah atau Damaskus.

Banyak dituliskan dalam litelatur sejarah Islam, setiap bagian kota Baghdad yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. 

Sebagian besar warga tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Dalam pandangan Islam, Negaralah yang mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Misalnya, tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Akan tetapi,  perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. 

Demikianlah konsepsi pemindahan dan pembangunan kota dalam sistem Islam. Segala aspek akan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar mengejar ambisi dan prestise di mata dunia.

Ditulis Oleh : Lilis Suryani -Pegiat Literasi

Share:
Komentar

Berita Terkini