![]() |
Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi - Diduga Puskesmas Rawatembaga merekrut bendahara baru, dengan kualifikasi lulusan SMA yang masih satu marga dengan kepala puskesmas, sehingga memicu pertanyaan tentang transparansi dan standar rekrutmen pegawai serta jabatan fungsional di lingkungan fasilitas kesehatan publik.
Informasi yang beredar, menyebutkan bahwa proses rekrutmen bendahara di Puskesmas Rawatembaga tidak melalui prosedur standar, yang seharusnya melibatkan berbagai tahapan seleksi, untuk memastikan kompetensi dan kredibilitas calon pegawai.
Ketika dikonfirmasi terkait proses rekrutmen tersebut, Koordinator Tata Usaha (KTU) Puskesmas Rawatembaga, Enge Indriani, mengaku tidak mengetahui detail prosedur yang berlangsung meskipun jabatannya menangani bidang kepegawaian.
"Mas izin, mohon maaf untuk perihal ini saya tidak tahu menahu walau saya bagian kepegawaian. Mungkin bisa langsung ditanyakan pimpinan puskesmas izin mas," kata Enge saat dihubungi inijabar.com, Selasa (27/5/2025).
Saat ditanya apakah proses pemilihan bendahara melalui KTU, Enge memberikan jawaban yang mengejutkan terkait koordinasi internal puskesmas.
"Tidak ada instruksi mas," ungkap Enge singkat.
Perihal tentang keberadaan bendahara baru di puskesmas, KTU mengakui adanya pegawai baru namun tidak mengetahui jabatan spesifiknya.
"Kalau orang baru ruang di atas ada, tapi tidak tahu sebagai apa," ujar Enge.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai kewenangan KTU dalam mengetahui proses rekrutmen dan penempatan jabatan, Enge mengakui seharusnya mengetahui, namun tidak mendapat informasi dari atasan.
"Mungkin sebagai koordinator tata usaha seharusnya mengetahui, namun izin, tidak ada instruksi," pungkas Enge.
Dalam standar operasional puskesmas, posisi bendahara merupakan jabatan strategis yang mengelola keuangan dan aset fasilitas kesehatan, sehingga memerlukan kualifikasi pendidikan dan kompetensi yang memadai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Ketenagakerjaan Puskesmas, rekrutmen pegawai harus mengikuti proses yang transparan dengan kualifikasi pendidikan minimal sesuai jabatan yang akan diisi.
Dugaan adanya hubungan kekerabatan antara bendahara baru dengan kepala puskesmas, juga menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas proses seleksi dan potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan puskesmas.
Praktik nepotisme dalam rekrutmen pegawai publik bertentangan dengan prinsip merit system, yang mengutamakan kompetensi dan integritas sebagai dasar penempatan jabatan.
Kasus ini menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah standar kualifikasi pendidikan untuk posisi bendahara puskesmas dapat diabaikan, dan bagaimana memastikan transparansi rekrutmen pegawai kesehatan bebas dari praktik nepotisme? (Pandu)