![]() |
Ilustrasi |
SEBAGAI program nasional yang menyandang amanat besar memperbaiki kualitas gizi jutaan anak bangsa. Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir bukan semata proyek pangan, tapi proyek peradaban.
Namun seperti halnya banyak proyek ambisius di republik ini, harapan bisa ditikam oleh kepentingan. Salah satu potensi celahnya: siapa yang bermain di balik dapur?
BGN, SPPG, dan Arsitektur Pelaksana
MBG dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga yang dibentuk lewat Perpres No. 83 Tahun 2024, dengan tanggung jawab tunggal: memastikan pemenuhan gizi nasional. Di lapangan, pelaksanaannya didelegasikan ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), unit-unit dapur besar yang masing-masing menyasar 3.000–4.000 penerima manfaat, dari siswa hingga ibu hamil.
SPPG ini menjadi jantung dari operasional: dari proses masak, distribusi, hingga pelaporan penggunaan dana negara. Mereka digerakkan oleh yayasan penerima bantuan, yang ditunjuk melalui proposal dan harus memenuhi syarat fasilitas dan SDM. Dana yang digelontorkan? Fantastis, lebih dari Rp 51 triliun dari APBN 2025.
Program ini juga membuka peluang bagi UMKM, koperasi, BUMDes, dan petani lokal untuk menjadi penyedia bahan pangan. Sebuah ekosistem ekonomi pangan dibangun, menyasar perputaran uang di desa dan penyerapan tenaga kerja.
Celah Etika: Dapur di Tangan Legislator?
Di tengah potensi ekonomi itu, muncul satu pertanyaan tajam: Bolehkah anggota DPRD memiliki dapur MBG atau terlibat dalam yayasan pelaksana?
Jawabannya jelas tersirat dalam prinsip tata kelola dan pasal larangan Juknis: penerima bantuan tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan pejabat publik atau partai politik. Keikutsertaan seorang anggota legislatif aktif dalam badan usaha atau yayasan pelaksana MBG berpotensi mencederai prinsip netralitas dan akuntabilitas.
Lebih jauh, hal ini bertentangan dengan Etika Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih. Meski tak eksplisit dilarang dalam juknis, keterlibatan itu membuka celah abuse of power, apalagi jika penunjukan dilakukan tanpa kompetisi terbuka.
Siapa Mengawasi Siapa?
Tanggung jawab pengawasan terletak di banyak bahu: mulai dari BGN, Inspektorat Jenderal, BPKP, hingga masyarakat sipil. Pemerintah daerah, kepala sekolah, hingga orang tua murid sejatinya juga bisa menjadi kontrol sosial terhadap kualitas makanan, waktu distribusi, hingga dugaan permainan markup logistik.
Jika fungsi kontrol ini lemah, maka program MBG bukan menjadi proyek pengentasan stunting, tapi justru lahan subur untuk politik anggaran dan oligarki lokal.
Kesimpulan
MBG adalah mimpi baik yang bisa menjadi buruk bila salah urus. Keterlibatan legislatif aktif dalam kegiatan usaha MBG bukan hanya soal legalitas, tapi menyangkut integritas dan moral publik. Negara harus tegas membatasi, bahkan melarang, anggota DPRD aktif menjadi pelaku usaha MBG demi mencegah konflik kepentingan.
Dapur MBG seharusnya menjadi ruang memasak masa depan anak-anak, bukan alat membakar ambisi politik dan rente kuasa.
Ditulis Oleh: Prima MT Pribadi- Aktifis Poros Indor Ciamis