![]() |
Ilustrasi |
PENATAAN wilayah merupakan instrumen penting dalam pembangunan nasional. Tapi kerap kali, pembangunan fisik yang diklaim demi "kemajuan" justru menimbulkan ketidakadilan — utamanya bagi masyarakat kecil yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidup di ruang-ruang yang kini dilirik investor.
Labelisasi seperti 'penghuni liar' atau 'tanpa izin' acap kali dilekatkan tanpa melihat sejarah eksistensi dan kontribusi masyarakat terhadap kawasan tersebut. Ironisnya, penggusuran yang menyertai penataan wilayah kerap dibenarkan dengan legalitas administratif, seolah sah secara hukum. Padahal, dalam negara hukum, sah secara administratif belum tentu adil secara konstitusional dan sosial.
Konstitusi kita, dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, menjamin hak setiap warga negara atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini ditegaskan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat serta perlindungan hak atas tanah dalam proses perencanaan ruang.
Sayangnya, prinsip ini sering diabaikan. Proyek-proyek strategis nasional, pembangunan wisata, dan zona ekonomi khusus, misalnya, kerap meminggirkan rakyat lokal. Tanpa dialog, tanpa kompensasi memadai, dan tanpa relokasi manusiawi — ini bukan pembangunan, melainkan bentuk baru kolonialisme ruang.
Kita harus mengingatkan: legalitas tidak bisa menggantikan legitimasi. Proyek sah secara hukum tetap bisa mencederai rasa keadilan apabila dijalankan secara sepihak. Maka dari itu, pemerintah daerah sebagai ujung tombak penataan ruang harus berpegang teguh pada prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
Selain itu, lembaga pengawasan seperti Ombudsman, Komnas HAM, bahkan pengadilan tata usaha negara harus lebih aktif dalam mengawal hak-hak ruang warga. Rakyat kecil bukan hambatan pembangunan, melainkan bagian integral dari ruang itu sendiri.
Kita tidak sedang membangun sekadar jalan, jembatan, atau gedung — tapi membangun peradaban. Dan peradaban yang adil tak mungkin tegak di atas reruntuhan hak rakyatnya.
Penulis: Moh. Sulaiman, SH., MH. adalah advokat dan penggiat hukum tata ruang dari Lembaga National Industrial Watch. Aktif mengadvokasi hak masyarakat terdampak pembangunan di kawasan pesisir dan wilayah strategis nasional.