![]() |
| Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang dan sang ayah yang juga sebagai Kepala Desa H.Kunang |
SEJAK sang putra kesayangan Adr Kuswara Kunang dilantik sebagai Bupati Bekasi. Harapan dibenak masyarakat Bekasi, Ade merupakan bupati ideal dengan usia masih muda, harta berlimpah dan sedert penampilan lainmya yang membuat penilaian publik jadi landai terhadap sosok Ade Kunang.
Namun pandangan masyarakat Bekasi perlahan berubah ketika ada sosok Kepala Desa di Kabupaten Bekasi yang dikenal sebagai ayah dari sang bupati terkaya ke 3 di Jabar itu.
Di Kabupaten Bekasi, jabatan ternyata bukan soal struktur. Ia soal rasa. Dan H. Kunang, Kepala Desa Sukadami, disebut-sebut memiliki rasa yang melampaui papan nama di depan kantor desa.
Secara administratif, ia adalah kepala desa. Namun dalam praktik menurut cerita para kontraktor, pejabat SKPD, dan kini penyidik, ia bergerak seperti bupati bayangan, ngerihh kan?.
Tidak ada pelantikan. Tidak ada SK gubernur. Tapi ada telepon yang berdering, ada pesan yang tak berani diabaikan.
“Pak Kunang nitip,”
adalah kalimat yang, konon, cukup untuk membuat banyak pintu terbuka.
Dari Balai Desa ke Meja Proyek
H. Kunang tidak tercatat dalam struktur TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Namanya juga tak muncul dalam LPSE. Ia bukan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), bukan PA (pengguna anggaran), bukan pula KPA (kuasa pengguna anggaran)
Namun anehnya, H.Kunang tahu proyek apa yang akan jalan bahkan sebelum tender diumumkan.
Di desa, ia bicara pembangunan. Di kabupaten, ia bicara komitmen. Bukan komitmen visi-misi, melainkan komitmen dalam arti paling cair: berapa, kapan, dan lewat siapa.
Menurut penyidik KPK, ada uang yang bergerak lebih dulu sebelum proyek bernapas. Ijonnya belum panen, tapi setoran sudah matang.
Dan di tengah lalu lintas itu, nama H. Kunang kerap disebut sebagai penyambung lidah kekuasaan.
Ayah, Anak, dan Kekuasaan yang Mengalir
Sebagai ayah dari Bupati Bekasi, H. Kunang tak perlu kartu nama panjang. Relasi darah jauh lebih efektif dari surat resmi.
Ia tak perlu memerintah, cukup memberi isyarat. Tak perlu menekan, cukup menyebut keluarga.
Di Bekasi, hubungan keluarga bukan sekadar silsilah, ia bisa berubah menjadi jalur koordinasi alternatif.
Jika kantor bupati punya jam kerja, jalur keluarga bekerja 24 jam. Dan seperti banyak kekuasaan informal lainnya, jalur ini sulit dilacak, sulit dibuktikan, tapi terasa dampaknya.
Kepala Desa, Tapi Langkahnya Kabupaten
Warga mengenal H.Kunang sebagai kades tiga periode. Namun jejaringnya menjangkau dinas, kontraktor, bahkan aparatur penegak hukum, menurut berbagai sumber yang kini sedang diuji di meja penyidikan. Ia bukan pejabat tinggi, tapi posisinya tinggi. Ia bukan pengambil keputusan resmi, tapi sering berada di sekitar keputusan itu lahir.
Seolah ada jabatan tak tertulis di Bekasi yakni, Kepala Desa Koordinator Proyek.
Ketika Kekuasaan Tak Perlu SK
Kasus ini, bagi penyidik, bukan sekadar soal uang. Ini tentang bagaimana kekuasaan bekerja tanpa aturan.
Tentang bagaimana jabatan formal bisa kalah oleh pengaruh keluarga. Dan H. Kunang menjadi simbol dari fenomena lama di daerah yakni seseorang yang tak tercantum dalam struktur, tapi hadir dalam semua urusan penting 'ah, Kepala desa, rasa bupati'.
Kini, cerita itu tidak lagi beredar di warung kopi atau ruang rapat tertutup. Ia masuk ruang penyidikan, disegel, dicatat, diuji.
Tulisan ini mungkin terasa pahit. Namun tulisan ini lahir dari realitas yang lebih pahit lagi yakni ketika kekuasaan terlalu akrab dengan keluarga, dan jabatan hanya jadi formalitas.
Di Bekasi, pelajaran itu sedang ditulis dengan tinta hukum, bukan lagi bisik-bisik.




