Adu Banyak Anggaran Rumah Tangga Antara Walikota Bekasi Dan Sekda

Redaktur author photo
Ilustrasi

inijabar.com, Kota Bekasi - Sorotan publik terhadap tunjangan rumah dinas walikota Bekasi belum reda. Kini anggaran tunjangan Sekretaris Daerah (Sekda) pun mencuat.

Pada Catatan Rencana Kerja Sekretariat Daerah (Setda) tahun 2025 menunjukkan, pos penyediaan kebutuhan rumah tangga Sekda dialokasikan hingga Rp2 miliar.

Jumlah tersebut ternyata melampaui anggaran rumah tangga untuk Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang masing-masing berada di bawah Rp1,5 miliar.

Perbandingan ini memunculkan pertanyaan publik. Bagaimana mungkin seorang Sekda secara hierarki adalah pejabat administratif justru mendapat alokasi lebih besar dibanding kepala daerah yang merupakan pemegang mandat politik?

Kondisi ini semakin kontras jika dikaitkan dengan fakta bahwa Peraturan Wali Kota Bekasi No. 6 Tahun 2024 mencatat belanja modal alat kantor dan rumah tangga di lingkungan Setda mencapai Rp61,4 miliar. 

Angka besar tersebut semakin memperkuat kesan bahwa pos belanja rumah tangga pejabat belum dikelola secara ketat dan efisien.

Gelombang kritik dari masyarakat pun tidak berhenti. Dalam beberapa pekan terakhir, Bekasi berkali-kali menjadi panggung aksi warga yang menuntut efisiensi anggaran. 

Dari kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, hingga aliansi warga miskin kota, semua mengangkat isu serupa: tunjangan dan belanja pejabat dianggap terlalu besar, sementara kualitas layanan publik masih jauh dari harapan.

Menurut  Ketua Umum Suara Keadilan, Nanda, fenomena ini adalah sinyal adanya masalah mendasar dalam tata kelola keuangan daerah.

“Ketika kebutuhan rumah tangga Sekda justru menembus Rp2 miliar, lebih tinggi dari Wali Kota dan Wakilnya, itu menandakan ada yang tidak proporsional. Dalam tata kelola publik, angka sebesar itu seharusnya melalui pertimbangan rasional, bukan dibiarkan mengalir begitu saja,” jelas Nanda.

Ia menegaskan bahwa Bagian Umum Setda memegang peran penting dalam mengontrol alokasi tersebut. Sayangnya, indikasi yang tampak justru sebaliknya.

“Kabag Umum seharusnya menjadi pihak yang paling peka terhadap rasionalisasi anggaran. Tapi dalam kasus ini, mereka justru terlihat lalai, membiarkan disparitas yang tidak masuk akal. Jika fungsi pengendalian tidak berjalan, wajar masyarakat menilai pengelolaan anggaran di Setda semakin janggal,” ujarnya. Jumat (19/9/2025)

Nanda menambahkan, kritik publik yang semakin sering muncul adalah bentuk kontrol sosial yang sehat. Pemerintah Kota Bekasi, menurutnya, tidak boleh abai terhadap tanda-tanda keresahan ini.

“Semakin banyak aksi turun ke jalan, artinya keresahan publik makin nyata. Pemerintah Kota, terutama Kabag Umum Setda, harus belajar mendengar, bukan sekadar membiarkan pos belanja terus membengkak tanpa koreksi,” tegasnya.

Keberanian melakukan rasionalisasi belanja pejabat justru akan memperkuat kepercayaan publik. Sebaliknya, jika pemborosan dibiarkan, maka yang dikorbankan adalah anggaran untuk sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini