![]() |
Kuasa hukum buruh PT. Kertas Leces Eko Noviriansyah SH (baju putih) |
inijabar.com, Jakarta - Sebanyak 1.900 eks karyawan PT Kertas Leces (Persero) (Dalam Pailit), mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan bernomor perkara 761/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst ini terdaftar pada 20 Oktober 2025.
Adapun nilai gugatan yang diajukan hanya Rp1.900 (seribu sembilan ratus rupiah) sebagai kompensasi moral simbolik, yakni Rp1 per eks karyawan. Namun, di balik angka simbolis itu, tersimpan tuntutan agar pemerintah memfasilitasi pembayaran hak normatif eks karyawan senilai Rp145,9 miliar yang tertahan lebih dari 13 tahun.
Diketahui, gugatan tersebut diajukan oleh Paguyuban Karyawan Aliansi Karyawan Bersatu PT Kertas Leces (PAKAR-AKRAB), melalui Kantor Hukum ENP & Rekan dengan Eko Novriansyah Putra sebagai kuasa hukum.
"Kami tidak menggugat untuk memperkaya siapa pun. Kami menggugat untuk menegakkan hak paling normatif para eks karyawan dan puluhan ribu keluarganya yang seharusnya telah diterima 13 tahun lalu," ujar Eko, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/10/2025).
PT Kertas Leces (Persero) tercatat sebagai BUMN pertama di Indonesia, yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya melalui Putusan Nomor 01/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2018/PN.Niaga.Sby pada 25 September 2018. Putusan ini dikuatkan Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 43 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019 pada 28 Maret 2019.
Pasca putusan pailit, Tim Kurator menemukan 14 sertifikat tanah seluas sekitar 74 hektar sebagai boedel pailit, dengan nilai aset diperkirakan mencapai Rp700 miliar berdasarkan hasil appraisal 2022.
Namun, hingga kini sertifikat-sertifikat tersebut belum diserahkan oleh Kementerian Keuangan kepada Tim Kurator, meskipun telah ada Penetapan Hakim Pengawas Nomor 1/2019 tertanggal 20 Agustus 2019 dan Surat Kemenkeu Nomor S-934/KN.5/2019 tertanggal 20 September 2019 yang mengakui kewajiban penyerahan.
[cut]
Akibatnya, proses lelang tidak dapat dilakukan dan hak normatif 1.900 pekerja senilai Rp145,9 miliar tidak pernah diterima.
Eko menyebutkan, keterlambatan dan kelalaian administratif telah menimbulkan kerugian sosial dan kemanusiaan yang mendalam. Selama lebih dari 13 tahun penantian, 312 eks karyawan meninggal dunia tanpa sempat menerima hak mereka.
Menurut dokumen gugatan, dampak penantian ini mencakup hilangnya sumber penghidupan, ratusan anak putus sekolah, puluhan pasangan bercerai akibat tekanan ekonomi, hingga hilangnya kepercayaan terhadap negara.
Dalam gugatannya, para eks karyawan menegaskan tindakan Menteri Keuangan memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata karena perbuatan melanggar hukum berupa penahanan atau penundaan penyerahan aset boedel pailit, kelalaian administratif dalam melaksanakan putusan, timbulnya kerugian materiil dan immateriil, serta adanya hubungan kausal langsung.
Gugatan ini juga mengacu pada Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan yang menyatakan sejak putusan pailit diucapkan, kurator berwenang menguasai dan mengurus seluruh harta pailit.
Selain itu, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 21 huruf (b) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan melarang pejabat pemerintahan menunda kewajiban tanpa alasan sah.
Eko, yang hampir 10 tahun mendampingi perjuangan tersebut secara pro bono, menegaskan bahwa negara tidak kebal dari hukum.
"Negara bukan saja punya kewajiban, terlebih pailitnya BUMN PT Kertas Leces ini justru karena kelalaian tidak membayar pekerjanya sendiri. Namun justru ketika semua persoalan hukumnya bertahun-tahun telah selesai, negara malah berebut dan menghambat," tegas Eko.
[cut]
Dalam petitum gugatan, penggugat memohon Majelis Hakim untuk pertama, menyatakan Menteri Keuangan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai menyerahkan 14 sertifikat tanah boedel pailit kepada Tim Kurator.
Kedua, menghukum tergugat memfasilitasi dan menuntaskan pembayaran hak eks karyawan sebesar Rp145,9 miliar dengan mencarikan dana talangan atau kebijakan anggaran alternatif yang kemudian beralih menjadi hak negara setelah dibayarkan.
Ketiga, menghukum tergugat membayar kerugian immateriil berupa kompensasi moral simbolik sebesar Rp1 per eks karyawan atau total Rp1.900.
Keempat, menghukum tergugat menyampaikan permintaan maaf secara terbuka di media nasional dan daerah online selama tiga hari berturut-turut sejak putusan dibacakan.
Kelima, menghukum tergugat membayar biaya perkara.
Eko menyatakan, gugatan ini diwarnai optimisme terhadap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Para eks karyawan berharap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi titik balik penyelesaian kasus bersejarah ini.
"Setelah sekian lama diabaikan pada era Menteri Sri Mulyani, kini momentum perubahan ada di tangan Menteri Purbaya. Kami percaya beliau memiliki integritas dan keberpihakan pada kemanusiaan. Hanya dengan satu keputusan politik—penyerahan sertifikat boedel pailit—ribuan keluarga bisa punya harapan kembali," ujar Eko.
Ia menegaskan, nilai gugatan Rp1.900 bukan tentang uang, tetapi tentang rasa keadilan dan kewajiban negara.
[cut]
"Rp1.900 itu bukan nilai uang—itu simbol luka dan cinta. Kami tidak menuntut kekayaan, kami menuntut tanggung jawab negara dan pejabat kepada rakyatnya," pungkas Eko.
Sebagai informasi, pada 28 April 2025, Komisi VI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PAKAR-AKRAB. Dalam kesimpulan RDPU, Komisi VI mendukung dan mendesak penuntasan pembayaran seluruh hak normatif eks karyawan, baik gaji tertunggak maupun pesangon.
Komisi VI juga menegaskan penuntasan harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menetapkan hak karyawan sebagai prioritas utama di atas tagihan negara.
Perkara ini dapat diakses melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi atas gugatan tersebut. (Pandu)