Enam Tersangka, Dua Nyawa, dan Tepuk Tangan di Kolom Komentar

Redaktur author photo
Ilustrasi

KASUS berdarah malam itu pecah di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta. Dua orang debt collector tewas di Kalibata. Luapan emosi dari rekan sejawat korban pun menumpahkannya ke warung sekitar yang hangus dilalap si jago merah.

Polisi menetapkan enam tersangka. Secara hukum, perkara ini mestinya lurus: ada nyawa melayang, ada proses pidana berjalan, titik. 

Tapi di jagat maya, cerita justru berbelok tajam. Kolom komentar bukan berkabung, melainkan sorak-sorai. “Wajar.” “Kapok.” “Rakyat kecil melawan.” Like berhamburan, empati tersedot ke arah para tersangka.

Pertanyaannya sederhana tapi menggelitik: kenapa pelaku justru didukung netizen?

Jawabannya tidak sesederhana kronologi TKP.

Pertama, utang lama bernama debt collector. Di benak publik, profesi ini sering identik dengan nada tinggi, teror telepon, mendatangi rumah tanpa undangan, dan gestur intimidatif. Meski tidak semua demikian, memori kolektif netizen sudah terlanjur penuh arsip buruk. Begitu kata 'debt collector' muncul, sebagian warganet otomatis menekan tombol antipati bahkan sebelum membaca paragraf kedua berita.

Kedua, emosi sosial sedang sensitif. Harga hidup naik, cicilan menjerat, kerja serba tak pasti. Dalam situasi seperti ini, kisah bentrokan dengan penagih utang terasa dekat. Bukan soal benar-salah, tapi soal “siapa yang terasa mewakili kita”. Netizen, seperti biasa, memilih sisi yang paling mirip cermin dapur sendiri.

Ketiga, narasi perlawanan rakyat kecil. Enam tersangka dengan latar sederhana berhadapan dengan sosok yang diasosiasikan sebagai 'penekan ekonomi'. Maka lahirlah kisah heroik versi kolom komentar: yang satu dianggap korban sistem, yang lain dianggap simbol tekanan. Padahal hukum pidana tak mengenal istilah “korban sistem boleh menghabisi nyawa”.

Keempat, media sosial alergi pada proses hukum yang dingin. Proses hukum bicara pasal, alat bukti, dan niat jahat. Netizen bicara perasaan. Ketika emosi mendahului logika, simpati bisa melompat pagar undang-undang. Like dan share menjadi palu hakim versi warganet.

Namun di titik ini, ada bahaya yang jarang disadari. Mendukung pelaku kekerasan, apa pun alasannya adalah karpet merah bagi normalisasi main hakim sendiri. Hari ini debt collector, besok bisa siapa saja. Kekerasan yang diberi pembenaran emosional, lama-lama terasa wajar.

Kasus Kalibata ini akhirnya bukan hanya soal enam tersangka dan dua korban. Ia menjadi cermin kusam relasi sosial kita: ketidakpercayaan pada mekanisme resmi, dendam pada profesi tertentu, dan kebiasaan mengadili lewat kolom komentar. Hukum berjalan di ruang sidang, tapi vonis sosial sudah dijatuhkan jauh lebih cepat dengan jempol, bukan palu.

Di sinilah publik perlu menahan napas. Empati boleh, marah wajar, tapi nyawa tetap nyawa. Siapa pun korbannya, siapa pun pelakunya. Karena ketika sorak-sorai mengiringi kematian, yang sedang sekarat bukan hanya dua orang di Kalibata, melainkan nalar kita sendiri.

Opini Ditulis: Redaksi

Share:
Komentar

Berita Terkini