![]() |
| Ilustrasi |
DI sebuah rumah kecil di pinggir gang Kecamatan Bekasi Timur, suara printer inkjet meraung sejak subuh. Kertas-kertas LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) bertumpuk di meja tamu yang disulap menjadi sekretariat mendadak.
Di tengah kepulan kopi hitam, Ketua RW setempat, sebut saja Pak R, tampak memijit pelipis.
“Cairnya telat, laporannya harus cepat. Ya beginilah,” gumamnya sambil melirik layar ponsel yang masih memuat notifikasi dari warga dan bendahara. Di luar sana, suara renovasi pos ronda berpacu dengan waktu anggaran yang mepet. Maklum LPJ harus sudah diserahkan dari RW per tanggal 10 Desember 2025.
Program Rp100 juta per RW yang sejak awal digadang-gadang sebagai amunisi pemberdayaan masyarakat, rupanya datang seperti tamu penting yang telat hadir di pesta, semua orang bahagia, tapi panitia kelabakan.
Selain itu ketua RW diharuskan membuka rekening atas nama pribadi di Bank BJB dengan pencairan bertahap.
Di wilayah Kelurahan Jakasampurna, sebanyak 23 RW, menandatangani kontrak pelaksanaan Program Penataan Lingkungan RW Bekasi Keren.
Menurut Ketua RW 014 Kelurahan Jakasampurna, Deddy J.S. Yahya menilai adanya kejanggalan proses administrasi pada program tersebut, khususnya terkait kewajiban menandatangani kuitansi sebelum dana diterima.
Kepada wartawan Deddy mengatakan, proses itu tidak sejalan dengan prinsip dasar pengelolaan keuangan.
“Kalau secara hukum ini tidak benar, saya tanda tangan kuitansi yang seolah-olah saya sudah menerima dana. Sampai hari ini dana belum kami terima, harusnya uang masuk dulu baru tanda tangan. Karena bunyinya di sana ‘telah menerima’,” katanya selepas melakukan tanda tangan kontrak.
Dirinya menerangkan, berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Bekasi nomor 23 tahun 2025, camat merupakan pengguna anggaran (PA) dan lurah menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA).
“Sesuai bunyi Perwal, ya sampai di sana. RW gak usah dilibatkan dan hanya mengusulkan kepada lurah item apa saja yang dibutuhkan, nanti yang belanja adalah lurah,” terangnya.
Saat Dana Turun, Kalender Justru Berlari
Sebagian besar RW mengaku anggaran baru benar-benar dirasakan menjelang penghujung tahun. Ketika SP2D cair, kalender justru bersiap memasuki bulan terakhir, meninggalkan sedikit ruang bagi RW untuk belanja, menata kegiatan, hingga menyusun LPJ yang formal, rapi, lengkap, dan berpotensi diperiksa.
[cut]
Seorang ketua RW di Bekasi Utara bercerita:
“Kalau mau bagus, idealnya kan cair pertengahan tahun. Tapi ini… ya kita ngebut. Yang penting beres dulu.”
Pernyataan itu menggambarkan keresahan kolektif yang nyaris sama di tiap sudut kota: dana hibah masyarakat yang semestinya menggerakkan program lingkungan, malah membuat para ketua RW berjibaku mengejar waktu.
Rekening Pribadi: Solusi Cepat yang Berisiko Panjang
Masalah tambah pelik ketika sejumlah RW mengaku dana masuk ke rekening pribadi ketua RW, bukan ke rekening kelembagaan. Alasannya beragam: RW tidak memiliki rekening organisasi, bank meminta SK tertentu, atau proses buka rekening baru memakan waktu sementara LPJ sudah mendekati batas.
“Ya mau gimana? Waktu mepet, warga menekan, program harus berjalan,” ujar seorang ketua RW di wilayah Rawalumbu.
Namun solusi instan itu justru menjadi bom waktu administrasi.
Bendahara RW diminta mencatat mutasi dana yang tak sepenuhnya sesuai prosedur, kuitansi harus disamakan dengan nama RW, dan setiap transaksi harus dibuktikan seakurat mungkin agar tidak tampak seperti uang pribadi yang mengalir bebas di rekening seseorang.
Di balik meja kerja yang penuh nota pembelian, mereka paham satu hal: sekali salah kelola, risiko hukum dan pemeriksaan bisa mengintai.
Dilema Moral & Administratif
Dana publik sejatinya menuntut transparansi. Tetapi ketika realitas birokrasi bertemu kultur kelembagaan tingkat RW yang sederhana, maka terjadi jurang: standar LPJ tetap tinggi, kapasitas administrasi RW pas-pasan.
“Kalau mau jujur, beberapa RW itu bukan tidak mau tertib. Mereka cuma tidak terbiasa dengan administrasi berat. Sementara uangnya besar, aturannya juga ketat,” kata seorang lurah di Bekasi Selatan yang enggan disebutkan namanya.
Bagi sebagian RW, membuat LPJ yang rapi sama rumitnya dengan menulis skripsi semalam. Ada faktur yang tidak mencantumkan nama RW, ada nota eceran dari toko kecil yang tidak bisa meminta cap, ada jasa tukang yang bekerja secara gotong royong sehingga sulit memberikan kuitansi resmi.
Masalah sepele, tapi bisa berujung serius.
[cut]
Ketika Iman Administratif Diuji
Di sisi lain, RW harus menghadapi tekanan sosial dari warganya sendiri. Setiap pembelian CCTV, perbaikan lampu jalan, atau kegiatan lingkungan selalu diiringi komentar:
“Uangnya sudah turun?”
“Dipake apa aja?”
“Benar nggak belanjanya?”
Dalam situasi dana masuk rekening pribadi, pertanyaan-pertanyaan itu bisa berubah menjadi prasangka. Hal yang membuat beberapa ketua RW tidur kurang nyenyak, bukan karena takut salah, tapi takut dipersepsikan salah.
Seorang RW di Bintara bercerita lirih.
“Saya ini cuma pensiunan, bukan ahli akuntansi. Tapi kalau salah sedikit, bisa dianggap macam-macam. Padahal saya bantu warga,"ujarnya.
Dilema moral itu nyata: niat mengabdi sering terjebak di antara aturan yang ketat dan realitas lapangan yang tidak selalu ideal.
Lurah & Kecamatan: Antara Pendampingan dan Tumpukan Proyek Akhir Tahun
Pendampingan dari kelurahan dan kecamatan ada, namun banyak RW merasa belum cukup intensif. “Kalau bisa, ada posko LPJ,” ujar beberapa RW dalam rapat wilayah.
Aparat kelurahan sendiri sering kewalahan menghadapi setumpuk laporan yang datang bersamaan. Mereka harus memeriksa satu per satu dokumen, mulai dari RAB, kuitansi, BAST, hingga dokumentasi.
Di tengah tekanan anggaran akhir tahun, semua pihak tampak berlari—sementara sistem berjalan lebih lambat dari kebutuhan.
Sisi Baik yang Tetap Layak Dirayakan
Di balik keluhan administratif, dana Rp100 juta per RW tetap membawa harapan.
Beberapa RW berhasil membangun taman kecil, membeli peralatan kebersihan, memasang CCTV yang membantu keamanan lingkungan, hingga mendanai kegiatan sosial warga.
Ada RW yang dengan bangga memperlihatkan trotoar gang yang baru dicor.
[cut]
“Akhirnya gang kami terang dan tidak becek lagi,” kata seorang warga di Pondok Melati.
Ini bukti bahwa meski administrasi rumit, manfaat realnya tetap terasa bagi masyarakat.
Akhir Tahun, Akhir Cerita?
Menjelang batas LPJ, ruangan-ruangan RW di berbagai kecamatan berubah menjadi ruang lembur. Ada yang mengetik laporan sambil makan gorengan, ada yang mencetak kuitansi ulang, ada yang merapikan dokumentasi foto sambil menahan kantuk.
Di layar laptop yang mulai panas, terselip harapan agar tahun depan anggaran datang lebih awal, pendampingan lebih jelas, dan rekening RW tidak lagi harus memakai nama pribadi.
Sebab bagi mereka, mengurus Rp100 juta bukan sekadar administrasi, itu soal menjaga kepercayaan warga dan nama baik lingkungan.
Dan di balik semua kesibukan itu, satu kalimat sering terdengar dari bibir para pengurus wilayah:
“Kami cuma ingin semuanya transparan, aman, dan benar.”
Editorial ditulis; Tim Redaksi






