![]() |
DARI balik riuh rendah dinamika rapat Pansus 8 DPRD Kota Bekasi yang sudah jadi sorotan nasional tidak saja soal tidurnya Pak Dirut Air tapi juga soal isi manuver sang sekretaris Pansus dan tak kalah penting soal isi Raperda yang dibahas.
Di sebuah ruangan ber-AC yang dinginnya mengalahkan hati para perumus anggaran, sebuah dokumen tebal bernama Raperda Penyertaan Modal BUMD Kota Bekasi Tahun 2025 sedang disiapkan.
Dokumen itu tampak gagah: tabel rapi, angka berderet, dan kalimat-kalimat formal yang seolah turun langsung dari langit birokrasi.
Tapi seperti biasa, di balik angka-angka itu ada aroma yang tidak pernah tertulis: aroma 'siapa kebagian apa'.
Jebakan Fiskal Seperti Beli Mobil Mewah Padahal Cicilan Motor Masih Nunggak
Dalam dokumen resmi itu, Pemerintah Kota Bekasi tampak percaya diri menyuntik modal ke beberapa BUMD diyakini mampu mendongkrak kinerja, PAD, dan citra pemerintahan.
Tapi laporan keuangan daerah berbisik pelan. "Bro, kamu yakin? Ini kayak nambah beban, bukan nambah kekuatan."
Saat pendapatan daerah menurun dan belanja wajib makin menjerit mengalahkan jeritan PPPK Paruh Waktu yang belum dpat honor TPP, wacana penyertaan modal justru muncul seperti iklan kredit tanpa DP.
Faktanya, penyertaan modal di banyak daerah sering menjadi jebakan fiskal elegan, legal di atas kertas, berat di APBD, dan kadang-kadang nihil manfaat jangka panjang kecuali manfaat bagi yang senang memegang proposal.
“Transaksional Fee”, Kata yang Tidak Pernah Ada di Raperda, Tapi Ada di Banyak Kopi Darat
Dokumen resmi tidak pernah menulis kata 'fee', 'sukses fee', atau 'administrasi tanda terima kasih'.
[cut]
Namun di dunia nyata, banyak daerah pernah berurusan dengan pola yang sama. Anggaran penyertaan modal muncul, Proyek muncul, Tim tertentu mulai mondar-mandir, Dan tiba-tiba ada yang rajin senyum sambil bilang, “Ini mah standar, Pak.”
Kota Bekasi tentu tidak dituduh. Yang dibahas adalah pola nasional yang sudah terjadi dari Sabang sampai Merauke- penyertaan modal sering disalahpahami sebagai kesempatan bagi yang pandai menafsirkan peluang.
Karena itu, wacana Raperda baru ini membuat banyak orang geleng-geleng:
"Yah, siap-siap muncul ritual kopi darat lagi nih."
Bisnis BUMD Antara Ambisi dan Realita Lapangan
Di meja rapat, semua terdengar heroik. “BUMD harus mandiri!”
“BUMD harus menghasilkan PAD!”
“BUMD harus profesional!”
Namun di lapangan, situasinya sering seperti sinetron. Ada BUMD yang bisnisnya tidak jelas, Aset minim, Manajemen gonta-ganti, Laporan keuangan yang harus dibaca sambil tarik napas panjang
PT Mitra Patriot (MP) misalnya meski tidak disalahkan secara individu menjadi contoh klasik bagaimana BUMD sering dipaksa 'menjalankan bisnis', padahal bisnis yang dimaksud sendiri masih 'kabur' seperti judul FTV malam minggu.
Sementara satu BUMD lain, Sinergy Patriot Bekasi, mungkin secara teori punya peluang emas, tapi seperti banyak BUMD di Indonesia, peluang itu kadang berubah menjadi 'rencana tahunan tanpa eksekusi'.
BUMD kita sering kali seperti usaha kuliner teman SMA, ide bagus, visi besar, modal dikasih…eh tapi tiga bulan kemudian yang tersisa hanya poster promo.
Dokumen yang Terlalu Rapi untuk Dunia yang Tidak Pernah Rapi
Secara legal, Raperda ini tampak sempurna: Definisi jelas, tujuan mulia, tahapan lengkap. Tapi pembaca awam akan menemukan kejanggalan klasik. Tidak ada analisis risiko fiskal, tidak ada perhitungan proyeksi pendapatan BUMD yang terukur, tidak ada tolok ukur kinerja yang jelas dan tidak ada mekanisme penghentian penyertaan modal ketika BUMD 'ngedrop'.
[cut]
Dengan kata lain, dokumen ini seperti brosur investasi yang penuh janji, tapi lupa menjelaskan risiko rugi.
Atau kata anak muda: “Kayak PDKT yang manis di awal, tapi ghosting di tengah jalan.”
Jadi..hmm, Raperda Penyertaan Modal BUMD 2025 bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah simbol optimisme birokrasi yang kadang terlalu optimis, pintu masuk potensi transaksional yang tidak pernah diakui, beban fiskal yang bisa menjadi bumerang atau ambisi BUMD yang mungkin lebih indah di PowerPoint daripada di dunia nyata.
Dan tentu saja, ia menghadirkan satu pertanyaan investigatif abadi.
“Apakah kita sedang membangun masa depan BUMD, atau sekadar membuka kotak peluang bagi mereka yang jago memanfaatkan celah?”
Jawabannya akan terlihat nanti ketika modal sudah ditransfer, laporan sudah disusun, dan publik bertanya: “Hasilnya mana?”.
Editorial: Litbang inijabar.com





