Sekda Ku Sayang Sekda Ku Malang: Sekda Kota Bekasi Niat Meluruskan Tapi Blunder

Redaktur author photo
Sekda Kota Bekasi Junaedi

DI Kota Bekasi, kita mengenal dua cuaca: panas dan lebih panas. Namun belakangan, ada satu lagi: cuaca blunder, yang anehnya selalu datang setiap kali Sekretaris Daerah Kota Bekasi Junaedi buka mikrofon.

Padahal, niat beliau mulia membela Walikota Bekasi Tri Adhianto. Ibarat pahlawan tanpa jubah, ia seperti ingin turun dari langit membawa pencerahan: “Tenang warga, izinkan saya meluruskan cerita.” Tapi apa daya setiap pelurusan justru menjadi senam jantung publik.

Blunder Level Satu: Triliunan yang Katanya Tak Ada

Ketika Menkeu Purbaya menyebut ada dana daerah mengendap Rp1,4 triliun, sekda langsung pasang tameng:

“Tidak ada itu.”

Sontak publik terhenyak—bukan karena kaget, tapi karena bingung:

“Loh, kalau tidak ada, terus yang rame dibahas itu siapa? Cerminan? Proyeksi? Bayangan?”

Alih-alih meredakan suasana, penjelasan sang sekda justru membuat suasana semakin kabur. Bahkan CCTV pun mungkin bertanya-tanya: “Ini yang meluruskan apa menambah belokan?”

Blunder Level Dua: Ke China Tanpa APBD

Lalu muncul episode baru:Kepergian walikota dan rombongan ke China. 

Isu melebar, kecurigaan naik, publik bergumam.

Sekda masuk… lagi.

Dengan gaya penuh keyakinan ia berkata:

“Tidak memakai APBD. Semua ditanggung perusahaan China untuk akomodasi dan transportasi.”

Seketika masyarakat serentak menoleh:

“Hah? Yang benar? Ini studi tiru atau studi traktiran?”

Belum lagi para ahli hukum mengangkat alis kiri—indikator standar bahwa kalimat baru saja berpotensi menjadi unsur gratifikasi versi deluxe edition.

Bukannya menjernihkan, yang ada justru membuka pintu pertanyaan lebih banyak dari jumlah lampu merah di Kota Bekasi.

Sindrom ‘Pahlawan Kesiangan

Sekda tampaknya menganut prinsip: “Lebih baik berbicara meski salah, daripada tidak muncul sama sekali.”

Setiap kali ada polemik, ia seperti tokoh protagonis yang terlambat masuk adegan:

Saat semua alur sudah panas, musik dramatis mengalun, baru ia muncul di tengah panggung dengan kalimat yang kadang membuat alur film berubah genre—dari drama menjadi komedi situasi.

Publik Menunggu Pelurusan yang Benar-benar Lurus

Masyarakat sesungguhnya rindu jawaban yang tidak multitafsir, tanpa gaya zig-zag. Namun selama sekda masih rajin “menjelaskan”, warga tampaknya harus siap:

Siapa tahu besok ada klarifikasi tentang klarifikasi, lalu disusul revisi klarifikasi, lalu revisi dari revisi revisi.

Bekasi memang kota kreatif—bahkan urusan pernyataan pejabat pun bisa jadi serial penuh plot twist.

Semoga Mikrofon Lebih Selektif

Pada akhirnya, kita paham niat sang sekda baik: ingin meluruskan. Tapi seperti kata pepatah Bekasi modern:

“Lurus itu penting, tapi kalau makin diluruskan malah makin melengkung, ya istirahat dulu.”

Semoga ke depan, sebelum tampil sebagai pahlawan klarifikasi, ada sesi gladi resik. Atau minimal, ada rem tangan sebelum melontarkan kalimat yang nanti ditarik kembali.

Sebab publik Bekasi sudah lelah bukan karena panas, tapi karena sering dilanda gempa klarifikasi berkekuatan sekda-skala.

Editorial: Redaksi

Share:
Komentar

Berita Terkini