![]() |
| Ilustrasi |
BERAWAL dari temuan audit BPK (Badan Pemerksa Keuangan) Jabar tahun 2024 yang menemukan sejumlah BUMD di Kota Bekasi menerima modal tanpa ada Perda khusus.
Kemudian DPRD Kota Bekasi dalam hal ini Bapemperda membentuk Pansus 8 tentang Penyertaan Modal BUMD yang akan digelontorkan pada anggaran tahun 2026.
Dinamika pun muncul pelan tapi pasti, seperti penunjukan LO (license officer) atau perwakilan anggota Pansus yang dipercaya melakukan komunikasi dan loby ke LO dari pihak BUMD.
Apa peran dan fungsi LO vs LO itu?, ya untuk membahas hal-hal yang tidak bisa dibahas di forum rapat Pansus 8. Termasuk cara 'belah ketupat' yang adil jika modal cair.
Di banyak daerah, penyertaan modal BUMD sering kali seperti cerita sinetron penuh drama, tokoh antagonis misterius, dan tentu saja plot twist berupa 'uang pelicin' yang lebih licin dari belut sawah.
Begitu pula ketika Kota Bekasi mengucurkan modal ke PDAM Tirta Patriot (Rp10 M), BPRS Patriot (Rp10 M), dan PT Mitra Patriot (Rp7 M). Tiga BUMD, tiga cerita, dan satu pertanyaan, “Apakah ini modal atau modalin?”
Mari kita kupas tapi tetap berdasar contoh kasus nyata dari berbagai daerah yang pernah kedapatan melakukan 'jurus' serupa.
1. PDAM TIRTA PATRIOT – DRAMA AIR MENGALIR, UANG MENGALIR LEBIH CEPAT
Sebelum bicara Kota Bekasi, ingat kasus PDAM Tirta Raharja Bandung yang disorot BPK gara-gara penyertaan modalnya tak selaras dengan kinerja, atau kasus PDAM Tirtanadi Sumut yang terseret dugaan suap proyek pipa?
Nah, contoh-contoh itu menunjukkan bahwa PDAM memang ahli dalam dua hal: menyalurkan air… dan isu-isu kebocoran (bukan cuma pipa, tapi anggaran).
Di Kota Bekasi, PDAM Tirta Patriot dapat Rp10 miliar. Publik pun bertanya,
“Ini untuk memperbaiki layanan air, atau memperbaiki hubungan politik?”
Apalagi setelah adegan Dirut PDAM tertidur pulas di rapat pansus lengkap dengan gaya zen ala wisata spa.
Bayangkan, publik bertanya:
“Kalau rapat saja tidur, bagaimana kalau ngurus pipa?”
Dalam kasus-kasus PDAM di daerah lain, pola success fee yang terungkap muncul saat pembahasan proyek pipa, meteran air, dan SPAM.
Modusnya sederhana. Pipa dipendam, markup mencuat.
2. BPRS PATRIOT – BANK SYARIAH, TAPI LOBINYA SERING KURANG SYAR’I
Bukan rahasia lagi bahwa BPRS-BPRS daerah sering 'bermasalah secara spiritual', bukan karena tidak religius, tapi karena godaan success fee sering lebih besar iman.
Contoh paling terkenal:
Kasus BPRS Kota Kendari, di mana penyertaan modal disinyalir dipakai untuk memuluskan proyek fiktif.
BPRS Garut, yang sempat panas karena penempatan dana misterius dan dugaan permainan kredit.
Ketika Bekasi menggelontorkan Rp10 miliar ke BPRS Patriot, warganet pun bertanya:
“Ini modal untuk perkuat bank, atau perkuat komunikasi dengan Banggar?”
Dalam banyak kasus daerah, penyertaan modal bank sering dipakai untuk, mempercantik laporan ke OJK, memperkuat modal inti, dan memperkuat relasi antara pejabat bank dan pejabat anggaran.
Modus klasik yang ditemukan Kejaksaan di berbagai daerah?
Dana disetor ke BUMD, lalu mengalir kembali dalam bentuk paket-paket atau fee politik.
Syariah?
Ya… syariah versi “yang penting cair”.
3. PT MITRA PATRIOT – BUMD SERBAGUNA, SERBAGU…NA AKAL-AKALANNYA
BUMD jenis multi-usaha seperti ini paling sering masuk radar aparat.
[cut]
Beberapa contoh nasional:
PT Tirta Pakuan Bogor pernah disorot akibat penyertaan modal tanpa kajian memadai.
PT Migas Cepu Jatim (BUMD) tersandung skandal karena dana penyertaan modal “dibungkus” proyek yang tidak pernah jalan.
PT Jamkrida Jabar sempat bermasalah dengan penggunaan modal tidak sesuai peruntukan.
Jenis BUMD serbaguna memang paling lincah, kadang lebih lincah dari tupai yang sedang dikejar buaya.
Karena tidak punya jenis layanan yang jelas, penyertaan modalnya sering jadi ruang kreatif para aktor anggaran.
Di Bekasi, PT Mitra Patriot kebagian Rp7 miliar. Rakyat pun terheran-heran.
“Ini untuk usaha apa? Parkir, perdagangan, atau parkir uang?”
Di banyak kasus, penyertaan modal BUMD non-teknis sering dijadikan sarana menaruh 'modal politik', wadah proyek-proyek kecil untuk balas jasa, dan lahan empuk untuk success fee 5–15%.
KOK BISA TERJADI?
Karena Sistemnya Mendukung Dramanya
Penyertaan modal BUMD di banyak daerah ibarat drama Korea.
Mulai dari rapat TAPD yang penuh diplomasi halus, dilanjut rapat Banggar yang penuh 'interupsi strategis', ditutup pengesahan yang kadang cepat banget kaya flash sale.
Di beberapa kasus nyata, seperti di Jawa Timur, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Tenggara, KPK menemukan pola yang sama:
“Pokoknya kalau mau lolos, ada biaya lobi.”
Besaran success fee biasanya: 5–15% dari nilai penyertaan modal.
Kalau dipakai pola umum itu, untuk Kota Bekasi:
Total modal: Rp27 miliar
Dugaan fee: Rp1,3 – 4 miliar
Tentu ini hanya analisa humoris, bukan dakwaan. Tapi history doesn’t lie: daerah lain pernah begitu, sehingga publik wajar curiga.
DRAMA YANG SELALU BERULANG
Dari PDAM sampai BPRS, dari BUMD serbaguna sampai serbagu-tingkah, penyertaan modal selalu punya satu karakter penting:
“Tangan-tangan tak terlihat yang ingin ikut mandi duit.”
Kota Bekasi kini berada di panggung yang sama. Bedanya, penonton sudah makin cerdas dan jeli. Setiap miliar yang cair akan dibaca sebagai “modal untuk kerja”… atau “modal untuk berkomunikasi”.
Yang jelas, bila success fee itu benar-benar ada, biasanya ujungnya hanya dua:
1. OTT, atau
2. Off The Record—alias tetap jadi rahasia dapur.
Ditulis; Tim Redaksi




