Pasca Reformasi Proses Demokrasi Belum Hasilkan Pemimpin Sejati

Redaktur author photo




inijabar.com, Karawang- Pengamat sosial politik, ekonomi dan bisnis Heigel mengatakan,  rusaknya demokrasi di Indonesia akibat pembiaran terhadap politik uang, money politics. Sabtu (12/12/2020).


"Padahal pasca Reformasi 1998 harapan kita Demokrasi di Indonesia semakin membaik, namun tak kunjung meningkat. Kita tidak bertahan malah saling sikut berebut kekuasaan, segala cara dihalalkan. Terlihat masih dibiarkannya perbuatan money politics dalam Pilkada," katanya.


Heigel khawatir hal ini berlanjut terus, maka pelaksanaan Pilkada memilih Bupati-Wabup, Anggota DPRD sebagai implementasi pelaksanaan sistem Demokrasi Pancasila tidak menghasilkan pemimpin yang benar-benar kehendak rakyat sejati, yaitu melayani rakyat.


Heigel mengkritik regulator atau pun institusi pelaksana maupun penjaga ketertiban Pemilu yang melakukan pembiaran terhadap oknum yang dengan sengaja dan terang-terangan melakukan politik uang.


"Harusnya regulator pelaksana Pemilu menjaga Pemilu yang jujur, adil dan bersih. Alasan memberi "Uang Cendol", bagi-bagi sembako sebelum pemilihan, serangan fajar merusak konsep esensi Pemilu, yaitu adu konsep dalam pembangunan yang tertuang dalam visi-misi paslon.


Lebih jauh Heigel mengatakan, kampanye hitam seperti ini merusak kejernihan masyarakat pada akhirnya dalam memilih pemimpin mereka kelak. "Stagnan demokrasi kita kalau seperti ini terus dibiarkan," katanya.


Politik Uang Pembunuh Demokrasi


Melihat terjadinya praktik politik uang atau money politics di dalam pelaksanaan Pemilukada ibarat melihat Vampire penghisap darah. Apabila tidak diperangi akan mematikan demokrasi itu sendiri.


Vampire itu bernama politik uang yang sifatnya hanya menghisap dan merusak demokrasi. Vampire itu menular, menggigit satu menjadi dua, menggigit dua menjadi empat dan berlipat seterusnya. Apabila dibiarkan terus-menerus maka semua sistem akan hancur.


Karena tidak ada pendidikan politik yang moralis kepada semua elemen, jika contoh buruk money politics secara terus-menerus terjadi akan membunuh demokrasi. Terutama kepada pemilih pemula yang akan meneruskan proses demokrasi nanti. Sebab Pemilu dan Pilkada sebuah proses yang terus bergulir. Pendidikan politik masyarakat tidak berhenti sampai selesainya Pemilukada 9 Desember ini saja.


Menurut Heigel, kalau hanya mengandalkan regulasi saja tidak mungkin, sebab regulasi dibuat oleh partai politik dan politisi. Apabila terus terlembagakan maka demokrasi akan berubah menjadi praktik yang kapitalistik, pemilik modal, dengan uang sponsor yang besar saja yang bisa menang.


Inti dari konsep Demokasi berasal dari kata Demos (rakyat) yang berarti suara rakyat atau suara mayoritas, suara terbanyak, adalah kebenaran.


"Misalnya 100 orang berkumpul di dalam kelas diberikan hak voting, di atas meja mereka melihat sepotong kue, bukan "batu". Tapi kemudian 70 orang dibayar masing-masing Rp 25 ribu dengan syarat mengatakan yang di lihat di atas meja itu "batu" bukan  kue.


Hasil voting-nya? Yang mengatakan di atas meja itu "batu" 70 persen, dan yang mengatakan di atas meja itu kue hanya 30 persen. Suara terbanyak mayoritas mengatakan "batu" yang menang.


Berada dalam dunia politik bukan tentang benar atau salah melainkan tentang menang dan kalah. Meski masih waras, haqqul yaqin yang dilihatnya sepotong kue tapi hanya 30 persen minoritas jumlahnya, kalah.


Money politics sudah bukan hal yang baru lagi bagi para pelopor politik. Money politics bahkan sudah dijadikan sebagai jalan untuk memenangkan politik untuk partai-partai atau oknum-oknum yang curang.


Namun, money politics tidak hanya diberikan kepada mereka yang memiliki hak suara saja, tetapi juga diberikan kepada pemegang kekuasaan rakyat. Ini yang menyebabkan kekuasaan sudah bukan di tangan rakyat lagi, melainkan di tangan "uang", sehingga kedaulatan bukan untuk rakyat melainkan untuk "pemilik uang" yang jadi pemodal.


Dampak dengan adanya money politics dapat merusak bangsa. dalam prakteknya money politics merusak sistem demokrasi di Indonesia, dan menyebabkan demokrasi yang sakit atau tidak stabil.


Demokrasi yang harusnya "bebas" menjadi tidak bebas lagi, hanya karena pembelian hak suara tersebut. Kedaulatan yang seharusnya milik semua orang, sekarang hanya menjadi pemilik uang. Selain itu, praktek money politics di sini juga dapat merusak moral demokrasi.


Karena rakyat memilih pemimpin bukan lagi karena asas kepemimpinannya, bukan karena kinerjanya, bukan karena visi dan misinya, melainkan karena uang yang diberikan untuk menambah hak suara demi kepentingan oknum politisi yang haus kekuasaan. Bahkan hukum dan moral ditundukkan.


Dalam dunia politik masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik atau hak ikut serta dalam politik, karena kita menganut sistem demokrasi yang pada prinsipnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat menurunkan moral bangsa, karena masyarakat memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa.


Kaum intelektual memang salah satu yang harus menyelesaikan persoalan tersebut, namun perlu digaris bawahi sebab kaum intelektual sering disebut sebagai agen perubahan.


Manusia harus punya tolok ukur tentang kebenaran dan moral, dengan lewat akal. Ketika cara demokratis palsu itu berhasil tanpa perlwanan dan diperjualbelikan tanpa malu maka saat itulah demokrasi itu jadi berlawanan dengan kebenaran. Demokrasi memicu ketidakstabilan politik.


"Jadi, kita tidak bisa menyombongkan diri sebagai pemimpin yang langsung dipilih rakyat dengan cara demokratis jika sistem itu sendiri bahkan tidak dipilih rakyat," ungkap Heigel.

Share:
Komentar

Berita Terkini