Yandri Susanto Sebut KH Abdul Chalim Majalengka Sudah Layak Jadi Pahlawan Nasional

Redaktur author photo




inijabar.com, Majalengka- Tokoh pendiri PUI (Persatuan Umat Islam) KH.Abdul Chalim dinilai sudah layak dijadikan Pahlawan Nasional. 


Hal tersebut mengemuka saat acara Seminar Nasional Pengusulan Calon Pahlawan Nasional KH Abdul Chalim yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) asal Kecamatan Leuwimunding Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat, bertempat di Gedung Yudha Abdi Karya Pemkab Majalengka.Kamis (30/3/2023)


Bupati Majalengka Karna Sobahi, mengatakan, saat ini Kabupaten Majalengka baru memiliki 1 orang tokoh Nasional yaitu KH Abdul Halim yang merupakan tokoh sekaligus pendiri ormas Persatuan Umat Islam (PUI) yang berada di Ponpes Santi Asromo.


Ketokohan KH Abdul Halim, menurut Sobahi, telah terbukti dan teruji berdasarkan hasil kajian layak menyandang sebagai  Pahlawan Nasional.

[cut]


“Sehingga, Pemerintah Kabupaten Majalengka mengadakan Seminar Nasional ini sebagai bagian dari syarat pengusulan gelar pahlawan nasional dari KH Abdul Chalim Leuwimunding,” ujar Bupati Majalengka Karna Sobahi, Kamis (30/3/2023).


Untuk itu Pemerintah Kabupaten Majalengka, lanjut Bupati, melalui Dinas Sosial telah membentuk Tim Peneliti Dan Pengkaji Gelar Daerah/TP2GD. Sejalan dengan tugas yang diembannya.


TP2GD yang telah dibentuk saat ini tengah melakukan proses penelitan dan pengkajian terhadap KH Abdul Chalim sebagai calon pahlawan nasional dari Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat pada tahun 2023.


“Diharapkan dengan adanya seminar perjuangan KH. Abdul Chalim akan menambah Pahlawan Nasional bagi Kabupaten Majalengka,” ungkapnya.

[cut]


Dengan pemikiran, pergerakan dan perjuangan keagamaan, kebangsaan, pendidikan, politik, ekonomi untuk kemerdekaan Republik Indonesia sosok KH. Abdul Chalim sudah pantas untuk menjadi Pahlawan Nasional.


Sementara Wakil Ketua MPR Republik Indonesia Yandri Susanto, yang membuka acara seminar menjelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Kiai Chalim sangat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah pendiri NU.


“Ia merupakan orang kepercayaan kedua ulama NU terkemuka tersebut. Sejarah lain pun mencatat bahwa Kiai Chalim memiliki peran dalam berdirinya Komite Hijaz dan NU,” jelasnya.


Dikatakan Yandri, di periode pertama kepengurusan PBNU, Kiai Abdul Chalim dipercaya sebagai Katib Tsani (Sekteratis Dua). Kiai Chalim menjalankan amanahnya ini bersama KH Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi Katib Awal (Sekretaris Pertama). Sedangkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari saat itu menjadi Rais Akbar.

[cut]


Siapa sesungguhnya KH Abdul Chalim hingga namanya tak banyak menghiasi halaman buku sejarah dan kurang dikenal dalam ingatan kolektif masyarakat? Padahal, ia punya peran penting atas terselenggaranya Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 yang kemudian melahirkan NU, ormas Islam terbesar di Indonesia.


Ia dilahirkan di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, pada 1898 tanpa catatan tanggal kelahiran. Karena lahir di Leuwimunding, ia kemudian lebih dengan nama KH Abdul Chalim Leuwimunding. Ayahnya Kedung Wangsagama, seorang kepala desa yang sangat disegani warganya. Ibu bernama Nyai Satimah. KH Abdul Chalim pernah menikah dengan empat orang perempuan dan memiliki 21 putra-putri, salah satunya adalah KH Asep Saifuddin Chalim, pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang juga Ketua Umum pengurus Pusat Persatuan Guru NU (Pergunu).


istri pertama KH Abdul Chalim adalah Nyai Hj Nur. Dari pernikahan pertama ini, KH Abdul Chalim dikaruniai seorang anak yang diberi nama Siti Rahmah. Kemudian, KH Abdul Chalim menikah dengan Nyai Mahmudah asal Cilimus, Kuningan dan melalui pernikahan ini dikaruniai beberapa anak, yakni Nyai Hj Chomsatun, Nyai Hj Mafruchat, Agus Hafidz Qawiyyun, Nyai Rofiqoh, HAhmad Mustain, Nyai Nashihah, dan Mustahdi Chalim. Setelah itu, KH Abdul Chalim menikah dengan Nyai Siti Qana’ah asal Plered, Cirebon yang kemudian dikaruniai tujuh anak, yaitu Nyai Humaidah, Nyai Muntafiah, Nyai Hudriah, H Mustafid Chalim, Nyai Farikhah, Nyai Halimah, dan KH Asep Saifuddin. Kemudian, istri terakhirnya adalah Nyai Hj Siddiqoh melahirkan seorang putri bernama Siti Halimah.


Saat remaja, KH Abdul Chalim bersekolah di HIS Cirebon. Karena itu ia mampu menguasai bahasa Belanda. Namun juga mahir berbahasa Arab. Setamat HIS, ia melanjutkan pendidikan ke berbagai pondok pesantren di Cirebon. 

[cut]



Di antaranya Pesantren Trajaya (Majalengka), Pesantren Kedungwuni (Kadipaten), dan Pesantren Kempek (Cirebon). Pada 1914, ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, KH Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz selama dua tahun. 


Di sana ia sempat menimba ilmu secara langsung dari ulama-ulama masyhur, seperti Abu Abdul Mu’thi, Syaikh Ahmad Dayyat, dan Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani yang lebih sohor dengan sebutan Imam Nawawi Banten.


Pada 1922, KH Abdul Chalim kemudian mengembara dari kediamannya di Leuwimunding ke Surabaya dengan berjalan kaki selama empat belas hari untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. 


Di Surabaya, atas jasa Kiai Amin Peraban, KH Abdul Chalim bertemu kembali dengan Kiai Wahab Jombang, senior sekaligus gurunya selama menuntut ilmu di tanah Hijaz. Karena hubungan baik mereka, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan yang bertempat di Kampung Kawatan VI Surabaya.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini