Menyelami Berulangnya Kekerasan terhadap Anak: Butuh Solusi Sistemik

Redaktur author photo


Ilustrasi

KEKERASAN pada anak layaknya fenomena gunung es, setiap tahun kasusnya semakin meningkat dan ini hanya bagian yang terlaporkan, kita tak tahu mungkin saja masih banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tak tercatat di lembaga perlindungan anak. 

Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan kasus penganiayaan terhadap anak berusia 3.5 tahun oleh susternya sendiri. Kasus ini semakin menambah daftar panjang kekerasan pada anak di Indonesia. 

Padahal terkait hal ini banyak pihak yang bersuara dan siap melindungi anak-anak korban kekerasan, lembaga-lembaga yang berdiri di garis depan perlindungan anak pun tak hanya satu atau dua, bahkan pemerintah sendiri telah menerbitkan UU Perlindungan Anak yang kini telah mengalami perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002 menjadi UU No. 35 Tahun 2014. Namun mengapa kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat? Apa yang salah?

Problematika Sistemik

Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023. Kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di tanah air sepanjang tahun lalu yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. (Dataindonesia.id, 23 Februari 2024). Sedangkan pada tahun 2022 ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan. (Dataindonesia.id, 7 Maret 2023). 

Dari data ini, kasus kekerasan pada anak memang menurun dari tahun 2022 ke 2023, namun hal ini tak menghilangkan pekerjaan rumah kita karena bagaimanapun jumlah tersebut adalah jumlah yang besar sementara anak-anak adalah penerus masa depan bangsa dan peradaban. 

Bayangkan jika setiap tahun terus berulang, maka akan seperti apa masa depan bangsa ini? Cita-cita Indonesia emas 2045 akan menguap begitu saja. 

[cut]


Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan sekolah dan rumah menjadi tempat terjadinya proses kekerasan anak paling tinggi dilakukan. Terkait pelaku, ia menyatakan sosok yang paling dikenal oleh anak menjadi faktor yang paling memungkinkan melakukan kekerasan. 

Sedangkan berbicara faktor mengapa kekerasan pada anak bisa terjadi, ia menyatakan kemiskinan dan ketidakmampuan mengasuh orang tua menjadi hal yang harus diperhatikan. Faktor lain yang mendukung kekerasan pada anak adalah rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan mental. (detik.com, 13 November 2023). 

Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak yang disebutkan oleh Sekretaris Kemen PPPA diatas merupakan problem tersistem. Sistem sekuler-kapitalisme adalah akar dari masalah ini. Lantas bagaimana kaitannya? Kita akan coba urai satu persatu. 

Kemiskinan menjadi salah satu faktor kekerasan terhadap anak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sistem ekonomi kapitalisme yang hanya bertumpu pada produksi tidak memperhatikan distribusi kekayaan sementara produksi dari tahun ke tahun terus meningkat, belum lagi dengan adanya dolar sebagai mata uang internasional serta menjadi mata uang cadangan negara-negara di dunia, bila cadangan dolar di dalam negeri berkurang maka nilai tukar akan meningkat akibatnya harga-harga akan semakin naik. 

Bayangkan ketika harga-harga semakin naik, produksi terus bertambah, kebutuhan semakin banyak dan mahal sementara tak ada distribusi kekayaan, dan sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat manusia akan mudah mengidap kesehatan mental, mudah marah. Ketika tak ada pelampiasan maka anak akan menjadi objek kemarahan. 

Ketidakmampuan orang tua dalam mengasuh anak, hal ini berkelindan dengan tingkat pendidikan orang tua dan kurikulum pendidikan. Sistem kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai bagian dari industri bukan sebagai kewajiban negara untuk menjamin pendidikan bagi setiap warga negaranya. Pendidikan berkualitas dirasakan banyak masyarakat sangat mahal. 

[cut]

Ilustrasi

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan yang mengadopsi ideologi AS, yakni neo-liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi Pemerintah—neo-liberalisme justru sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004). 

Sehingga tak semua masyarakat mampu mengakses pendidikan, akhirnya masyarakat tak mendapatkan edukasi bagaimana pola asuh yang baik. Selain itu, kurikulum pendidikan sekularistik menghasilkan output sekuler yang fokus pada dunia kerja sebagaimana arahan dari pendidikan kapitalistik. 

Alhasil generasi hanya tahu bagaimana cara untuk mendapatkan uang alih-alih pola asuh yang baik sehingga ketika mereka sudah menikah dan memiliki anak, mereka buta terhadap tata cara pengasuhan anak. Apalagi anak-anak berbeda generasi dan karakter dari orang tuanya sehingga orang tua perlu beradaptasi dan belajar bagaimana cara mendidik anak di masa kini. 

Kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan pada anak yang mendominasi di tahun 2023. Dalam atmosfer sekularisme, manusia hidup tanpa didasari kesadaran akan hubungan dengan Allah SWT sehingga lahirlah manusia-manusia liberal yang senantiasa mengikuti hawa nafsu mereka. Di sisi lain, pornografi hari ini menjelma menjadi industri yang menghasilkan cuan didukung dengan digitalisasi sehingga semakin menyebar dan mudah diakses oleh masyarakat. Syahwat menjadi teman sehari-hari, tak ayal anak pun menjadi target. Naudhubillah.

Sementara UU Perlindungan Anak yakni UU No. 35 Tahun 2014 seperti tak bisa berbuat banyak. Lihat saja sanksi terhadap pelaku dalam UU perlindungan anak, misalnya: Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak melarang setiap orang untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta; Sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berdasarkan Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tenagntang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 

[cut]


Apabila kita cermati sanksi-sanksi yang diberlakukan atas kekerasan terhadap anak tak menyentuh akar permasalahan. Kita sepakati pada pembahasan di paragraf sebelumnya bahwa kekerasan terhadap anak merupakan problematika sistemik sehingga harus diselesaikan secara sistemik. Di sisi lain sanksi berupa penjara ataupun denda tak memberikan efek jera apalagi institusi penegak hukum dalam sistem sekularis-kapitalis mudah untuk disuap. 

Demikianlah, kekerasan terhadap anak semakin hari semakin meningkat karena penerapan sistem sekuler-kapitalis sementara upaya pencegahan yang dilakukan pemerintah bersifat pragmatis tanpa menyentuh akar permasalahan. 

Lantas bagaimana langkah untuk menyelesaikan problematika ini? Karena penyebabnya mengakar maka perlu dibenahi dari akarnya yakni dari sistem kehidupan itu sendiri. Ketika sistem kehidupan ala Kapitalisme – sekularisme tak mampu menjadi solusi atas suatu problematika maka kita harus beralih pada sistem kehidupan lain yakni sistem yang berasal dari Allah SWT, Al Khaliq Al Mudabbir, sistem Islam. 

Islam Melindungi Anak dari Kekerasan.

Islam memandang anak adalah generasi masa depan penerus peradaban yang harus dijaga dan dididik dengan baik sehingga islam akan menerapkan aturan terkait penjagaaan terhadap anak, tentumya aturan ini akan terintegrasi dengan aturan lainnya. Negara adalah benteng sesungguhnya yang akan melindungi generasi. 

[cut]


Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, meliputi berbagai aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung, antara lain melalui berbagai pengaturan berikut:

Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan Negara menyediakan lapangan kerja yang luas dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Media yang memuat pornografi, kekerasan, ide elgebete dan segala yang merusak akhlak dan agama dilarang untuk terbit dan diberi sanksi bagi pelaku pelanggaran ini. 

Masyarakat yang bertakwa akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran.  Karena itu suasana ketakwaan dibangun di tengah umat melalui berbagai kajian agama secara umum.  Budaya amar makruf nahi mungkar dihidupkan sehingga orang merasa sungkan untuk melakukan perbuatan maksiat. 

Negara menerapkan sistem sanksi sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah Sang Hakim. Sanksi tegas, yang menimbulkan efek jera, diberlakukan bagi para pelaku pelanggaran hukum syariah. Sistem sanksi ini akan mengerem upaya kekerasan terhadap anak dengan efektif. Berbagai pengaturan yang diterapkan oleh Negara akan membangun perlindungan yang utuh untuk anak-anak.  

Orangtua, keluarga dan masyarakat dibangun sebagai benteng-benteng perlindungan anak secara berlapis. Benteng terluarnya adalah Negara. Dengan mekanisme ini, anak-anak akan terlindungi dari segala bentuk kekerasan.  Mereka tumbuh dan berkembang sebagai pribadi Muslim yang tangguh, mutiara-mutiara di tengah umat, pejuang dan pembangun, dalam lindungan Negara.

[cut]

Ilustrasi

Negara yang mampu melakukan fungsi besar itu, mau tidak mau adalah negara yang kuat, memiliki ideologi yang dipegang erat, ideologi yang terpancar dari suatu akidah yang tidak lagi goyah.  Negara itu adalah Negara yang menerapkan islam secara menyeluruh (kaffah). 

Penulis: Annisa Aisha-Pemerhati Kebijakan Publik

Share:
Komentar

Berita Terkini