Akhirnya Worldcoin Dibekukan, Pakar Tech AI Ungkap Risiko Scan Iris

Redaktur author photo

inijabar.com, Kota Bekasi - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), akhirnya membekukan izin operasional Worldcoin dan World ID, setelah fenomena antrean panjang warga untuk melakukan pemindaian iris mata viral di sejumlah lokasi di Jabodetabek, terutama Bekasi.

Dalam beberapa hari terakhir, ribuan warga rela mengantre berjam-jam di ruko-ruko tempat gerai World beroperasi, hanya untuk mendapatkan token kripto yang diklaim bernilai hingga Rp800 ribu.

"Masyarakat berbondong-bondong melakukan scan mata, tanpa memahami risiko data biometrik yang mereka serahkan," ujar Alexander Tendo Argi Pratama, seorang Tech AI dan Dosen Praktisi di Universitas Indonesia (UI) melalui keterangan tertulis, Selasa (6/5/2025).

Menurut pria yang akrab disapa Argitendo itu, Worldcoin merupakan proyek futuristik dari CEO OpenAI, yang mengumpulkan data biometrik pengguna untuk dijadikan World ID dengan imbalan token kripto Worldcoin (WLD).

"Yang discan oleh alat bernama Orb itu sebenarnya adalah iris alias selaput pelangi mata, bukan retina yang ada di belakang bola mata. Teknologi iris recognition memang sudah lama dipakai untuk keamanan karena pola iris tiap orang unik seperti sidik jari," jelasnya.

Argitendo memaparkan, bahwa alat pemindai iris yang dinamakan Orb tersebut dilengkapi komponen canggih, mulai dari kamera khusus, lensa custom, optical filter, hingga Nvidia Jetson Xavier NX.

"Menariknya, jika tujuannya menjangkau semua manusia di bumi, desain Orb justru kontraproduktif. Bentuknya lebih mirip alat pengintai dibanding scanner biasa," papar Argitendo.

Pihak Worldcoin mengklaim bahwa privasi pengguna tetap terjamin karena gambar iris dikonversi menjadi kode terenkripsi dan langsung dihapus dari Orb. Mereka juga menyebut menggunakan teknologi "zero-knowledge proof" agar bisa melakukan verifikasi tanpa mengungkap data mentah.

"Semua klaim yang meminta kita percaya penuh ini sulit diterima di tengah fakta bahwa banyak regulator yang tidak yakin. Misalnya otoritas Spanyol sampai memerintahkan semua data iris yang sempat dikumpulkan World untuk dihapus demi privasi," kata Argitendo.

Fenomena antrean Worldcoin di Indonesia menuai kritik, karena targetnya adalah masyarakat di negara berkembang dengan tingkat literasi digital yang masih rendah.

"Di Indonesia, masalah utamanya adalah minimnya pemahaman. Banyak yang mendaftar World hanya karena tergiur Rp800 ribu tanpa benar-benar tahu apa itu World ID atau risiko dari scan iris," ungkap Argitendo.

"Yang antre pun beragam, dari ibu rumah tangga, ojol, buruh, sampai pelajar. Worldcoin bilang privasi aman dan ada whitepaper, tapi jika pengguna saja tidak paham ke mana data mereka pergi, transparansi itu menjadi dipertanyakan," tambahnya.

Brazil dan Kenya sudah lebih dulu melarang praktik Worldcoin, karena dianggap sebagai eksploitasi privasi dengan imbalan kripto. Di Sudan, masyarakat bahkan dibujuk dengan hadiah AirPods.

"Identitas digital memang krusial di dunia yang penuh AI dan deepfake. Worldcoin punya visi besar, tapi jalannya masih kabur. Solusi masa depan tetap butuh etika hari ini," imbu Argitendo.

Ia menyatakan, kemungkinan pembekuan izin yang dilakukan pemerintah, adalah untuk melindungi data pribadi warga negara Indonesia, terutama data biometrik yang sifatnya permanen dan tidak bisa diganti seperti password.

"Berbeda dengan password, iris melekat seumur hidup. Jika data bocor, kita tidak bisa mengganti 'password' mata kita," pungkas Argitendo.

Dilansir dari whitepaper, Worldcoin sendiri mengklaim bahwa visi mereka untuk menciptakan sistem verifikasi, yang membedakan manusia asli dari entitas AI melalui World ID, serta menjadi fondasi Universal Basic Income (UBI) yang didanai oleh ekonomi AI di masa depan.(Pandu)

Share:
Komentar

Berita Terkini