Editorial: Tunjangan Fantastis DPRD Bekasi dan Ujian Integritas Kejati Jabar

Redaktur author photo

 

Ilustrasi

KEJAKSAAN Tinggi Jawa Barat kini tengah mengurai benang kusut dugaan penyimpangan anggaran tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Kasus yang menyeruak sejak temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat ini kembali menyorot persoalan klasik: kesenjangan antara kebijakan dan rasa keadilan publik.

Berdasarkan hasil audit, besaran tunjangan perumahan yang diterima para legislator dinilai jauh melampaui harga pasar yang wajar. Ketua DPRD disebut menerima Rp42,8 juta per bulan, wakil ketua Rp42,3 juta, dan anggota DPRD Rp41,8 juta. Padahal, hasil survei BPK menunjukkan kisaran harga sewa rumah layak di wilayah Bekasi hanya antara Rp15 juta hingga Rp29 juta per bulan.

Peraturan Bupati Bekasi Nomor 196 Tahun 2022, yang menjadi dasar penetapan angka tersebut, kini menjadi sorotan. BPK menilai Sekretariat DPRD selaku pengguna anggaran tidak memperhitungkan harga sewa yang rasional serta standar luas rumah yang seharusnya menjadi acuan. Temuan itu membuka celah dugaan pemborosan anggaran bahkan potensi korupsi.

Kejati Jabar memastikan penyidikan masih berjalan. Belum ada penetapan tersangka, namun sejumlah legislator dan pejabat sekretariat telah diperiksa. Nilai kerugian negara tengah dihitung, dan publik menanti kejelasan dari proses hukum yang sedang digulirkan.

Di tengah penyelidikan, suara masyarakat Kabupaten Bekasi pun menggema. Mahasiswa dan kelompok sipil menilai tunjangan fantastis tersebut mencederai rasa keadilan, terutama ketika banyak kebutuhan publik yang masih terpinggirkan. Di mata publik, kebijakan seperti ini bukan sekadar salah hitung, melainkan potret buruk tata kelola keuangan daerah yang abai terhadap empati sosial.

Kasus tunjangan DPRD Bekasi seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk meninjau ulang seluruh regulasi tunjangan pejabat publik. Prinsip kepatutan, kewajaran, dan transparansi harus menjadi dasar setiap kebijakan yang bersumber dari uang rakyat.

Kejati Jabar kini memikul tanggung jawab besar. Publik menuntut penegakan hukum yang transparan, tanpa pandang bulu. Jika benar terdapat kelebihan pembayaran dan pelanggaran prosedur, maka harus ada pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika tidak ditemukan unsur pidana, temuan BPK tetap harus dijadikan bahan evaluasi kebijakan agar kesalahan serupa tidak berulang.

Tunjangan perumahan DPRD Bekasi bukan sekadar soal angka, melainkan soal moral dan tata kelola. Kasus ini menguji sejauh mana aparat penegak hukum dan pejabat daerah menempatkan kepentingan publik di atas kenyamanan pribadi.

Share:
Komentar

Berita Terkini