![]() |
| Bupati Ciamis Herdiat Sunarya |
KETIADAAN wakil bupati membuat kepemimpinan Herdiat Sunarya di Kabupaten Ciamis berjalan timpang. Beban koordinasi dan pengawasan menumpuk di tangan satu figur, berpotensi memperlambat kinerja birokrasi dan melemahkan komunikasi politik daerah.
Kinerja Herdiat Sunarya dan Beban Kepemimpinan Tanpa Wakil
Kepemimpinan Bupati Ciamis Herdiat Sunarya saat ini menghadapi ujian tersendiri. Sejak tidak memiliki wakil bupati, roda pemerintahan di Ciamis tampak berjalan dengan beban yang terpusat pada satu figur kepala daerah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: sejauh mana efektivitas kinerja pemerintah daerah dapat terjaga tanpa adanya pendamping resmi?
Dalam sistem pemerintahan daerah, wakil bupati memiliki peran penting sebagai penghubung, pengawas, sekaligus pelaksana tugas-tugas yang tidak dapat dijalankan langsung oleh bupati. Ketika posisi itu kosong, konsekuensi administratif dan politis pun tidak bisa dihindari.
Beban Koordinasi yang Terpusat
Ketiadaan wakil membuat hampir semua urusan pemerintahan dari koordinasi lintas dinas, pengawasan proyek, hingga urusan publik, harus ditangani langsung oleh bupati. Dalam banyak kasus, ini memperlambat pengambilan keputusan dan membuat birokrasi menjadi kaku.
Sejumlah kebijakan strategis yang seharusnya bisa dijalankan paralel, akhirnya menunggu arahan langsung dari Herdiat.
Lemahnya Representasi Politik dan Diplomasi Lokal
Selain urusan administratif, absennya wakil juga memengaruhi kinerja politik pemerintahan daerah. Biasanya, wakil bupati menjadi figur yang menjembatani hubungan antara kepala daerah dengan DPRD, partai politik, dan masyarakat.
Tanpa figur pendamping, komunikasi politik menjadi terpusat dan berpotensi menimbulkan jarak antara pemerintah dan stakeholder lokal.
Fungsi Pengawasan dan Stabilitas Pemerintahan Melemah
Dalam konteks pengawasan, dua kepala daerah seharusnya dapat saling mengontrol pelaksanaan program dan penggunaan anggaran. Tanpa wakil, fungsi ini melemah.
[cut]
Hal ini dapat membuka celah bagi inefisiensi birokrasi dan kurangnya transparansi dalam implementasi kebijakan publik.
Di sisi lain, ketiadaan wakil juga membuat regenerasi kepemimpinan daerah menjadi rapuh. Tidak ada figur pelapis yang siap mengambil alih bila bupati berhalangan, yang berarti stabilitas pemerintahan Ciamis bergantung sepenuhnya pada satu orang.
Perlu Evaluasi Sistemik
Kondisi ini bukan sekadar persoalan personal, melainkan persoalan tata kelola pemerintahan. Pemerintah daerah membutuhkan sistem kepemimpinan yang berlapis, bukan hanya satu figur sentral.
Selama posisi wakil bupati dibiarkan kosong, efektivitas kebijakan dan komunikasi pemerintahan Ciamis akan terus menghadapi kendala struktural.
Herdiat Sunarya dikenal tegas dan berpengalaman, namun tanpa dukungan wakil bupati, beban kepemimpinan akan tetap berat dan berisiko memperlambat pencapaian visi pembangunan Ciamis ke depan.
Program Herdiat Sunarya yang Menuai Resistensi
Sejumlah program pembangunan di bawah kepemimpinan Bupati Ciamis Herdiat Sunarya dinilai menghadapi resistensi. Mulai dari kebijakan efisiensi anggaran hingga reformasi birokrasi, sebagian mendapat penolakan dari kelompok masyarakat dan aparatur sendiri.
Kebijakan Efisiensi yang Tidak Populer
Salah satu ciri pemerintahan Herdiat Sunarya adalah pengetatan dan efisiensi anggaran daerah. Program ini dijalankan untuk menjaga keseimbangan fiskal Ciamis, terutama di tengah keterbatasan pendapatan asli daerah (PAD).
[cut]
Namun, kebijakan efisiensi ini memunculkan resistensi dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) dan pelaku ekonomi lokal. Pemangkasan belanja perjalanan dinas, kegiatan seremonial, dan hibah dinilai menurunkan perputaran ekonomi mikro di tingkat lokal.
Reformasi Birokrasi dan Mutasi Pejabat
Langkah Herdiat untuk melakukan perombakan struktur birokrasi dan mutasi pejabat juga menimbulkan gesekan di internal pemerintahan. Upaya menempatkan pejabat berdasarkan kinerja dan integritas sempat memunculkan penolakan terselubung dari kelompok yang merasa tersingkir.
Sebagian menilai kebijakan mutasi dilakukan tanpa komunikasi politik yang cukup, sehingga memicu ketegangan di lingkungan ASN Kabupaten Ciamis.
Kebijakan Penataan Pasar dan PKL
Program penataan pasar tradisional dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) menjadi agenda yang kerap memicu reaksi publik. Meski bertujuan menata wajah kota agar lebih tertib dan bersih, sebagian pedagang menilai kebijakan itu tidak disertai solusi alternatif, seperti penyediaan lokasi relokasi yang layak.
Akibatnya, muncul benturan antara niat pemerintah menjaga ketertiban dan kebutuhan ekonomi masyarakat kecil yang merasa kehilangan ruang hidupnya.
Pembatasan Hibah Ormas dan Kegiatan Sosial Politik
Kebijakan pembatasan bantuan hibah untuk organisasi kemasyarakatan dan kegiatan sosial politik juga menjadi sumber resistensi. Pemerintah daerah beralasan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana publik. Namun bagi sebagian ormas dan kelompok pemuda, kebijakan tersebut dianggap mengekang partisipasi sosial masyarakat.
Program Infrastruktur Berbasis Prioritas
Meski infrastruktur menjadi program unggulan, kebijakan prioritas pembangunan jalan dan jembatan di wilayah tertentu memunculkan isu ketimpangan antar-kecamatan. Warga di daerah selatan dan perbatasan menilai pembangunan masih berpusat di wilayah perkotaan.
[cut]
Padahal, daerah-daerah tersebut juga menjadi jalur penting bagi pergerakan ekonomi rakyat dan potensi wisata Ciamis.
Tantangan Konsolidasi Politik dan Sosial
Kepemimpinan Herdiat Sunarya memperlihatkan ketegasan dalam menjaga disiplin anggaran dan tata kelola pemerintahan. Namun di sisi lain, kurangnya ruang dialog dan komunikasi politik yang terbuka membuat sejumlah programnya sulit diterima di lapangan.
Tanpa wakil bupati dan saluran komunikasi yang kuat, resistensi kebijakan berpotensi meningkat dan menghambat efektivitas pemerintahan daerah.
Herdiat dihadapkan pada dilema klasik: antara konsistensi pada tata kelola yang efisien, dan kebutuhan untuk tetap merangkul aspirasi masyarakat di bawah.
Editorial: Tim Redaksi






