![]() |
| Ilustrasi |
inijabar.com, Kabupaten Bekasi - Di tengah tuntutan publik akan birokrasi yang bersih dan profesional, Pemerintah Kabupaten Bekasi kembali menggelar seleksi terbuka jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) pada 2025.
Namun di balik jargon 'transparansi dan meritokrasi' dinamika di balik proses open bidding ini justru memunculkan tanda tanya: apakah benar-benar terbuka, atau sekadar formalitas birokrasi yang dibungkus kata 'seleksi'?.
Kondisi tersebut dikomentari pendiri LSM Jendela Komunikasi (Jeko) Bob. Menurut Bob, hasil akhir open bidding Sekda Kabupaten Bekasi akan menjadi barometer arah reformasi birokrasi daerah.
"Apakah panitia seleksi mampu menjaga integritas proses hingga tahap akhir. Ataukah publik kembali menyaksikan drama lama di mana jabatan tinggi menjadi hadiah politik terselubung?"tanya Bob. Kamis (13/11/2025)
Namun, lanjut Bob, satu hal pasti, kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika seleksi ini dijalankan dengan terbuka, adil, dan bebas intervensi.
Tiga Nama, Tiga Kekuatan
Panitia seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Pemkab Bekasi menetapkan tiga nama pejabat eselon II yang lolos tahap administrasi: Endin Samsudin (Kepala BKPSDM), Henri Lincoln (Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga), dan Iwan Ridwan (Kepala Bapenda).
Ketiganya merupakan pejabat karier internal yang telah lama malang melintang di birokrasi Bekasi.
Endin dikenal sebagai figur yang sangat memahami sistem kepegawaian dan regulasi ASN. Sebagai Kepala BKPSDM, ia terlibat langsung dalam mengatur pola mutasi, promosi, dan penilaian kinerja aparatur.
[cut]
Sementara Henri Lincoln membawa pengalaman teknis di bidang infrastruktur, sektor yang kerap menjadi ujung tombak citra pembangunan daerah. Adapun Iwan Ridwan dikenal dengan kedisiplinannya mengelola pendapatan daerah, terutama dalam meningkatkan kinerja pajak dan retribusi.
Namun, di luar ketiga nama itu, publik sempat bertanya-tanya: di mana sosok dari luar daerah yang disebut ikut mendaftar? Mengapa identitas mereka tak dipublikasikan secara jelas?
Proses yang Terbuka, tapi Masih Tertutup
Secara normatif, open bidding bertujuan memastikan jabatan Sekda diisi oleh aparatur terbaik tanpa campur tangan politik. Proses ini diatur dalam regulasi Kemenpan RB dan diawasi oleh Komisi ASN (KASN).
Namun, pada praktiknya, seleksi Sekda di daerah kerap menjadi arena tarik-menarik kepentingan.
Di Bekasi, indikasi itu mulai tampak ketika persyaratan khusus yang ditetapkan Pansel dinilai sebagian kalangan terlalu sempit. Beberapa pengamat menilai, syarat pengalaman jabatan dan rekam jejak tertentu seolah “mengunci” peluang kandidat dari luar struktur Pemkab.
Kritik juga muncul atas perubahan jadwal seleksi yang beberapa kali bergeser tanpa alasan transparan. Perubahan semacam ini membuka ruang spekulasi publik: apakah ada proses negosiasi di balik layar?
“Kalau benar-benar terbuka, masyarakat ingin tahu nilai asesmen, siapa assessor-nya, dan bagaimana kriteria penilaian. Jangan sampai seleksi ini hanya formalitas,” ujar seorang pengamat kebijakan publik di Bekasi dalam perbincangan dengan media.
Bupati dan Tekanan Politik
Dalam konteks politik lokal, posisi Sekda bukan jabatan teknis biasa. Ia adalah 'jantung birokrasi', pengendali seluruh perangkat daerah, sekaligus penghubung utama antara kepala daerah dan ASN.
Tak heran jika setiap kali jabatan ini kosong, selalu muncul aroma politik di sekelilingnya.
[cut]
Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang telah berulang kali menyampaikan komitmen untuk melaksanakan proses yang transparan dan sesuai merit system. Namun di lapangan, dinamika politik dan hubungan antarpejabat membuat posisi Sekda menjadi incaran strategis bagi banyak pihak.
Beberapa lembaga pengawas seperti Inspektorat dan aparat penegak hukum juga disebut turut memantau proses seleksi kali ini. Hal ini menyusul kekhawatiran publik akan praktik “jual beli jabatan” yang kerap mencuat di berbagai daerah.
Antara Profesionalisme dan Loyalitas
Di titik inilah dilema muncul: apakah Sekda nanti akan dipilih berdasarkan kompetensi atau loyalitas politik?
Bagi sebagian kalangan ASN, Sekda ideal adalah sosok yang bisa menjaga stabilitas birokrasi dan hubungan antar-OPD. Namun bagi elite politik, Sekda juga dipandang sebagai figur kunci yang bisa 'menjembatani kepentingan'.
Jika Endin Samsudin terpilih, publik bisa menilai arah kebijakan Bupati cenderung mengutamakan kesinambungan birokrasi internal.
Jika Henri Lincoln atau Iwan Ridwan naik, bisa jadi Bekasi ingin menonjolkan agenda pembangunan fisik atau penguatan pendapatan daerah sebagai prioritas utama.
Apapun hasil akhirnya, masyarakat berharap prosesnya benar-benar objektif, transparan, dan bebas tekanan. Sebab, citra reformasi birokrasi daerah bisa rusak jika jabatan Sekda ditentukan oleh faktor nonmerit.
Momentum untuk Perubahan
Seleksi Sekda 2025 sebenarnya adalah momentum emas bagi Pemkab Bekasi untuk menunjukkan komitmen terhadap good governance.
[cut]
Transparansi hasil asesmen, publikasi nilai kompetensi, dan keterlibatan pengawas independen bisa menjadi bukti nyata bahwa Bekasi mampu keluar dari bayang-bayang birokrasi lama.
“Publik ingin tahu siapa yang paling layak, bukan siapa yang paling dekat dengan kekuasaan,” kata seorang dosen administrasi publik dari salah satu universitas di Bandung.
Pernyataan itu menggambarkan sentimen umum di banyak daerah, keinginan agar jabatan strategis benar-benar diisi oleh pejabat profesional, bukan hasil kompromi politik.
Namun satu hal pasti: kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika seleksi ini dijalankan dengan terbuka, adil, dan bebas intervensi.(*)






