Perjuangan 1900 Buruh PT Kertas Leces: Dari Asap Pabrik ke Nyala Perlawanan

Redaktur author photo
Kuasa hukum eks Karyawan PT.Kertas Leces saat berada di Pengadilan Negeri Kelas 1A Kemayoran Jakarta Pusat

ASAP yang padam, harapan yang menyala begitu lah semangat yang ada di dada 1900 mantan buruh PT.Kertas Leces yang belum juga dibayarkan hak-hak nya sejak perusahaan tersebut dinyatakan pailit.

Sejarah mencatat di bawah bayang pabrik tua di Probolinggo, Jawa Timur, berdirilah PT Kertas Leces, saksi sejarah industri pulp dan kertas milik negara yang dulu menjadi kebanggaan rakyat. 

Namun di balik mesin-mesin raksasa itu, tersimpan kisah panjang para buruh yang telah puluhan tahun mengabdi, kini berjuang bukan untuk keuntungan, tapi untuk mendapatkan hak mereka sendiri.

Ketika pabrik berhenti beroperasi dan status perusahaan menjadi tidak jelas, ratusan buruh kehilangan pekerjaan, tanpa pesangon yang layak, tanpa kepastian masa depan.

Akar Masalah: Ketika Mesin Berhenti, Hak pun Terhenti

Sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya, PT Kertas Leces mengalami kemerosotan tajam. Proses restrukturisasi tidak berjalan transparan.

Buruh, yang selama bertahun-tahun menopang produksi, justru menjadi pihak yang paling dirugikan.

Upah yang belum dibayar.

Pesangon yang tak kunjung cair.

Jaminan sosial yang mandek.

Beberapa kali pertemuan antara serikat buruh, pihak kurator, dan pemerintah daerah tidak membuahkan hasil nyata.

Suara dari Lantai Pabrik

“Dulu kami bangga kerja di sini. Sekarang kami bahkan tak tahu apakah hak kami akan dibayar,” kata Siti, buruh wanita yang telah 23 tahun bekerja di bagian pengemasan.

Cerita serupa datang dari para teknisi, sopir, dan petugas keamanan pabrik. Mereka tetap menjaga fasilitas meski tidak lagi menerima upah penuh—sebuah bentuk loyalitas yang dibalas dengan ketidakpastian.

Perlawanan dan Solidaritas

Buruh Leces tidak tinggal diam. Mereka membentuk Forum Pejuang Hak Pekerja Kertas Leces, menuntut pemerintah dan BUMN untuk turun tangan.

Aksi-aksi damai digelar di depan pabrik, di kantor kurator, hingga ke Jakarta. Mereka membawa dokumen, bukti kerja, dan tuntutan resmi yang sah secara hukum.

Serikat buruh lintas daerah pun memberi dukungan. Solidaritas mengalir dari berbagai organisasi pekerja nasional.

Tuntutan mereka sederhana namun bermartabat:

1. Pembayaran penuh hak pesangon dan upah yang tertunda.

2. Transparansi proses hukum dan aset perusahaan.

3. Keterlibatan buruh dalam pengawasan restrukturisasi.

5. Harapan Baru: Keadilan Industri yang Berpihak

Perjuangan ini bukan hanya tentang PT Kertas Leces, tetapi simbol perjuangan buruh di Indonesia—bahwa di balik setiap pabrik yang tutup, ada keluarga yang terancam, ada hak yang harus ditegakkan.

Mereka ingin menunjukkan bahwa buruh bukan sekadar roda produksi, tapi penopang utama ekonomi bangsa.

“Kalau bukan kami yang memperjuangkan, siapa lagi? Kami hanya ingin keadilan yang layak kami terima,” ujar salah satu perwakilan serikat dengan mata berkaca.

Mengetuk Pintu Negara: Dari Daerah ke Jakarta

Perjuangan buruh Leces tidak hanya di jalanan. Mereka juga melakukan audiensi dengan sejumlah lembaga negara, menempuh jalur resmi untuk mencari keadilan:

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker RI):

Buruh menyampaikan laporan resmi atas pelanggaran hak normatif. Mereka menuntut Kemenaker memediasi antara kurator dan eks-pekerja serta menindaklanjuti rekomendasi dari Disnaker Jawa Timur.

Kementerian BUMN/Danantara:

Sebagai pemegang saham negara, Kementerian BUMN/Danantara diminta bertanggung jawab atas nasib buruh Leces. Dalam beberapa kali pertemuan, serikat menegaskan bahwa aset negara tidak boleh dikelola tanpa kejelasan status buruh.

Komisi IX DPR RI:

Rombongan buruh mendatangi DPR RI untuk meminta dukungan politik dan pengawasan terhadap kebijakan BUMN yang menyebabkan pelanggaran hak pekerja.

Dalam rapat dengar pendapat, anggota DPR dari beberapa fraksi menyatakan simpati dan akan menindaklanjuti kasus Leces dalam agenda pengawasan nasional.

Dari Leces untuk Indonesia

Kini, perjuangan buruh Leces masih berlanjut. Dengan memasukan gugatan Ke Menteri Keuangan Republik Indonesia yang kini dijabat Purbaya Yudhi Sadewa.

Para mantan buruh tidak lagi bicara uang tapi lebih ke kehormatan diri dan keluarga. Mereka terus menyalakan api solidaritas. Dan mereka kehilangan pekerjaan, tapi tidak kehilangan harga diri dan semangat juang.

Karena sejarah akan mencatat, di antara reruntuhan mesin dan debu kertas, ada suara buruh yang terus menuntut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.(*)


Share:
Komentar

Berita Terkini