![]() |
| Proyek pembangunan gerbang Candi Bentar di depan Gedung Sate Bandung |
SAAT pertama kali gerbang bata merah bergaya candi berdiri di pintu masuk Gedung Sate, publik Jawa Barat sontak terbelah. Ada yang menyebutnya anggun, ada yang menilai tak menyatu, dan tidak sedikit yang mempertanyakan urgensi anggaran Rp3,9 miliar untuk sebuah gapura.
Namun lebih dari sekadar soal estetika atau anggaran, kehadiran gerbang ini sesungguhnya menyimpan pesan politik yang jauh lebih halus: politik identitas melalui arsitektur.
Gedung Sate, ikon kolonial yang selama puluhan tahun menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, kini dihiasi simbol arsitektur budaya lokal. Dan inilah titik masuk untuk memahami gerbang candi itu—bukan sekadar bangunan, tetapi sebuah pernyataan.
Dari Kolonial ke Lokal: Rebranding Identitas Pemerintahan
Gedung Sate adalah monumen kolonial dengan gaya Indo-Eropa, sebuah warisan era Gemeente Bandung yang megah tetapi membawa narasi sejarah penjajahan. Selama ini, simbol visual Jawa Barat lebih banyak diwakili oleh landmark kolonial ketimbang elemen budaya Sunda sendiri.
Munculnya gerbang candi merupakan upaya repackaging identitas pemerintah provinsi, semacam rebranding visual yang menggeser narasi dari 'pusaka kolonial' ke 'pusaka Sunda'.
Pemerintah provinsi ingin menegaskan bahwa Jawa Barat bukan sekadar mewarisi sejarah Belanda: ia juga memiliki akar kerajaan, kosmologi, dan simbol-simbol budaya lokal yang tak kalah kuat. Candi bentar menjadi pintu masuk ke narasi baru itu.
Dengan kata lain, gerbang ini berbicara lantang:
“Inilah Jawa Barat dengan identitasnya sendiri.”
Arsitektur sebagai Bahasa Politik
[cut]
Arsitektur sering dianggap sebagai seni rupa statis, padahal sejatinya ia selalu menjadi medium politik. Banyak negara dan daerah menggunakan bangunan sebagai bahasa simbol:
Jepang menggunakan kayu dan minimalisme untuk menegaskan budaya harmonisasi.
Prancis menghadirkan monumen batu yang monumental sebagai simbol kekuasaan negara.
Indonesia pascareformasi menggunakan ornamen lokal di gedung-gedung pemerintahan untuk mempertegas pluralitas.
Gerbang candi di Gedung Sate masuk dalam tradisi itu: sebuah pesan identitas politik dalam bentuk fisik.
Candi bentar memuat simbol kekuasaan dalam tradisi Nusantara, gerbang kerajaan, pemisah ruang sakral, penanda hierarki. Ketika simbol ini diletakkan di pusat pemerintahan provinsi, ia menguatkan legitimasi visual bahwa kekuasaan negara berada dalam naungan budaya lokal.
Di sini, politik identitas bekerja tanpa kata.
Ia bekerja melalui bentuk, warna, dan simbol.
Simbol Kekuasaan: Candi Bentar sebagai Penanda Hierarki
Dalam budaya arsitektur Nusantara, candi bentar bukan sekadar ornamen; ia adalah penanda struktur sosial dan ruang kekuasaan.
Ia menandai batas antara ruang profan dan ruang otoritas.
Ia menunjukkan bahwa kita memasuki wilayah yang memiliki nilai lebih tinggi—dalam konteks ini, pusat pemerintahan.
[cut]
Ia menghadirkan aura keagungan, kemapanan, dan kontinuitas kekuasaan.
Ketika simbol ini dipilih untuk Gedung Sate, ia bukan keputusan netral.
Ia membentuk frame bahwa pemerintah provinsi kini ingin lebih terlihat sebagai 'keraton administratif', sebuah pusat otoritas dengan akar tradisi lokal.
Mengapa Sekarang? Momentum Politik dan Narasi Kepemimpinan
Pertanyaan pentingnya: mengapa simbol identitas lokal dikuatkan sekarang?
Ada beberapa kemungkinan konteks politik:
1. Pemerintah provinsi ingin meninggalkan jejak visual
Proyek di ruang simbolik seperti gerbang, monumen, atau alun-alun biasanya menjadi cara pemimpin membangun legacy.
2. Penguatan citra bahwa pemerintah dekat dengan budaya Sunda
Di tengah kompetisi politik nasional, identitas daerah sering digunakan untuk memperkuat basis elektoral.
3. Respons terhadap kritik atas proyek-proyek sebelumnya
Penguatan identitas lokal lewat arsitektur bisa menjadi cara meredam persepsi bahwa birokrasi modern menjauh dari akar budaya masyarakat.
4. Mempersiapkan lanskap politik menuju tahun-tahun elektoral
Visual identitas lokal yang kuat berfungsi sebagai “modal simbolik” yang melekat pada kepemimpinan.
Dengan demikian, gerbang candi bukan hanya proyek fisik—ia adalah bagian dari komunikasi politik visual.
Kontroversi Publik: Ketika Identitas Beradu Selera
Simbol identitas tidak selalu diterima. Polemik muncul di beberapa titik:
1. Ketidakselarasan visual
Sebagian publik menilai candi bentar bertabrakan dengan arsitektur kolonial Gedung Sate. Kontras antara putih-elegan dengan bata merah-tradisional menjadi isu estetika yang memecah dua selera.
[cut]
2. Pertanyaan tentang urgensi anggaran
Nilai Rp3,9 miliar dianggap terlalu besar bagi sebagian warga, terutama di tengah kebutuhan layanan publik yang mendesak.
3. Perdebatan apakah ini benar 'identitas Sunda'
Ada yang menilai candi bentar lebih dekat dengan estetika kerajaan Jawa Tengah/Jawa Timur daripada khas Sunda. Sebagian ahli bahkan menyebut istilah “candi bentar” kurang akurat jika bentuknya tidak terbelah dua.
Dengan kata lain, politik identitas yang ingin dihadirkan pemerintah justru membuka diskusi publik tentang identitas itu sendiri.
Arsitektur, Identitas, dan Masa Depan Gedung Sate
Pada akhirnya, debat soal gerbang candi bukan hanya soal cocok atau tidak cocok. Ia adalah refleksi tentang bagaimana sebuah daerah mendefinisikan dirinya.
Apakah Jawa Barat ingin tetap menonjol sebagai daerah dengan warisan kolonial yang kuat?
Atau ingin tampil sebagai provinsi dengan identitas lokal yang diperkuat secara visual?
Gerbang candi Gedung Sate berada tepat di tengah-tengah pertarungan makna itu.
Sebagian melihatnya sebagai langkah maju menuju kebanggaan lokal.
Sebagian lagi menilai itu sebagai kebijakan estetika yang tidak matang.
Namun satu hal pasti: proyek kecil ini telah menempatkan politik identitas dalam diskusi publik dengan cara yang paling sunyi melalui bentuk dan batu bata.
Ketika Gerbang Menjadi Pesan
Gerbang adalah simbol awal. Ia adalah ruang pertemuan pertama antara rakyat dan negara. Dalam konteks Gedung Sate, gerbang candi menjadi lebih dari sekadar pintu; ia adalah pesan tentang siapa pemerintah ingin dianggap, warisan mana yang ingin dihidupkan, dan bagaimana identitas budaya dijalin ke dalam narasi kekuasaan.
Dalam bahasa yang hening namun kuat, gerbang itu berkata:
“Selamat datang di Jawa Barat, tempat tradisi dan kekuasaan bertemu.”






