PTMP Kelola Pasar; Efesiensi PAD Atau Ancaman Pedagang Kecil?

Redaktur author photo

 

Pasar Baru Kota Bekasi salah satu pasar milik pemerintah yang akan diserahkan pengelolaannya pada PTMP

PASAR tradisional selalu menjadi denyut paling dasar dari perekonomian daerah. Di Kota Bekasi, denyut itu berdetak sejak fajar, pedagang sayur membuka lapak, aroma bumbu mencair di udara, sementara pembeli berdesakan mencari harga terbaik. 

Namun di balik hiruk-pikuk itu, pemerintah daerah sedang mengusulkan perubahan besar menyerahkan pengelolaan pasar tradisional kepada BUMD PT Mitra Patriot (PTMP).

Pasar yang sudah diwacanakan lebih awal yakni Pasar Baru Bekasi, Pasar Pondok Gede, serta Pasar Perwira. Sedangkan saat ini sejumlah pasar lainnya masih berkutat dengan polemik masing-masing seperti Pasar Kranji Baru yang mangkrak, Pasar Jatiasih yang tak mampu bayar PAD, Pasar Bantargebang.

Langkah Pemkot Bekasi yang akan menyerahkan pengelolaan pasar ke PTMP disebut sebagai proses modernisasi tata kelola. Tetapi, seperti banyak kebijakan ekonomi daerah lain, ia datang membawa dua wajah: satu menjanjikan efisiensi, satu lagi menimbulkan kecemasan tentang komersialisasi ruang publik.

Terlebih kalau melihat kondisi kesehatan BUMD bernama PTMP sendiri yang diisi oleh jajaran direksi yang 'meragukan' bakal menjanjikan PAD dari sektor pengelolaan pasar. Alih-alih jadi lebih baik malah tambah 'rungkad'.

Motif Ekonomi Daerah: Peningkatan PAD di Tengah Beban Fiskal

Pemerintah kota membutuhkan sumber pendapatan yang lebih stabil. Retribusi pasar selama ini sering menjadi titik lemah: pemungutan manual rawan kebocoran, pengawasan terbatas, tidak semua pasar menghasilkan omzet signifikan.

BUMD hadir sebagai 'mesin ekonomi' untuk mengubah pasar menjadi pusat pendapatan daerah. Dengan sistem digital, kontrak sewa terstandar, dan pola pengelolaan profesional, pemerintah berharap pemasukan bisa meningkat lebih tinggi dari pola UPTD konvensional.

Secara teori, penyerahan pengelolaan kepada PTMP dapat mengurangi beban APBD karena revitalisasi fisik pasar bisa dibiayai melalui skema investasi BUMD, bukan murni anggaran daerah.

Tetapi sejauh mana orientasi bisnis sejalan dengan mandat pelayanan publik?

Model Baru Pengelolaan: Pasar sebagai Aset Bisnis Daerah

[cut]



Dalam banyak kasus nasional, ketika pasar dikelola BUMD, perubahan besar biasanya terjadi dalam tiga hal:

1. Penataan Ulang Zoning & Kios

Pasar diklasifikasikan ulang sesuai zona dagang: basah, kering, makanan cepat saji, hingga kuliner. Kios 'liar' dibenahi dan retribusi distandarisasi.

2. Standarisasi Layanan

CCTV, toilet bersih, sistem parkir berbasis digital, hingga aplikasi pembayaran retribusi.

3. Pendekatan Korporasi

BUMD memprioritaskan cost recovery dan margin keuntungan.

Di sinilah tarik-menarik kepentingan mulai terasa.

Ketika pasar menjadi aset komersial, pedagang kecil takut tersingkir. Narasi 'modernisasi' sebentar lagi terdengar seperti 'komersialisasi', terutama jika tarif baru jauh lebih tinggi.

Resistensi Pedagang: Modernisasi yang Menelan Nafas Usaha Kecil

Di banyak kota, konflik antara pedagang dan pengelola BUMD muncul ketika revitalisasi pasar berlangsung.

Pedagang di Bekasi pun tidak lepas dari kekhawatiran yang sama.

Lima kekhawatiran terbesar pedagang:

1. Kenaikan sewa kios setelah renovasi.

2. Pembatasan jam operasional yang memengaruhi omzet.

3. Penggusuran pedagang lama yang tidak mampu menyesuaikan biaya baru.

4. Konflik zonasi akibat relokasi.

5. Minimnya dialog antara pedagang dan pengelola.

Ketika ruang ekonomi rakyat kecil tiba-tiba berada di bawah standar korporasi, persoalan sosial tak bisa dihindari.

Pasar, bagaimanapun, bukan sekadar ruang bisnis, ia ruang sosial.

Antara PAD dan Kepentingan Politik

BUMD sering berada dalam orbit politik kepala daerah.

Jika pengelolaan pasar diserahkan kepada PT MPB tanpa pengawasan ketat, risiko munculnya konflik kepentingan menjadi besar.

Sumber risiko terbesar diantaranya, penunjukan direksi berbasis kedekatan politik, bukan kompetensi, proyek revitalisasi yang membuka peluang rente, monopoli pengelolaan tanpa mekanisme kontrol publik, pengadaan berbasis vendor tertentu.

Pengelolaan pasar yang pada dasarnya ruang publik bisa berubah menjadi lahan ekonomi politik yang sulit diawasi warga.

DPRD memegang peran besar untuk memastikan BUMD tetap berada dalam koridor pelayanan publik, bukan kepentingan bisnis kelompok tertentu.

Dimensi Ketahanan Pangan Daerah

[cut]


Pasar tradisional memiliki fungsi strategis lain yang kerap terlewat: stabilisasi harga di tingkat konsumen.

Jika pengelolaan pasar sangat berorientasi pada profit, ada risiko: biaya pedagang naik berdampak harga barang ikut naik dengan begitu inflasi daerah meningkat.

Sebaliknya, jika BUMD mampu mengintegrasikan pasar dengan distributor grosir dan sistem logistik regional, stabilitas harga pangan justru menjadi lebih baik.

Di sinilah kebijakan pengelolaan pasar menjadi kebijakan ketahanan pangan, bukan sekadar kebijakan ekonomi.

Apakah BUMD Solusi? Tergantung Mandat dan Mekanisme Pengawasan

BUMD bisa sukses mengelola pasar jika:

1. Mendapat mandat sosial yang jelas, bukan sekadar target profit.

2. Memiliki transparansi retribusi, misalnya dashboard real-time yang bisa diakses Pemkot dan DPRD.

3. Mengadopsi skema tarif progresif, memihak pedagang kecil.

4. Melibatkan paguyuban pedagang dalam keputusan zonasi dan revitalisasi.

5. Tidak menutup seluruh pasar untuk monopoli BUMD tanpa evaluasi berkala.

Pengelolaan pasar bukan hanya urusan bisnis, ia menyangkut kesejahteraan ribuan pedagang dan fungsi distribusi ekonomi lokal.

Jalan Tengah antara Efisiensi dan Keberpihakan

Transformasi pasar tradisional Bekasi melalui BUMD PT Mitra Patriot Bekasi adalah peluang besar.

Ia dapat menciptakan tata kelola lebih rapi, pemasukan daerah meningkat, dan pasar menjadi lebih manusiawi bagi konsumen.

[cut]


Namun ia juga membawa risiko: peningkatan biaya pedagang, potensi komersialisasi, serta berkurangnya kontrol publik atas ruang ekonomi rakyat.

Kuncinya adalah memastikan BUMD menjalankan fungsi ganda: profit untuk PAD, dan proteksi bagi pedagang kecil.

Jika keseimbangan ini gagal dijaga, pasar yang dulu menjadi simbol ekonomi rakyat justru berubah menjadi ruang yang kian sulit diakses oleh rakyat itu sendiri.

Share:
Komentar

Berita Terkini