Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mewacanakan tanggal Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan setiap tanggal 19 Agustus.
Ide untuk meninjau ulang momen kelahiran provinsi Jabar, baik dari aspek sejarah pemerintahan maupun identitas kebudayaan muncul bersamaan dengan agenda pengetatan belanja daerah.
Dedi Mulyadi menyatakan, tanggal HUT Jabar akan diganti berdasar sejarah khasanah kesundaan.
"Bicara sunda kan bicara kaSiliwangi an,"ucapnya pada Sabtu (22/11/2025)
Dia mencontohkan, Bogor yang sudah merubah hari jadi nya bahwa ulang tahun Bogor itu saat dilantiknya Sri Baduga jadi Raja.
"Nah itu kab tonggak sejarah peradaban sunda,"ujar Dedi Mulyadi.
Pertanyaannya kemudian: seberapa penting perubahan HUT Jabar saat daerah sedang mendorong efisiensi anggaran?
Di tengah tantangan fiskal yang semakin ketat, pembahasan simbolis seperti HUT terasa menimbulkan dua kutub: antara kebutuhan pelurusan sejarah dan urgensi prioritas layanan publik.
Memaknai HUT Sebagai Identitas, Bukan Sekadar Seremonial
HUT provinsi umumnya menjadi penanda perjalanan sejarah pemerintahan suatu daerah. Namun bagi Jawa Barat, wacana ini sering dikaitkan dengan upaya merawat memori kolektif masyarakat Sunda dan membangun narasi identitas yang lebih kokoh.
Sejumlah akademisi sejarah menilai tanggal lahir Jabar perlu ditinjau dari pembentukan administratif oleh pemerintah kolonial, elemen budaya dan kerajaan Sunda, tonggak sejarah pemerintahan daerah modern.
Namun perdebatan tentang tanggal bukan sekadar catatan kronologis. Ia membentuk narasi besar tentang bagaimana Jawa Barat memaknai dirinya—sebuah kepentingan jangka panjang yang relevan untuk generasi ke depan.
Di Balik Wacana, Fiskal Jabar Sedang Menyempit
Wacana perubahan HUT muncul di saat pemerintah daerah sedang mendorong efisiensi dan perhitungan ulang belanja. Situasi fiskal Jabar saat ini dihadapkan pada belanja wajib yang meningkat (pendidikan, kesehatan, layanan dasar), ruang fiskal pembangunan yang menurun, kebutuhan menekan pemborosan pada pos-pos seremonial, tuntutan publik akan efektivitas pemerintahan.
Ini membuat masyarakat bertanya: apakah perubahan HUT tepat dibahas sekarang?
Perubahan HUT bukan hanya soal narasi, tetapi juga, revisi dokumen administrasi, penyelarasan branding pemerintah, biaya sosialisasi, potensi perubahan agenda perayaan.
Artinya, ada konsekuensi anggaran, meski tidak sangat besar, tetapi tetap signifikan dalam konteks efisiensi.
Urgensi: Tidak Mendesak, Namun Memiliki Nilai Strategis
Jika dilihat dari kebutuhan layanan publik, perubahan HUT tidak masuk kategori mendesak. Tidak ada dampak langsung terhadap, stunting, pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, kualitas pendidikan, digitalisasi layanan publik.
Namun dari sudut kebijakan identitas, perubahan HUT punya nilai strategis jangka panjang, terutama jika tujuannya, menguatkan fondasi sejarah Jawa Barat, memurnikan narasi budaya Sunda, menciptakan arah identitas provinsi yang lebih jelas ke depan.
Dengan kata lain, urgensinya lebih ideologis ketimbang pragmatis.
Risiko Persepsi Publik: Simbolik di Tengah Kebutuhan Riil
Ketika fiskal sedang ketat, masyarakat cenderung sensitif terhadap kebijakan yang berbau simbolik. Perubahan HUT berpotensi dianggap, kurang relevan, tidak menyentuh kebutuhan sehari-hari, agenda elit pemerintahan, mengalihkan fokus dari persoalan layanan dasar.
Padahal, efektivitas kebijakan saat ruang fiskal sempit sangat bergantung pada persepsi publik.
Momentum Belum Tepat?
Melihat kondisi saat ini, sejumlah analis kebijakan menilai bahwa wacana perubahan HUT lebih tepat jika ditempatkan sebagai agenda jangka panjang. Pembahasan akademis bisa dilakukan, namun implementasi sebaiknya menunggu, stabilitas fiskal, prioritas pembangunan terpenuhi, ruang sosial-politik lebih kondusif, kebutuhan seremonial pemerintah ditekan seminimal mungkin.
Dengan demikian, kebijakan identitas tidak berbenturan dengan kebutuhan mendasar masyarakat.
Perubahan Bisa Dibahas, Tapi Tidak Mendesak
Perubahan HUT Jawa Barat memiliki nilai historis dan kultural yang patut dihargai. Namun jika ditanya soal urgensi di tengah efisiensi daerah, jawabannya adalah:
Tidak mendesak secara layanan publik, tetapi tetap penting secara narasi identitas.
Kuncinya ada pada timing. Wacana ini idealnya berjalan paralel dengan kajian akademis tanpa terburu-buru menjadi kebijakan yang menguras anggaran seremonial.




