Konflik Partai Golkar Kota Bekasi Wewenang Mahkamah Partai Atau Pengadilan Negeri ?

Redaktur author photo




inijabar.com, Jakarta- Sikap DPP Partai Golkar yang seolah tak berani ambil keputusan tegas, membuat konflik berkepanjangan di tubuh Golkar Kota Bekasi antara kubu Ade Puspitasari dengan kubu Nofel Saleh Hilabi terus berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Bekasi.


Ade Puspitasari dan rekan-rekannya sendiri merasa pihaknya yang sah karena sudah mengantongi SK (surat keputusan) kepengurusan DPD Partai Golkar yang dikeluarkan oleh DPD  Golkar Jawa Barat. Sedangkan Nofel sendiri belum mendapatkan surat penguatan apapun berupa SK baik dari DPP maupun DPD Jabar. 


Sebuah upaya hukum dari kubu Nofel Saleh Hilabi dengan menggugat keabsahan putusan Plt DPD Jabar Ace Hasan yang memberikan SK ke kubu Ade Puspitasari di PN Bekasi.


Meski langkah hukum tersebut dipertanyakan oleh kubu Ade Puspitasari sebagai hal tidak tepat. Pasalnya, konflik tersebut merupakan wilayah internal Partai Golkar, yang saluran penyelesaiannya di Mahkamah Partai itu sendiri.


Lalu bagaimana jika DPP Golkar masih tidak bergeming mengambil keputusan apapun, jika PN Bekasi sudah mengetuk palu keputusannya terlepas apapun itu putusannya menguntungkan pihak Nofel atau menguntungkan pihak Ade Puspitasari.


Fahri Bachmid. SH, Kuasa Hukum Nofel Saleh Hilabi menceritakan terkait persidangan gugatan nya di PN Bekasi. Sidang berikut pada tanggal 15 Agustus 2022 akan mengagendakan Putusan Sela. Pada saat itu nanti Hakim memutuskan apakah persidangan tersebut kompeten atau tidak menyelesaikan  persoalan konflik sesama kader partai Golkar.


"Mengenai persidangan selanjutnya, sesuai agenda sidang yang telah ditetapkan oleh majelis hakim, pada hari Senin tgl 15 Agustus 2022, adalah pembacaan putusan sela, sebab Tergugat (pihak DPD Golkar Jabar dan kubu Ade Puspita) mempersoalkan tentang kewenangan dan kompetensi Pengadilan Negeri Bekasi dalam  menangani perkara ini. Tergugat berpendapat bahwa PN Bekasi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara sengketa Parpol Golkar ini, sehingga atas permohonan itu, maka majelis hakim akan bersikap dan memutus apakah PN Bekasi berwenang atau tidak dalam mengadili perkara tersebut dalam putusan sela nantinya,"ujarnya saat dikonfirmasi melalui ponselnya. 10/8/2022).


"Secara prinsip dalam gugatan penggugat Nofel Saleh Hilabi, kami meminta kepada pemgadilan untuk menjatuhkan putusan dengan menyatakan secara hukum bahwa : Sah dan berkekuatan hukum seluruh hasil dan Keputusan MUSDA V DPD Partai GOLKAR Kota Bekasi Nomor KEP-08/MUSDA-V/GOLKAR/X/2021 tertanggal 29 Oktober 2021 Di Hotel Horison, Bekasi Selatan – Kota Bekasi yang memilih dan menetapkan Penggugat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya Kota Bekasi Masa Bakti 2020-2025; dan Memerintahkan Tergugat I untuk mengesahkan seluruh keputusan-keputusan hasil persidangan yang dihasilkan oleh Musda V Partai GOLKAR Kota Bekasi yang diselenggarakan di Hotel Horison Bekasi Selatan - Kota Bekasi pada tanggal 29 Oktober 2021; serta Memerintahkan Tergugat I untuk menerbitkan keputusan tentang Komposisi dan Personalia DPD Partai GOLKAR Kota Bekasi Masa Bakti 2020-2025 Hasil Musda V DPD Partai GOLKAR Kota Bekasi yang diselenggarakan di Hotel Horison Bekasi Selatan - Kota Bekasi pada tanggal 29 Oktober 2021 terhitung 7 Hari sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap,"tegas Fahri Bachmid.


Sehingga dengan demikian, lanjut dia, jika pengadilan memutus sesuai fakta persidangan dan sesuai dengan dalil penggugat, maka tentunya DPP Golkar wajib tunduk dan patuh terhadap putusan hukum tersebut.


"Itu adalah konsekwensi dari sistem hukum positif yang berlaku, sesuai UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, khususnya ketentuan Pasal 33 mengatur "Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri" kemudian ketentuan ayat (2) disebutkan bahwa "Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung" dengan demikian, ini menjadi pedoman semua pihak dalam menyelesaikan konflik parpol,"tutur Fahri.


Mahkamai Partai atau Pengadilan Negeri?


Kasus Partai Golkar bukan perkara pertama partai politik yang masuk ke pengadilan. Sengketa kepengurusan memang bukan satu-satunya perselisihan parpol yang bisa dibawa ke pengadilan. Yang lain, misalnya, pergantian antarwaktu dan pemecatan pengurus daerah. Lebih dari 69 perkara perselisihan parpol yang putusannya dimuat dalam laman resmi Mahkamah Agung. Laporan Tahunan MA 2012 mencatat sepanjang tahun itu, MA menerima 41 perkara parpol, setara dengan 4,57 persen dari 897 perkara perdata khusus.


Tidak semua perselisihan internal partai harus berakhir di pengadilan. Jika Mahkamah Partai menjalankan tugas dengan baik, para pihak juga patuh, penyelesaian di sini bisa benar-benar final dan mengikat. 


Dalam banyak putusan telah berkembang suatu yurisprudensi bahwa penyelesaian perselisihan partai politik harus diselesaikan lebih dahulu lewat Mahkamah Partai atau lembaga sejenis dengan nama lain. 


Salah satunya putusan MA No. 101K/Pdt.Sus-Parpol/2014, yakni perselisihan para pengurus PKNU di Jawa Timur. Perkara ini sampai ke Mahkamah Agung.


Mahkamah Agung membatalkan putusan PN Bondowoso dan mengadili sendiri. Salah satu pertimbangan majelis kasasi adalah tidak digunakannya mekanisme Mahkamah Partai. “Terbukti penyelesaian melalui Mahkamah Partai politik belum dilaksanakan, maka sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (1) (UU Partai Politik –red) tidak dimungkinkan melakukan gugatan ke pengadilan,” begitu antara lain pertimbangan majelis. “Disebabkan belum ada putusan melalui Mahkamah Partai, maka gugatan tersebut adalah premature”. Argumen yang senada ditemukan dalam putusan-putusan lain.


Majelis hakim yang mengadili perselisihan partai politik harus melihat dulu apakah mekanisme Mahkamah Partai sudah ditempuh atau belum. Jika belum, hakim seharusnya menyatakan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).


Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, pernah menyatakan dan memperjelas lebih lanjut sikap pengadilan itu. “Penyelesaian sengketa parpol harus melalui Mahkamah Partai dulu. Kalau tidak tercapai (kata sepakat) baru ke pengadilan,” ujarnya.


Ia mengibaratkan putusan Mahkamah Partai seperti putusan arbitrase. Pihak yang tidak setuju dengan putusan arbitrase bisa mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Kalau tak puas juga dengan putusan pengadilan negeri, para pihak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.


Pasal 32 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2011tentang Partai Politik secara eksplisit menyebutkan putusan Mahkamah Partai politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikatsecara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal ini juga yang dipakai Menkumham Yasonna Laoly untuk menerima hasil Munas Ancol Partai Golkar.


Tetapi Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang yang sama memberikan peluang kepada para pihak untuk menyelesaikan persoalan partai ke pengadilan negeri. Dan inilah yang ditempuh pengurus Golkar hasil Munas Bali, juga oleh sejumlah pengurus partai.


Tetapi pengadilan negeri bukan satu-satunya ruang untuk menyelesaikan kasus parpol. Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, mengingatkan masih ada forum lain yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN mengadili dan memutus gugatan atas keputusan Menteri Hukum dan HAM atas kepengurusan suatu partai.  Yang dikhawatirkan Refly adalah jika Menteri sudah mengesahkan kepengurusan tertentu padahal masih ada upaya keberatan ke pengadilan. “Sebaiknya, pengesahan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.


Sekedar diketahui, Mahkamah Partai Golkar tercatat telah menggelar persidangan konflik Partai Golkar Kota Bekasi tercatat baru sekali dan hingga kini belum ada kelanjutan persidangannya.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini