![]() |
Saat proses pendaftaran SPMB di Bandung |
inijabar.com, Kota Bandung- Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Purwanto, menegaskan, penambahan jumlah siswa dalam satu kelas, disesuaikan dengan kondisi di tiap sekolah. Kebijakan ini, kata dia, tidak bersifat mutlak di mana setiap rombel harus berjumlah 50 siswa.
Tujuan dari kebijakan itu, lanjut Purwanto, bukan untuk mematikan sekolah swasta, melainkan demi menjamin semua anak mendapat hak pendidikan.
Purwanto menyatakan, sekolah-sekolah swasta masih tetap memiliki peluang besar untuk menerima siswa. Pasalnya, kata dia, masih ada sekitar 400 ribu siswa yang bisa ditampung untuk bersekolah di swasta.
"Dari lulusan kita sekitar 700 ribuan, itu masih ada sekitar 400 ribuan anak yang tidak tertampung di negeri, bahkan setelah penambahan rombel. Nah, itu artinya apa? Masih bisa masuk ke sekolah swasta atau sekolah di bawah naungan Kementerian Agama," ucapnya.
Sementara itu, Ketua FKSS SMK Jabar Ade Hendriana menyatakan, Kepgub terkait penambahan jumlah rombongan belajar tersebut harus dikaji ulang karena dinilai tidak adil dan berpotensi menimbulkan masalah hukum.
Sekolah swasta, kata Ade, mendukung semangat di balik Kepgub tersebut. Namun, ia menegaskan, pelibatan sekolah swasta seharusnya menjadi bagian dari solusi.
"Terkait Kepgub, BMPS [Badan Musyawarah Perguruan Swasta] minta diperbaiki karena dianggap ugal-ugalan dan berpotensi digugat,"ucapnya.
Ade mengatakan, penambahan jumlah rombel di sekolah negeri bertolak belakang dengan Pergub tentang Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) yang sebelumnya telah disusun bersama berbagai pihak, termasuk sekolah swasta.
Aturan baru Rombel itu, kata Ade, berimbas pada tingkat keterisian siswa di SMA/SMK swasta hanya mencapai 30 persen dari kuota.
Pihaknya juga mempertanyakan legalitas penambahan rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri serta kejanggalan penggunaan Kepgub untuk hal yang bersifat teknis.
"Kami mempertanyakan apakah ada izin dari Kemendikdasmen terkait penambahan rombel, dan juga kenapa menggunakan Kepgub, bukan Pergub," tegasnya.
Menurut pihaknya, akan lebih bijak jika siswa dari keluarga kurang mampu yang tidak tertampung di sekolah negeri diarahkan ke sekolah swasta dengan dukungan subsidi biaya dari pemerintah melalui mekanisme MoU.
"Daripada penambahan siswa dipaksakan di sekolah negeri, lebih baik diberikan ke sekolah swasta. Karena siswa di sekolah negeri juga perlu dibiayai pemerintah, mengapa tidak biaya tersebut diberikan kepada sekolah swasta sebagai subsidi," ujar Ade.
Dia menyatakan, sudah menyiapkan tim hukum untuk mengajukan gugatan terhadap Kepgub bernomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 itu. Tim hukum saat ini sedang merumuskan materi untuk melayangkan gugatan ke PTUN.
Namun sebelum melayangkan gugatan, kata Ade, pihaknya akan lebih dulu menunggu respons dari Pemprov Jawa Barat. Jika responsnya dianggap masih memberatkan sekolah swasta, gugatan akan segera dilayangkan.
"Jika hasilnya positif maka tidak lanjut (ke PTUN), sehingga sambil menunggu kami masih merumuskan dengan tim hukum," ujarnya.
"Intinya, kami sudah siap apabila harus berlanjut di PTUN, makanya dari sekarang mulai dirumuskan segala sesuatunya kalau nantinya harus mengajukan gugatan," tutup Ade.
Sekedar diketahui, kebijakan menambah jumlah siswa dalam satu kelas di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 pelajar seperti yang tertuang dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025.(*)