Forkim Bilang Walikota Bekasi Seolah Panik dengan Pernyataan Menkeu Soal Jual Beli Jabatan

Redaktur author photo
Menteri Keuangan RI Purbaya

inijabar.com, Kota Bekasi- Jawaban Wali Kota Bekasi Tri Adhianto pada beberapa media saat menepis tudingan adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Ia terkesan  menantang masyarakat untuk menilai sendiri apakah praktik tersebut benar terjadi.

“Ada enggak suara di Kota Bekasi yang jual beli jabatan? Sekarang lu merasakan nggak? Dengar nggak?” ujar Tri dengan nada tinggi saat menanggapi isu tersebut.

Pernyataan itu muncul setelah komentar Menteri Keuangan (Menkue) Purbaya Yudi Sadewa yang menyoroti Bekasi sebagai salah satu daerah rawan praktik jual beli jabatan di tingkat birokrasi.

Namun, Forum Komunikasi Intelektual Muda Indonesia (Forkim) menilai reaksi Tri justru menunjukkan kepanikan berlebihan dan ketidakmatangan dalam merespons kritik publik.

Ketua Forkim, Mulyadi, menegaskan bahwa Purbaya tidak sedang menuduh secara langsung, melainkan memberikan peringatan moral agar kepala daerah memperkuat integritas dan transparansi dalam sistem birokrasi.

“Purbaya tidak sedang terobsesi pada isu jual beli jabatan di Bekasi, tapi ingin melihat seberapa jujur dan berintegritas seorang Tri Adhianto memimpin,” tegas Mulyadi di Bekasi, Selasa (21/10/2025)

Menurutnya, reaksi Tri justru terlihat emosional memperkuat persepsi publik bahwa ada praktik tidak sehat di tubuh birokrasi Pemkot Bekasi.

“Pernyataan itu menunjukkan ketakutan yang tidak perlu. Purbaya hanya ingin kejelasan, bukan membuat Tri panik,” ujarnya.

Lebih jauh, Mulyadi menyinggung bahwa isu jual beli jabatan di lingkungan BUMD dan birokrasi Pemkot Bekasisemakin mencuat setelah Tri Adhianto melakukan penempatan sejumlah keluarga dekatnya di posisi strategis, termasuk adik kandung dan adik ipar.

“Kita menyaksikan sendiri bagaimana keluarga Tri ditempatkan di jabatan strategis. Dari situ muncul persepsi publik bahwa proses mutasi dan promosi jabatan di Bekasi tidak lagi berdasarkan kompetensi, melainkan jual beli jabatan dan kepentingan keluarga,” ungkap Mulyadi.

Ia menyoroti indikasi nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan di lingkaran pemerintahan Tri Adhianto yang berpotensi menggerogoti APBD dan membuka peluang besar terjadinya korupsi sistemik.

Mulyadi mengungkap, adik kandung Wali Kota Bekasi, Satia Wijayanti, kini menjabat Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Satia yang berlatar belakang dokter hewan itu menempati posisi strategis dengan kewenangan besar dalam mengelola hampir 20 persen dari total APBD 2026, atau sekitar Rp7 triliun.

“Anggaran sebesar itu sangat rawan dikorupsi. Sektor kesehatan sering menjadi arena mark-up harga alat kesehatan, obat-obatan, hingga proyek laboratorium,” papar Mulyadi.

Ia menambahkan, praktik penyimpangan biasanya terjadi melalui kongkalikong antara panitia pengadaan dan rekanan proyek, bahkan sering diintervensi langsung oleh pejabat atasannya.

“Modus seperti ini sudah klasik, tapi tetap efektif karena adanya perlindungan dari lingkaran kekuasaan,” tegasnya.

Selain itu, Mulyadi juga menyoroti jabatan adik ipar Tri Adhianto, M. Solikhin, yang menempati posisi penting di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Posisi ini dianggap sangat krusial dan rentan disalahgunakan karena berhubungan langsung dengan pengelolaan pajak dan retribusi daerah.

“Di sinilah manipulasi pajak sering dimainkan — mulai dari pengurangan nilai objek pajak hingga perubahan status dari belum lunas menjadi lunas, padahal uangnya belum pernah masuk ke kas daerah,” ungkap Mulyadi.

Pola seperti ini, kata dia, bukan sekadar kelemahan sistem, melainkan indikasi kuat adanya desain kekuasaan yang sengaja dibangun untuk melindungi kepentingan keluarga dan memperkuat lingkaran korupsi di tubuh Pemkot Bekasi.

Share:
Komentar

Berita Terkini