Larangan Study Tour vs Lonjakan Wisata Jawa Barat 2025: Siapa Untung, Siapa Rugi?

Redaktur author photo

inijabar.com, Kota Bandung- Terkait study tour, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi tetap pada pendiriannya melarang sekolah menggelar study tour pada libur sekolah akhir tahun 2025.

Menurut Dedi, liburan pelajar yang dikemas sebagai study tour sangat tidak relevan, dan tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat.

"Tetap yang namanya study tour yang memobilisasi siswa yang didalamnya melakukan wisata, kita tetap akan kita larang," ujar Dedi Kamis (20/11/2025).

Dedi kembali menegaskan, larangan itu bukan soal membatasi siswa, tapi menjaga agar orangtua tidak terbebani dengan biaya sekolah yang tidak penting.

"Karena itu bisa terbukti hari ini, biaya kehidupan orang tua mengalami penurunan. Akhirnya pertumbuhan ekonomi masyarakat juga semakin baik," ucapnya.

Dedi pun menepis anggapan bahwa, kebijakan larangan study tour akan berdampak buruk pada sektor wisata Jawa Barat.

Justru, Dedi mengklaim berdasarkan data yang dimilikinya, sektor wisata di Jabar menunjukkan kondisi sebaliknya.

Tren kunjungan wisata ke Jawa Barat, terus meningkat setelah adanya larangan tersebut, termasuk dari wisatawan lintas daerah.

"Kemudian yang berikutnya adalah ternyata tingkat kunjungan pariwisata di Jawa Barat paling tinggi dalam 5 tahun terakhir. Jadi, enggak ada kaitan dengan bahwa study tour menurunkan ke pariwisata," 

"Jadi bisa dilihat lah, lalu habis dari berbagai daerah masuk ke Jawa Barat paling sangat tinggi," kata Dedi.

[cut]


Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang tetap mempertahankan larangan study tour sekolah menuai perdebatan panjang. Di satu sisi, pemerintah daerah menegaskan bahwa pembatasan ini bertujuan menekan beban biaya orang tua dan mengembalikan kegiatan luar kelas ke arah edukatif, bukan wisata mewah. 

Namun di sisi lain, pelaku industri pariwisata mulai dari hotel, biro perjalanan, sopir bus, hingga UMKM destinasi mengaku terpukul karena kehilangan pasar besar dari rombongan sekolah.

Menariknya, di tengah polemik ini, data resmi menunjukkan bahwa angka kunjungan wisata ke Jawa Barat sepanjang 2025 justru naik. Fenomena yang tampak kontradiktif ini mengundang pertanyaan: bagaimana mungkin sektor wisata tumbuh, sementara salah satu segmentasi pengunjungnya dibatasi?

Kunjungan Wisata Naik, Tapi Bukan dari Segmen Sekolah

Data BPS dan Disparbud mencatat perjalanan wisatawan nusantara ke Jawa Barat meningkat sepanjang semester pertama dan puncak libur Lebaran 2025. Mobilitas wisata meningkat dalam skala besar, berkisar di angka 16–22 juta perjalanan per bulan berbasis Mobile Positioning Data (MPD). Selama Lebaran, Jawa Barat mencatat lebih dari 1,6 juta wisatawan dalam satu minggu, menjadikan provinsi ini destinasi favorit secara nasional.

Pendorong kenaikan wisata bukanlah rombongan sekolah, melainkan: keluarga (family trip), wisata harian (daytrip), staycation, wisata alam dan kuliner, libur besar nasional, dan kenaikan mobilitas warga kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung.

Dengan skala wisatawan yang sangat besar, hilangnya segmen study tour tidak signifikan secara makro terhadap statistik wisata Jabar.

Sektor yang Paling Terdampak: Mikro, Tapi Vital

Meski dampak makro tidak besar, dampak mikro justru berat. Larangan study tour memukul keras sektor wisata edukatif yang sangat bergantung pada kunjungan sekolah. Para pelaku wisata mencatat pembatalan ribuan pesanan rombongan sekolah di periode Februari–Juni 2025.

Sektor yang paling terpukul: Biro perjalanan wisata edukatif, Hotel kelas menengah & rombongan, Transportasi bus pariwisata, Pemandu wisata edukatif, UMKM destinasi (oleh-oleh, kuliner, kerajinan)

Model bisnis mereka sejak lama bertumpu pada kunjungan rombongan sekolah yang terjadwal, reguler, dan padat dalam beberapa bulan tertentu. Ketika segmen ini hilang, mereka kehilangan konsumen inti.

[cut]


Ironisnya, meski angka wisata Jabar naik, pendapatan pelaku wisata yang menggantungkan hidup dari study tour justru turun drastis.

Mengapa Larangan Tidak Menggerus Angka Wisata Jabar?

Ada tiga alasan fundamental:

1. Porsi Study Tour Kecil Secara Statistik

Jika dibandingkan 16–22 juta perjalanan wisatawan per bulan, kunjungan sekolah mungkin hanya menyumbang kurang dari 1% angka total. Hilangnya segmen ini tidak mengubah kurva kunjungan secara agregat.

2. Wisata Jabar Didominasi Wisata Keluarga

Mayoritas wisatawan datang karena libur panjang, akhir pekan, dan wisata pendek lintas kota. Rombongan sekolah hanya mewarnai wisata edukatif, bukan wisata massal.

3. Mobilitas Harian dan Wisata Lokal Melonjak

Banyak warga Jabodetabek melakukan perjalanan harian ke Bogor, Lembang, Ciwidey, Pangandaran, Sukabumi. Ini menutup celah penurunan dari segmen study tour.

Ketimpangan: Wisata Jabar Naik, Tapi Tidak Semua Menikmati

Poin paling penting adalah adanya ketimpangan pertumbuhan. Makro naik, mikro turun.

Secara ekonomi, ini berbahaya karena pertumbuhan wisata menjadi tidak inklusif. Pelaku wisata kecil yang selama ini menopang destinasi edukatif justru terancam gulung tikar.

Beberapa organisasi pariwisata telah memperingatkan pemerintah bahwa: kehilangan segmen study tour bisa memicu PHK, UMKM destinasi terancam tutup, efek domino ekonomi wisata daerah bisa muncul dalam jangka panjang.

Solusi Masa Depan: Transformasi Study Tour, Bukan Penghapusan

Larangan study tour membuat dua peluang baru:

1. Wisata Edukatif Lokal

[cut]


Sekolah bisa diarahkan ke: museum daerah, situs sejarah lokal, pabrik dan industri kecil, destinasi budaya kota, lokasi konservasi.

Model ini lebih murah, lebih aman, dan tetap menggerakkan ekonomi lokal.

2. Standarisasi Study Tour

Daripada dilarang, pemerintah bisa mengatur agar: biaya dibatasi, tujuan harus edukatif, agen perjalanan tersertifikasi, transportasi wajib memenuhi standar keselamatan, proposal harus disetujui Komite Sekolah.

Dengan pendekatan ini, wisata edukatif tetap hidup tanpa membuat orang tua terbebani.

Lonjakan Wisata dan Larangan Study Tour Bukan Kontradiksi

Keduanya bisa terjadi bersamaan karena menyasar skala yang berbeda. Larangan study tour memukul sektor mikro yang sangat spesifik.

Kunjungan wisata Jabar naik berkat wisata keluarga dan mobilitas besar masyarakat. Namun, jika kebijakan ini tidak disesuaikan, dalam jangka panjang Jabar bisa kehilangan ekosistem wisata edukatif yang selama ini menjadi fondasi usaha kecil di banyak destinasi.

Kunci keseimbangan ke depan adalah mengubah model study tour, bukan menghentikannya. Saat sektor wisata umum tumbuh, sektor wisata edukatif pun harus dibangkitkan kembali agar pertumbuhan pariwisata Jawa Barat tidak timpang dan tetap inklusif.

Ditulis: tim redaksi.

Share:
Komentar

Berita Terkini