![]() |
| Kades Wadas Jujun (baju putih) dan Heryana (baju Korpri) |
inijabar.com, Karawang- Dua Kepala Desa di Karawang ini sedang menjadi sorotan publik tidak hanya bagi masyarakat Kabupaten Karawang tapi juga daerah lain.
Suasana rapat lapangan di area normalisasi Sungai wilayah PJT II, Kecamatan Telukjambe Timur, mendadak memanas ketika Kepala Desa Purwadana, E. Heryana, menegur keras keterlibatan Kepala Desa Wadas, H. Jujun (H. Junaedi), yang dinilai ikut campur dalam proses teknis di luar wilayah administratifnya.
Ketegangan muncul saat pembahasan terkait arah pembuangan air dari pengerukan sungai. Menurut Heryana, wilayah yang sedang dibahas berada sepenuhnya di Desa Purwadana, sehingga ia mempertanyakan dasar kehadiran dan peran Kades Wadas Jujun dalam urusan teknis tersebut.
“Ini wilayah saya, kok jadi seolah-olah Anda yang mengatur? Kalau memang ada tugas khusus dari Gubernur (Jabar) atau instansi di atasnya, coba tunjukkan surat tugasnya,” tegas Heryana dalam rapat yang berlangsung di lokasi normalisasi.
Heryana menilai tindakan Jujun telah melampaui batas wewenang desa, terlebih keputusan arah aliran pembuangan air sangat menentukan dampak bagi lingkungan setempat.
Merespons ketegangan antara dua kepala desa tersebut, pihak PJT II langsung mengambil langkah mediasi. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa akan dilakukan kajian ulang terkait arah aliran pembuangan air guna memastikan keputusan yang paling tepat dan minim risiko bagi masyarakat.
Pihak PJT II memastikan bahwa normalisasi sungai harus berjalan dengan pendekatan teknis yang akurat serta melibatkan semua pemangku kepentingan sesuai kewenangannya.
Kades Purwadana Heryana menilai banjir yang melanda wilayahnya selama ini lebih disebabkan oleh buruknya saluran hulu dan banjir kiriman dari kawasan tetangga. Namun Kades Wadas Jujun menegaskan justru faktor tata ruang dan hilangnya daerah resapan menjadi biang utamanya.
[cut]
Pertentangan dua perspektif ini memperlihatkan betapa kompleksnya persoalan banjir di kawasan Karawang tersebut. Meski hanya terpisah beberapa kilometer, karakter genangan di dua desa itu berbeda sehingga menghasilkan penafsiran yang tidak sama tentang akar masalah.
Banjir Kiriman dan Drainase Primer yang Melemah
Kepala Desa Purwadana Heryana menyampaikan bahwa wilayahnya kerap menjadi 'wilayah terima' dari limpasan air yang datang dari kawasan atas. Menurutnya, saluran primer yang mengarah ke sungai sudah lama membutuhkan pelebaran maupun pengerukan lantaran sedimentasi menghambat aliran.
“Setiap hujan deras, air dari hulu langsung turun ke Purwadana. Kalau saluran besar tidak dinormalisasi, mau bagaimanapun kita tetap akan menerima luapan,” ujar Heryana.
Ia menilai, penyempitan jalur air dan adanya bangunan yang berdiri terlalu dekat dengan aliran sungai turut memperburuk kondisi. Karena itu, Heryana mendorong agar normalisasi saluran besar menjadi prioritas, termasuk penertiban bangunan yang menutup jalur air.
Menurutnya, perbaikan drainase lingkungan saja tidak akan menyelesaikan persoalan, sebab volume air dari hulu jauh melebihi kapasitas tampung saluran di wilayahnya.
Kades Wadas Menilai Masalah Berada di Tata Ruang dan Resapan
Berbeda dengan Kades Purwadana, Kepala Desa Wadas Jujun justru merasa bahwa banjir di wilayahnya terjadi karena ruang resapan semakin hilang akibat meningkatnya pembangunan permukiman.
Ia menyebut, genangan yang sering muncul di Wadas bukan semata kiriman, tetapi karena air tidak memiliki cukup ruang meresap maupun tertampung.
“Kita ini kawasan padat. Banyak saluran lingkungan yang berubah fungsi atau dipersempit. Kalau daerah resapan tidak dikembalikan, ya air pasti tinggal,” tegas Jujun.
[cut]
Kades Wadas lebih menekankan perlunya kolam retensi tambahan, optimalisasi RTH, serta rekonstruksi drainase lingkungan agar air tidak berhenti di pemukiman warga. Ia menyatakan upaya normalisasi sungai tetap penting, namun tanpa pengaturan tata ruang yang disiplin, genangan akan tetap terjadi.
“Kita butuh dua-duanya, tapi kalau lingkungan di hilir tidak ditata, banjir sekecil apa pun akan mengganggu aktivitas warga,” tambahnya.
Dua Narasi yang Berjalan Sendiri-sendiri
Perbedaan sudut pandang antara dua kades ini memunculkan pertanyaan: siapa yang harus lebih dulu berbenah? Dari sisi teknis, keduanya benar dalam konteks masing-masing wilayah. Purwadana menghadapi luapan dari saluran besar, sementara Wadas berurusan dengan genangan lokal yang dipicu penyempitan drainase.
Namun hingga kini, dua pendekatan itu masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal banjir yang terjadi di kedua desa merupakan sistem yang saling terhubung, di mana aliran air dari satu wilayah otomatis berdampak pada wilayah lainnya.
Sejumlah pihak menilai koordinasi lintas desa perlu diperkuat, terutama terkait penanganan hulu–hilir dan penertiban tata ruang. Dinas Pekerjaan Umum Karawang juga beberapa kali menyatakan bahwa penanganan banjir tidak bisa hanya dilakukan secara parsial karena jaringan drainase saling terhubung.
Warga Menunggu Kepastian Program
Sementara para pemimpin desa berdiskusi tentang penyebab banjir, warga di dua desa berharap ada langkah nyata yang bisa segera dilihat. Beberapa warga mengaku sudah terbiasa dengan genangan musiman, namun tetap berharap pemerintah desa menyepakati langkah bersama agar persoalan tidak berulang setiap tahun.
[cut]
“Kalau kedua desa kompak, programnya pasti lebih cepat. Yang penting jangan cuma saling menyalahkan,” ujar salah seorang warga yang rumahnya kerap terdampak.
Butuh Kolaborasi Terpadu
Perbedaan pandangan dua kepala desa ini sebenarnya dapat menjadi kekuatan jika dipadukan. Desa Purwadana memiliki kebutuhan penguatan saluran besar, sementara Desa Wadas membutuhkan revitalisasi tata ruang dan drainase lingkungan. Jika dua strategi ini digabung, penanganan banjir dapat dilakukan secara lebih menyeluruh.
Yang kini dinantikan publik adalah langkah konkret: kapan kedua desa duduk bersama menyusun peta solusi yang menyatukan dua pendekatan tersebut.(*)







