![]() |
| Bupati Subang Reynaldi Pitra Andita |
KABAR tentang dugaan jual-beli jabatan yang menyeret nama Bupati Subang Reynaldi Putra Andita bukan sekadar isu pinggiran. Ia berkembang seperti riak kecil yang tiba-tiba berubah menjadi gelombang, terutama setelah mantan Kepala Dinas Kesehatan buka suara.
dr Maxi disebut mengaku menyerahkan uang tunai sebesar Rp100 juta yang disetorkan melalui Heri Sopandi, yang saat itu menjabat sebagai Plt. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Subang (kini Kadisdik Subang).
Pengakuan bahwa dirinya diminta menyetor uang untuk mendapatkan jabatan strategis membuat perhatian publik tersedot ke pusat pusaran politik daerah. Bagi banyak warga Subang, ini bukan lagi cerita lama tentang birokrasi yang 'kurang sehat', melainkan potret gamblang betapa rapuhnya integritas pemerintahan ketika jabatan menjadi komoditas.
Jejak Pengakuan yang Mengusik Ketenteraman Politik
Pengakuan mantan Kadinkes itu—bahwa ada dugaan permintaan setoran puluhan juta rupiah untuk pengangkatan jabatan—menjadi titik paling terang dalam labirin politik Subang. Bagi sebagian pejabat, isu ini mungkin dianggap biasa. Tetapi bagi publik, ini semacam alarm keras bahwa sesuatu tidak berjalan normal.
Di ruang-ruang kantor pemerintahan, percakapan tentang hal ini berlangsung hati-hati, berbisik, seolah takut salah ucap. Birokrasi Subang seperti menahan napas. Akibat dari isu ini jauh melampaui relasi antara seorang kepala dinas dan bupati—ia ibarat batu besar yang dilempar ke kolam: gelombangnya ke mana-mana.
Retaknya Kepercayaan, Langkah Awal Krisis Politik
Sulit menampik bahwa isu jual-beli jabatan adalah pukulan telak bagi legitimasi pemerintahan daerah. Ketika publik mendengar bahwa kursi-kursi strategis bisa dibeli, mereka tak lagi melihat pemerintah sebagai pelayan masyarakat, melainkan sebagai pasar gelap yang memperjualbelikan kekuasaan.
Bupati Subang Reynaldi baik membantah maupun diam akan tetap berada dalam posisi sulit. Kepercayaan publik terkikis, dan oposisi politik mulai mengintip celah. Bagi mereka, isu ini adalah bahan baku paling efektif untuk menantang kekuasaan petahana.
Birokrasi yang Tersandera Uang
Pengakuan mantan Kadinkes membuka diskusi lama yang jarang mau disentuh: apakah rotasi dan promosi ASN benar-benar berbasis meritokrasi? Atau justru semacam perdagangan yang dibungkus rapih dengan istilah 'mutasi'?
[cut]
Jika jabatan dapat dibeli, maka kualitas layanan publik berada di ujung tanduk. Pejabat yang membayar mahal untuk duduk di kursi strategis cenderung punya 'hutang' politik yang harus dilunasi. Dan yang paling sering menjadi korban adalah anggaran publik serta kebijakan yang semestinya berpihak kepada masyarakat.
Tekanan Eksternal: KPK dan Mobilisasi Publik
Kabar pengakuan ini langsung melahirkan tekanan dari berbagai arah: aktivis antikorupsi, LSM, bahkan tokoh masyarakat mulai mendesak agar penegak hukum turun tangan. Di Subang, pembicaraan mengenai KPK semakin sering disebut.
Walaupun belum ada tindakan resmi, desakan ini memperbesar tarikan antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Politik lokal menjadi panas—lebih panas dibanding musim kemarau.
Jalan Terjal Menuju Reformasi
Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya kasus per kasus, tetapi pola yang bisa menciptakan budaya baru: budaya “jabatan bayar”. Efeknya jangka panjang. Ia merusak generasi ASN berikutnya, mempersempit ruang meritokrasi, dan melahirkan disparitas kinerja antar dinas.
Namun, di balik kegaduhan itu, bagi Subang ada peluang kecil yang justru tepat di tengah krisis: peluang untuk membenahi sistem. Jika kasus ini mendorong audit jabatan, reformasi mutasi, dan transparansi, Subang bisa keluar sebagai daerah yang berani mengakui luka dan merawatnya.
Bayang-Bayang Pemilu Lokal
Politik tak pernah netral. Isu ini pasti menyeret dinamika jelang pemilu kepala daerah berikutnya. Masyarakat yang biasanya tidak terlalu peduli soal teknis birokrasi tiba-tiba punya alasan emosional untuk menilai ulang pemimpin mereka.
Apakah ini akan mengakhiri karier politik sang bupati? Atau justru menguatkan lawan-lawannya?. Kedua-duanya sangat mungkin.
Dari semua hiruk-pikuk politik Subang hari ini, satu pertanyaan muncul:
Jika pengakuan mantan Kadinkes benar, berapa banyak jabatan lain yang memiliki cerita serupa hanya saja belum terbuka?
[cut]
Bupati Subang Reynaldi sendiri telah membantah adanya praktik jual beli jabatan. Namun selama jawaban itu belum jelas, publik Subang akan terus berada dalam ketidakpastian.
Hal itu dibuktikan dengan adanya aksi lapor ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Jakarta oleh salah satu elemen aktifis di Subang.
Pemerintahan daerah, suka tidak suka, perlu menghadapi kenyataan bahwa krisis ini bukan sekadar isu personal, tetapi krisis sistemik yang menuntut perbaikan dari akar sampai pucuk.
Ditulis: Tim Editorial






