![]() |
| Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bandung- Pada triwulan pertengahan 2025, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Barat kembali berhadapan dengan persoalan klasik: rendahnya serapan anggaran. Grafik belanja daerah yang seharusnya menanjak setelah semester pertama justru bergerak lambat. Di balik angka-angka itu, muncul satu dugaan yang sering terdengar di koridor perkantoran daerah: 'nanti saja, tunggu mutasi selesai'.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara mengatakan, hingga Oktober 2025, belanja daerah dalam APBD terkontraksi 13,5 persen atau turun Rp126,1 triliun.
"Kalau kita lihat APBD, komposisi belanjanya belanja pegawai, barang dan jasa, belanja modal, dan lainnya, ternyata yang on track itu belanja pegawai, bayar gaji, bawah upah itu on track," kata Suahasil di Jakarta, Sabtu (22/11/2025).
Dia mengatakan, belanja pegawai hingga Oktober 2025, mencapai Rp343,4 triliun. Capaian ini turun tipis dibanding periode yang sama pada tahun lalu, sebesar Rp345 triliun.
Menahan Belanja karena Kursi Masih Bergeser
Di banyak daerah, pergantian pejabat struktural, mulai kepala dinas hingga pejabat pembuat komitmen (PPK)—membawa dampak langsung pada laju eksekusi anggaran. Ketika pejabat baru dilantik, diperlukan waktu untuk membaca ulang program, memahami paket pengadaan, dan menyusun ulang strategi kerja. Pada fase inilah pengereman belanja sering terjadi.
Para pejabat mengakui secara tidak resmi bahwa mutasi menciptakan masa jeda psikologis dan administratif. Pejabat yang baru dirotasi harus berhati-hati: jangan sampai salah tanda tangan, salah keputusan, atau mewarisi 'bom waktu' dari pendahulu. Sementara pejabat lama yang sudah mendengar rumor mutasi biasanya memilih menunda keputusan besar agar tidak dianggap membuat komitmen menjelang pergeseran kursi.
Akibatnya, mesin anggaran berjalan seperti mobil yang berkali-kali menginjak rem, meski pedal gas sudah ditekan sejak awal tahun.
Efek Domino ke Struktur Birokrasi
Mutasi bukan hanya soal posisi kepala dinas. Efeknya menjalar sampai pejabat teknis: kasubid, kepala bidang, hingga staf pengadaan. Banyak keputusan belanja, bahkan yang bersifat rutin, membutuhkan tanda tangan pejabat baru. Ketika proses internal adaptasi memakan waktu, serapan anggaran stagnan.
[cut]
Di beberapa pemda, terdapat argumen tak tertulis: pejabat baru perlu 'mengukur ulang' rekanan dan pola kerja. Meski tidak selalu terkait politik, proses penyesuaian ini hampir pasti menunda eksekusi fisik maupun nonfisik.
Mutasi Bukan Satu-Satunya Tersangka
Menyalahkan mutasi saja tentu menyederhanakan masalah. Lambatnya serapan anggaran 2025 juga terkait faktor struktural nasional maupun regional:
Efisiensi anggaran dan review ulang belanja akibat kebijakan pusat 2025 yang mendorong penghematan. Banyak daerah harus mengoreksi kembali RKA sebelum mengeksekusi proyek.
Prosedur pencairan yang makin ketat, membuat pejabat daerah lebih berhati-hati.
Ketergantungan pada dana transfer pusat yang kadang cair tidak seragam.
Tingginya kehati-hatian pejabat setelah maraknya kasus hukum di daerah, menyebabkan banyak proses ditunda demi menghindari risiko.
Dengan kombinasi faktor ini, mutasi memang menjadi “pemicu” yang memperlambat ritme, tetapi sistem birokrasi yang rumit membuat perlambatan itu semakin terasa.
Jawa Barat: Serapannya Tinggi, tetapi Tidak Merata
Secara agregat, Jawa Barat pada 2025 justru tercatat memiliki serapan APBD yang relatif baik dibanding provinsi lain. Namun angka provinsi yang tinggi tidak otomatis menggambarkan kondisi kabupaten/kotanya.
Ada wilayah yang serapannya progresif, tetapi ada pula yang tersendat akibat faktor lokal, termasuk dinamika mutasi pejabat pasca-pilkada dan penyesuaian organisasi perangkat daerah (OPD).
Di daerah-daerah tertentu, proyek infrastruktur tertunda karena pejabat teknis baru belum siap mengambil keputusan. Sementara di daerah lain, kebijakan efisiensi membuat sejumlah kegiatan menunggu evaluasi ulang. Kombinasi ini memperlihatkan bahwa persoalan serapan anggaran tidak bersumber dari satu titik, melainkan dari kerumitan birokrasi yang saling bertautan.
Akhirnya, Menunggu Siapa?
[cut]
Di banyak kantor daerah, muncul ironi: anggaran yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru menunggu urusan kursi pejabat dibereskan.
Padahal masyarakat kecil tidak peduli siapa kepala dinasnya yang mereka rasakan hanya kondisi jalan, pelayanan kesehatan, sekolah, dan bantuan sosial yang seharusnya berjalan lebih cepat.
Jika mutasi tetap menjadi pola tahunan tanpa memperhatikan kesinambungan program, 'menunggu pejabat baru adaptasi' akan selalu menjadi alasan klasik tiap tahun anggaran. Dan selama itu pula, serapan anggaran di banyak daerah akan terus terjebak dalam ritme lambat, meski kebutuhan publik mendesak untuk dipenuhi lebih cepat.(*)






