![]() |
| Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi Latu Har Hary |
inijabar.com, Kota Bekasi- Komisi II DPRD Kota Bekasi menegaskan komitmennya untuk mengawal masukan dari masyarakat terkait penyusunan Perjanjian Kerja Sama (PKS) baru antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pengelolaan sampah di Bantargebang.
Hal ini disampaikan dalam dialog bersama aliansi penggiat lingkungan dan warga terdampak.
Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi, Latu Har Hary, mengatakan, masukan dari masyarakat menjadi poin penting sebagai bahan penyusunan PKS pengganti yang akan diberlakukan setelah PKS lama berakhir pada 26 Oktober 2026.
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi sudah menyampaikan fakta-fakta lapangan dalam rapat. Itu kemudian kami bahas di Komisi II,” jelasnya.
Dia menegaskan, Komisi II ingin perjanjian terbaru lebih kuat dalam melindungi warga dan memperbaiki tata kelola sampah.
“Goal-nya adalah bagaimana masukan dari aliansi masyarakat penggiat lingkungan bisa diakomodir di PKS yang akan datang,” ucapnya.
Latu menekankan bahwa aspirasi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan dampak lingkungan dan kesehatan, wajib menjadi pertimbangan utama.
“Harapan Komisi II, PKS yang baru nanti harus jauh lebih baik dan berpihak kepada masyarakat terdampak. Dan yang paling penting, bisa menyelesaikan permasalahan sampah di Kota Bekasi, khususnya di Bantargebang,”ungkapnya.
Menurutnya, masukan dari aliansi selaras dengan upaya perbaikan PKS sebelumnya.
“Intinya mereka menyampaikan kritik dan masukan terkait PKS tahun 2021, dan berharap poin-poin itu masuk dalam PKS 2026,” jelasnya.
Sementara itu, Agus Hadi Prasetyo, mewakili warga yang terdampak langsung, menyampaikan kekecewaannya terhadap kurangnya transparansi pemerintah terkait dampak kesehatan dan lingkungan akibat aktivitas di TPST Bantargebang.
Agus menyoroti masih adanya praktik open dumping meskipun aturan melarang metode tersebut sejak 2013.
“Dampaknya seperti apa? Pemerintah yang bikin aturan nggak boleh open dumping sejak 2013, tapi kenyataannya masih open dumping. Terus mau gimana?” ucapnya.
Ia mengatakan, pemerintah tidak pernah menjelaskan risiko kesehatan kepada masyarakat.
“Gimana dampak kesehatan buat masyarakat di sana? Tata kelolanya itu kayak gimana sih? Itu juga nggak pernah disosialisasi,” ucapnya.
Agus mengungkapkan, dirinya baru dapat menyampaikan keberatan hari ini setelah memperoleh dokumen PKS yang ia pelajari bersama warga lain.
“Kenapa baru hari ini? Karena saya baru dapetin PKS itu dan baru kita bedah bareng-bareng. Saya masyarakat, bukan pegawai kelurahan,” jelasnya.
Ia menyebut warga yang hadir membawa suara korban terdampak lainnya.
“Hari ini ada sebelas orang yang datang. Yang kami inginkan adalah audit menyeluruh. Tolong dilakukan investigasi lengkap untuk TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu,” pintanya.
Terkait dialog dengan pengelola, Agus menyatakan, proses itu masih panjang.
“Baru tujuh dari dua puluh tiga pasal yang bisa kita kupas. Penyempurnaannya nanti bareng-bareng sama mereka, sama Komisi II,” terangnya.
Agus uga menyinggung kondisi psikologis warga yang dipenuhi ketidakpastian.
“Ini semuanya serba terselubung. Warga nggak tahu dampaknya apa. Mereka cuma tahu bau dan nama wilayahnya jadi jelek. Sosialisasi itu harus ada, sekecil apa pun,” tandasnya.(firman)




