![]() |
| Ilustrasi |
inijabar.com, Kota Bekasi- Sejak resmi dilantik sebagai Wali Kota Bekasi pada 20 Februari 2025, Tri Adhianto memasuki babak baru kepemimpinan daerah dengan ekspektasi tinggi setelah sebelumnya pernah menjadi Plt Walikota Bekasi sejak Januari 2022-2023.
Ekspektasi publik terhadap Tri diantaranya, pembenahan tata kelola, penguatan pelayanan publik, dan pemulihan kepercayaan warga terhadap pemerintah kota. Namun hingga di ujung Desember 2025, satu isu krusial terus bergema di ruang publik yaitu dugaan rangkap jabatan yang tanpa pernah memperoleh klarifikasi langsung dari orang nomor satu di Kota Patriot tersebut.
Fakta yang Terbuka, Pernyataan yang Absen
Isu rangkap jabatan Tri Adhianto bukan barang baru. Diskursus ini telah berulang kali mencuat di media, forum warga, hingga diskusi internal birokrasi. Namun yang menjadi sorotan utama bukan sekadar isu itu sendiri, melainkan ketiadaan pernyataan resmi dari Tri Adhianto selama hampir sepuluh bulan masa jabatannya.
Dari fakta yang ada Tri sendiri memegang jabatan yang berbasis APBD seperti Ketua KONI Kota Bekasi sejak dirinya menjadi Plt Walikota Bekasi dan hingga menjelang setahun sebagai walikota Bekasi, jabatan sebagai orang nomor satu di lembaga olahraga yang dibiayai APBD tersebut tidak juga dicopot.
Bukan hanya Tri Adhianto yang merangkap jabatan, lingkaran birokrasi di pemerintahan Kota Bekasi juga yang nota bene merupakan 'orang dekat' menjabat di sejumlah lembaga seperti di BUMD dan organisasi cabang olahraga yang berbasis APBD.
Rangkap jabatan yang banyak dilakukan di era Tri Adhianto ini belum pernah ditemukan:
Pernyataan tertulis atau konferensi pers khusus
Klarifikasi melalui kanal resmi Pemkot Bekasi
Penjelasan terbuka dalam forum DPRD atau rapat publik
Dalam praktik pemerintahan modern, diam sering kali bukan netral. Diam justru dapat dibaca sebagai strategi politik, penghindaran isu, atau bahkan pengakuan implisit yang dibiarkan menggantung.
Rangkap Jabatan: Antara Legalitas dan Etika Publik
Secara normatif, rangkap jabatan kepala daerah diatur dalam berbagai regulasi, mulai dari UU Pemerintahan Daerah, aturan ASN, hingga prinsip good governance.
Bahkan jika secara hukum masih berada di 'zona abu-abu', rangkap jabatan tetap menyentuh dimensi etika publik dan konflik kepentingan.
Pertanyaan kunci yang belum dijawab hingga kini:
Apakah jabatan lain tersebut aktif atau nonaktif?
Apakah jabatan tersebut berpotensi memengaruhi kebijakan Pemkot Bekasi?
Apakah ada remunerasi, fasilitas, atau kewenangan ganda yang melekat?
Tanpa klarifikasi, publik dibiarkan berspekulasi, sebuah kondisi yang justru merugikan legitimasi pemerintahan itu sendiri.
Sepinya Respons, Ramainya Persepsi
Dalam ruang demokrasi lokal, persepsi publik sering kali lebih cepat membentuk vonis dibanding proses hukum. Ketika wali kota memilih diam, ruang itu diisi oleh tafsir: dari dugaan konflik kepentingan, kompromi politik, hingga spekulasi adanya tekanan elite.
Kondisi ini berisiko menimbulkan:
Turunnya kepercayaan publik terhadap transparansi Pemkot
Preseden buruk bagi pejabat struktural di bawahnya
Normalisasi praktik rangkap jabatan tanpa akuntabilitas
Ironisnya, di saat Tri Adhianto gencar menyuarakan reformasi birokrasi dan integritas aparatur, figur tertingginya justru absen dari praktik transparansi personal. Dan ini pun menuai reaksi cibiran dari masyarakat.
"Tri tipe pemimpin yang baru bisa berucap belum bisa jadi tauladan,"ujar aktifis sosial di Kota Bekasi Frits Saikat.
Mengapa Klarifikasi Itu Penting?
Klarifikasi bukan semata soal membela diri, melainkan:
Bentuk penghormatan terhadap hak publik atas informasi
Upaya menjaga marwah jabatan wali kota
Pencegahan konflik kepentingan di kemudian hari
Dalam banyak kasus nasional, keterlambatan klarifikasi justru menjadi pintu masuk bagi pemeriksaan etik, laporan masyarakat, hingga eskalasi ke aparat penegak hukum—bukan karena substansi awalnya, tetapi karena ketertutupan informasi.
Catatan Akhir: Diam yang Menjadi Masalah
Hingga jelang akhir Desember 2025, tidak adanya pernyataan Tri Adhianto terkait isu rangkap jabatan telah berubah dari sekadar isu administratif menjadi masalah komunikasi kepemimpinan. Publik tidak menuntut sensasi, melainkan kejelasan.
Dalam demokrasi lokal, seorang wali kota tidak hanya dinilai dari kebijakan yang dibuat, tetapi juga dari keberanian menjawab pertanyaan yang tidak nyaman.
Dan dalam kasus ini, yang paling mencolok bukan tuduhannya, melainkan kesunyian yang terlalu lama.
Opini ditulis: Tim Redaksi




