Catatan dari Kasus Kakek Masir; Ketika Hukum Bertemu Usia dan Perut Lapar

Redaktur author photo
Masir (71) berjalan gontai dengan wajah tertunduk pastah usai mengikuti sidang di PN Situbondo.

DI ruang sidang Pengadilan Negeri Situbondo, waktu seolah berjalan lebih pelan. Seorang lelaki renta bernama Masir, 71 tahun, berdiri dengan punggung yang tak lagi tegak. Keriput di wajahnya adalah arsip panjang tentang hidup yang dijalani tanpa banyak pilihan.

Ia didakwa karena memikat lima ekor burung cendet di kawasan Taman Nasional Baluran sebuah perbuatan yang oleh hukum negara dikualifikasikan sebagai tindak pidana konservasi. Jaksa menuntutnya dua tahun penjara.

Tak ada senjata. Tak ada sindikat. Tak ada transaksi besar. Hanya perangkap sederhana dan lima burung kecil yang kini menjadi pusat perdebatan besar tentang keadilan.

Masir bukan nama yang akrab di lembaran koran nasional. Ia tak punya pengacara mahal, tak pula ada panggung untuk membela diri dengan retorika yang memikat. Ia hanya seorang kakek dari desa, yang hari-harinya diisi oleh kebutuhan paling dasar: makan, obat, dan bertahan. 

Di luar ruang sidang, Baluran berdiri anggun dengan savana luasnya rumah bagi satwa liar yang harus dilindungi. Di dalam ruang sidang, Masir berdiri sendirian, membawa beban usia dan ketidaktahuan.

Hukum, dengan segala kelengkapannya, memang tak boleh tebang pilih. Kawasan taman nasional adalah wilayah sakral konservasi. Setiap pelanggaran, sekecil apa pun, berpotensi merusak ekosistem. Itu benar. 

Namun benarkah keadilan berhenti pada pasal? Atau justru di sanalah keadilan seharusnya mulai bertanya: siapa pelakunya, bagaimana niatnya, dan apa dampaknya?

Lima burung cendet bukan komoditas ekspor, bukan satwa langka bernilai miliaran ditimbang setara dengan ancaman dua tahun penjara bagi seorang lansia. Pertanyaan pun bergema lirih: apakah penjara adalah jawaban paling manusiawi? Apakah jeruji besi akan mengajari konservasi pada mereka yang hidupnya telah lama dikepung kemiskinan?

Masir tidak datang dari ruang kelas kebijakan lingkungan. Ia datang dari dapur yang kerap kosong. Ia tak memahami peta zonasi taman nasional, apalagi konsekuensi hukum yang panjang. Yang ia tahu, burung bisa dijual, dan uangnya bisa untuk bertahan beberapa hari ke depan. Di sinilah tragedi kecil itu bermula bukan dari niat jahat, melainkan dari kebutuhan.

Kasus ini seharusnya mengajak kita belajar tentang kemanusiaan. Bahwa hukum memang harus ditegakkan, tetapi keadilan sejati tumbuh ketika hukum bertemu nurani. Ada ruang bernama diskresi. Ada pendekatan keadilan restoratif. Ada pilihan sanksi sosial, edukasi konservasi, atau kerja pemulihan lingkungan yang lebih bermakna ketimbang kurungan bagi lansia.

Kita tentu tak ingin Baluran dijarah. Kita juga tak ingin hukum kehilangan wibawa. Namun, wibawa hukum bukan diukur dari kerasnya palu hakim semata, melainkan dari kemampuannya membedakan antara predator dan orang yang terdesak. Antara perusak sistematis dan warga kecil yang tersandung ketidaktahuan.

Di luar sana, masih banyak perusakan lingkungan berskala besar yang berjalan pelan namun pasti alat berat, konsesi, dan izin-izin yang tak selalu ramah alam. Ironisnya, sering kali yang tercepat sampai ke meja hijau justru mereka yang paling lemah.

Masir mengajarkan kita satu hal penting: keadilan tak boleh kehilangan wajah manusia. Ia harus bisa menatap mata seorang kakek dan bertanya, “Apa yang paling adil untukmu, dan paling bermanfaat bagi alam?”

Mungkin, dari kasus ini, negara bisa hadir dengan lebih lembut tanpa menjadi lemah. Menguatkan edukasi, membuka jalur ekonomi alternatif, dan memastikan warga sekitar kawasan konservasi tidak dibiarkan berhadapan sendirian dengan kebutuhan hidup dan larangan hukum. Sebab menjaga alam bukan hanya soal melarang, tetapi juga soal memampukan.

Di akhir sidang, Masir kembali melangkah pelan. Entah apa yang ia pikirkan tentang burung, tentang penjara, atau tentang sisa hidup yang ingin dijalaninya dengan tenang. Kita, yang menyimak dari kejauhan, setidaknya bisa belajar: bahwa di antara pasal dan palu, selalu ada ruang untuk empati. Dan di sanalah keadilan menemukan maknanya.


Share:
Komentar

Berita Terkini